Great Product Formula
Posted: Minggu, 31 Mei 2009 by R. Anang Tinosaputra in Label: The Meaning of Management
Secara simpel, produk yang berkualitas lahir dari sebuah ide besar, brilian dan tentunya berkualitas dalam suatu kondisi manajemen perusahaan yang juga benar-benar berkualitas...
Kemarin saya mendapatkan kabar dari salah seorang sahabat saya di Jakarta. Dia mengatakan akan datang ke Bali untuk memberikan training mengenai microfinance untuk credit union. Seketika, hati ini tergelitik. Ada sesuatu yang harus saya tanyakan, ada sesuatu yang membuat saya harus ambil bagian. Bukan mau ikut campur kegiatan atau agenda orang lain, tapi lebih karena, pertama, credit union. Dan kedua, produk microfinance. Saya kemudian mulai menyampaikan beberapa hal kepada sahabat saya itu. Dan apa yang saya sampaikan garis besar utamanya adalah berikut ini. Semoga sahabat saya membaca tulisan ini.
Cukup panjang memang, tapi saya yakin akan bermanfaat bagi kita semua, khususnya credit union.
Di tengah perubahan lingkungan bisnis yang berjalan super cepat, kemungkinan suatu perusahaan mampu menciptakan great product kini kian random dan tidak terprediksi. Bagi perusahaan, menemukan great product kini seperti membidik sebuah moving target. Tak jelas faktor-faktor suksesnya. Tak jelas pola dan perilaku terjadinya. Tak jelas apa saja variabel-variabel untuk mewujudkannya. Bahkan tak jelas pula bagaimana mereplikasi dan mengulanginya.
Volkswagen boleh jadi sukses menciptakan great product sehebat VW Beetle, namun sukses itu sekali seumur hidup - once in a lifetime. Volkswagen tak mampu mengulanginya lagi untuk great products yang lain. Intel boleh jadi sukses merajai industri komputer global dengan great product-nya yaitu otak komputer, mikroprosesor. Namun kini ia kebingungan menemukan great product apa lagi yang harus dilahirkan untuk memperpanjang kepemimpinan pasarnya.
Sony barangkali lebih baik, karena mampu menghasilkan serangkaian great product mulai dari walkman, discman, lalu handycam hingga playstation. Namun seperti kita lihat kini, perusahaan inipun senasib dengan Volkswagen dan Intel, yang kebingungan menemukan great product apalagi yang harus ia ciptakan untuk bisa survive.
Kenapa demikian? Jawabannya tidak begitu sulit ditemukan.
Pertama, dari sisi 'penawaran'. erubahan teknologi yang berjalan demikian cepat yang memic bermunculannya killer applications (aplikasi teknologi baru yang memakan aplikasi lama) dan menjadikan daur hidup produk jadi kian pendek. Kedua, dari sisi 'permintaan'. Perkembangan keinginan dari pelanggan berjalan tidak kalah cepat dan tingkat dinamisnya mengikuti akselerasi perkembangan teknologi dan killer aps di atas. Fenomena ini tak bisa dipungkiri dipicu oleh semakin knowledgable dan semakin cangginya pelanggan (customer sophistication), juga semakin naik pesatnya ekspektasi mereka.
Mengenai hal ini, saya jadi teringat dengan model yang diajukan oleh Vlayton Christensen, pakar yang mempopulerkan konsep disruptive technologies. Pakar dari Harvard ini telah mengidentifikasi ada dua jejak perkembangan (trajectory) yang membentuk sebuah pasar untuk suatu teknologi atau produk tertentu. Yang pertama jelas mewakili sisi 'penawaran', yaitu percepatan perkembangan teknologi (techonoly trajectory) yang mendukung suatu produk. Yang kedua tentu saja mewakili sisi 'permintaan', yaitu percepatan perkembangan kebutuhan dan pelanggan (customer need trajectory) yang mengindikasikan kecanggihan pelanggan.
Kalau technology trajectory dan customer need trajectory ini bertemu melalui sebuah produk tertentu, maka itu berarti pasar untuk teknologi tersebut terbentuk dan nilai ekonomi untuk teknologi tersebut mulai menemukan momentumnya. Apa artinya ini? Artinya, sehebat apapun sebuah teknologi, kalau ia tak mampu menciptakan value untuk memenuhi keinginan dan harapan konsumen, maka teknologi itu tidak akan mampu menemukan critical mass komersialnya.
Pesannya apa? Bahwa sebagai seorang marketer, kita harus bisa mempertautkan technology trajectory yang ada di sisi penawaran dan customer need trajectory di sisi permintaan. Celakanya baik technology trajectory maupun customer need trajectory, kini kian sulit ditebak arahnya. Semakin menjadi moving target.