Customer Conversion Journey

Posted: Jumat, 05 Juni 2009 by R. Anang Tinosaputra in Label:
0




Bukan saja karena biaya mempertahankan pelanggan lama lebih murah daripada mengakuisisi pelanggan baru, namun juga karena reward yang dinikmati perusahaan secara kumulatif dari seorang pelanggan yang loyal sangat besar. Kunci meningkatkan loyalitas pelanggan adalah jangan pernah menyepelekan emosi dan perasaan pelanggan.

Lagi-lagi saya tergilitik mendengar cerita seorang sahabat credit union yang merasa kurang berhasil menjalankan produk yang sudah dirancangnya selama ini. Sepertinya pelanggan (anggota) tidak mau atau tidak mengenal dengan apa yang dia 'jual'. Saya kemudian melihat ada benang merah terputus dari sistem yang dikembangkan credit union selama ini, untuk get, keep and grow bersama anggota.

Dengan keadaan lingkungan bisnis yang semakin turbulen, arus informasi yang tanpa batas ditambah dengan membanjirnya produk sejenis di pasar, maka loyalitas pelanggan menjadi semakin bernilai. Seorang loyalist biasanya cenderung mau membeli produk lebih banyak dan membeli lebih sering daripada pelanggan biasa. Bahkan dalam tingkatan tertinggi, pelanggan yang loyal akan sukarela menjadi pembela brand. Kita bisa melihat bagaimana fenomena dari berbagai kelompok suporter sepakbola baik di dalam maupun luar negeri.

Antusiasme, sebelumnya tidak pernah dimasukkan sebagai pengukur loyalitas pelanggan. Jill Griffin, misalnya dalam buku Customer Loyalty: How To Earn It How To Keep, mengatakan bahwa loyalitas pelanggan cenderung lebih dekat dengan perilaku (behavior), bukan sikap (attitude). Dengan demikian jika seorang pelanggan telah membeli dua atau tiga kali produk yang sama, maka otomatis ia telah bisa dimasukkan sebagai pelanggan yang loyal. Bahkan pada pemikiran klasik sebelumnya, seperti yang dikemukakan oleh Parasuraman, Berry dan juga Zithaml dalam Delivering Quality Service: Building Customer Perceptions and Expectations, mengidentikkan loyalitas pelanggan dengan kepuasan pelanggan.



Apakah definisi ini benar?
Frederich Reichheld melalui bukunya Loyalty Rules dengan tegas mengatakan, setelah diteliti ternyata ditemukan bahwa loyalitas pelanggan tidak berhubungan langsung dengan kepuasan pelanggan karena pelanggan yang puas tidak secara otomatis akan loyal. Dan pembelian yang berulang (repeat purchase) bukanlah ukuran yang sahih untuk menilai loyalitas pelanggan karena boleh jadi ketika suatu saat pelanggan mengulang pembeliannya, dia berada dalam keadaan terpaksa, misalnya karena tidak ada pilihan produk lain.

Jika di suatu daerah hanya ada satu bank, taruhlah nama bank itu Bank X, dan semua penduduk daerah itu menabung di Bank X, apakah bisa dikatakan bahwa Bank X mempunyai nasabah yang loyal? Tentu saja tidak. Jadi, loyalitas pelanggan sebenarnya bisa dibagi menurut tingkatannya dari mulai transactional, emotional sampai spiritual. Nasabah Bank X ialah contoh pelanggan yang tingkat loyalitasnya hanya sampai pada tahap transaksional. Karena adanya Bank X, maka pelanggan memilih Bank X, namun begitu suatu saat ada bank pesaing masuk, maka kemungkinan besar nasabah Bank X akan pindah.

Loyalitas tingkat pertama ini didapat oleh perusahaan-perusahaan yang berhasil menciptakan switching barrier sehingga apabila pelanggan pindah, maka ia akan kehilangan berbagai kemudahan dan peluang. Contohnya bagi pebisnis, memindahkaan account dari BCA ke bank lain akan menjadi sangat riskan karena secara mayoritas pebisnis memakai BCA sebagai bank transaksi dan fasilitas yang tersedia di BCA cukup lengkap dibandingkan bank lain. Dampaknya para nasabah BCA akan berpikir dua kali untuk menutup rekening di bank ini.

Perlu digarisbawahi juga, bahwa loyalitas pelanggan tidak bisa terjadi langsung, namun bertahap (incremental). Pelanggan yang paling gampang didongkrak loyalitasnya ialah pelanggan yang memiliki kebutuhan dan keinginan yang selaras dengan value proposition yang ditawarkan produk. Di sini pentingnya segmentation-targeting-positioning sebagai bagian dari strategi besar untuk mengunci loyalitas pelanggan.

Customer Conversion Journey
Elemen pertama dari model ini terinspirasi oleh model tahapan loyalitas milik Jill Griffin dalam bukunya Customer Loyalty. Hanya saja tahapan loyalitas ini ada tujuh, yaitu mulai suspect, prospect, first time buyer, repeat customer, loyal client sampai spiritual advocate. Sedangkan tahapan loyalitas pelanggan Jill Griffin, hanya sampai pada taraf bagaimana menciptakan loyal customer. Unsur antusiasme belum digolongkan sebagai ukuran loyalitas tertinggi – satu tingkat lebih tinggi di atas loyal client. Seorang spiritual advocate adalah pembela brand dan penganjur pembelian bagi orang lain, tidak hanya membeli produk untuk kemudian dikonsumsi sendiri (loyal client). Dengan demikian, jika perusahaan memiliki pelanggan yang memiliki antusiasme tinggi, maka dampak pada kinerja akan berlipat ganda. Inilah sebenarnya tujuan akhir dari strategi service dan loyalty yang dibangun oleh setiap perusahaan.

Elemen kedua adalah pergerakan tingkat keeratan dari hubungan pelanggan dari sejak mengenal produk (awareness) lalu tertarik (attraction) dan akhirnya membeli (transaction). Dengan semakin meningkatnya kepercayaan dari pelanggan terhadap produk terciptalah hubungan yang lebih dari sekadar transaksi yakni relationship, partnership lalu yang paling tinggi adalah ownership.

Elemen ketiga adalah disiplin eksekusi yang seharusnya dilakukan perusahaan di tiap tahapan agar loyalitas yang terbentuk maksimal. Jadi kita perlu melakukan segmentasi-targeting-positioning untuk menjaring prospek yang paling potensial dari kumpulan suspek. Kemudian kita harus lakukan diferensiasi-marketing mix-selling untuk mendorong terjadinya pembelian. Dan akhirnya untuk mempertahankan pelanggan yang telah ada menjadi repeat customers, caranya dengan membangu BSP – brand, service, dan process yang bermutu. Brand meningkatkan nilai produk dari segi emosional, servis menambah keyakinan dan mengurangi other expenses serta proses memungkinkan pelanggan untuk mendapatkan produk yang berkualitas, biayanya rendah dan pengantarannya paling cepat.

Jika perusahaan ingin meningkatkan kadar loyalitas dari pelanggannya ke tingkat yang paling tinggi sehingga menjadi spiritual advocate, maka sekali lagi perusahaan harus terus menerus menambah manfaat produk. Manfaat tambahan itu adalah berbagai pengalaman (share the experience) dengan cara membentuk komunitas (community), lantas menciptakan buzzword (buzzing) dan menciptakan keterikatan emosi pelanggan dengan brand (emosionalization).

Dengan mengawal proses pembentukan customer loyalty sejak awal, maka diharapkan keterikatan pelanggan dengan produk akan semakin dalam. Dengan kata lain produk tersebut telah menjadi bagian dari diri pelanggan yang tidak bisa dipisahkan. Diharapkan juga jika sejak awal sudah terjadi monitoring, maka prosentasi perpindahan pelanggan atau customer migration dan bahkan juga kehilangan pelanggan (customer defect) dapat diminimalisasi.

Dari Listed Suspect ke Qualified Prospect
Dalam filosofi marketing, produk diciptakan untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan sekelompok masyarakat tertentu saja, kecuali produk komoditas seperti sembako yang dibutuhkan semua orang. Kelompok masyarakat yang diperkirakan atau dipercaya marketer paling membutuhkan produk itu disebut suspek.

Strategi dan taktik marketing sebaiknya diarahkan hanya ke suspek sehingga tidak membuang sumber daya, waktu dan kesempatan. Untuk mengetahui suspek, pertama kali marketer harus memahami misi perusahaan, dimana di dalamnya terkandung pernyataan lingkup bisnis, kemudian baru nilai manfaat yang terkandung di dalam produk. Suspek ini kemudian disaring lagi berdasarkan daya belinya untuk mengetahui suspek yang potensial dan suspek yang tidak potensial. Setelah itu, kita harus mencoba mengarahkan aktualisasi pembelian para prospek ke satu brand tertentu.

Caranya bagaimana? Caranya kita menciptakan positioning merek yang selaras dengan karakter prospek. Segmentation, targeting, dan positioning adalah disiplin loyalitas pelanggan pertama yang harus dilakukan, yakni ketika kita menyaring suspek menjadi prospek.

Pada prinsipnya segmentasi dipakai untuk memilah pasar yang beragam ke dalam komponen yang lebih kecil yang diprediksi akan memiliki sikap, perilaku, selera dan reaksi yang sama terhadap taktik marketing. Dengan ini kita akan lebih mudah menentukan kualifikasi suspek yang layak menjadi prospek. Hanya prospek yang berpotensi paling besar yang akan dijadikan sasaran program pemasaran (targeting).

Sedangkan positioning adalah cara untuk menanamkan kredibilitas brand di benak pelanggan. Oleh karena itu dalam pemilahan suspek menjadi prospek, positioning membantu menyingkirkan suspek yang tidak prospek dengan menciptakan perceptual alocator atau persepsi profil pelanggan yang cocok dengan produk. Positioning yang tepat akan sangat membantu pelanggan mendefinisikan dan membedakan sebuah produk dengan pesaingnya.

Dari Qualified Prospect ke First Time Buyer
Qualified prospect yang telah melakukan aktualisasi pembelian berubah statusnya menjadi first time buyer. Untuk mendorong aktualisasi pembelian qualified prospect sebanyak mungkin, kita harus menetapkan strategi diferensiasi, marketing-mix, dan selling.

Mengapa demikian?
Positioning yang telah kita bangun untuk mentransformasikan suspek menjadi prospek pada fase pertama harus terbukti di fase kedua ini dengan memunculkan diferensiasi yang konkrit dalam content, context, dan infrastructure. Content berkaitan dengan segala sesuatu yang kita tawarkan ke pasar. Context berkaitan dengan bagaimana cara kita menawarkan content ini ke pasar, dan infrastructure adalah segala sesuatu yang membuat proses produksi content dan context ini terjadi. Jadi secara sederhana, kita harus mampu mewujudkan positioning yang absurb ke diferensiasi produk yang konkrit. Diferensiasi yang solid akan semakin menguatkan positioning sebuah produk.

Jika positioning dikomunikasikan melalui iklan, maka diferensiasi diaktualisasikan dalam marketing-mix. Misalnya jika sebuah brand Yamaha Mio mengiklankan diri sebagai value motor (special for woman) di kelasnya, maka positioning ini diwujudkan pada product sebagai motor yang efisien dan simpel, price-nya yang terjangkau, promotion dengan iklan yang menguatkan pesan sebagai value motor dengan icon wanita masa kini, dan terakhir place dengan dealer serta pusat servis yang tersebar dimana-mana.

Saya menyebut product dan price sebagai unsur yang ditawarakan perusahaan ke pelanggan (company’s offer) dan promotion serta place sebagai akses yang mendekatkan perusahaan ke pelanggan (company’s access). Positioning kan mewujud dalam diferensiasi, selanjutnya diferensiasi akan mewujud dalam marketing-mix.

Diferensiasi yang solid dan marketing-mix yang tepat harus ditutup dengan taktik penjualan (selling) yang menarik. Taktik selling adalah pintu terakhir untuk bisa membangkitkan keinginan pelanggan untuk membeli. Agar proses penjualan berjalan mulus, kita pertama kali harus memahami bahwa penjualan bukanlah tujuan akhir pemasaran. Tujuan dari pemasaran adalah menghadirkan solusi yang memuaskan kebutuhan dan keinginan pelanggan. Dengan demikian dalam menjual, kita jangan hanya terpaku menawarkan feature dan benefit saja, namun juga harus melangkah ke strategic selling dengan menawarkan solusi.

Dari First Time Buyer ke Repeat Customer
Untuk mengikat first time buyer menjadi repeat customer, perusahaan harus meningkatkan keeratan hubungan dengan pelanggan dan menambah value produk dengan menciptakan brand yang kuat, memberikan servis yang memuaskan dan proses yang efisien sekaligus efektif sebagai jaminan kelancaran proses servis.

Kenapa demikian?
Karena pelanggan membutuhkan keterikatan emosional. Perusahaan berusaha mengisi kebutuhan yang lebih tinggi ini dengan menawarkan brand yang berkharisma dan servis yang customized dengan dukungan process sebagai enabler factor sehingga pembelian kedua, ketiga dan seterusnya terkunci hanya pada satu brand saja.

Mengapa demikian?
Karena brand adalah value indicator bagi produk, maka ketika kualitas produk di pasar telah seragam, maka brand menjadi penguat diferensiasi yang menjadikan nilai suatu produk lebih tinggi dari produk lain. Inilah mengapa pelanggan seringkali mendasarkan keputusan pembelian pada persepsi brand saja. Misalnya, BMW dipersepsikan sebagai sedan untuk eksekutif muda yang dinamis dan ekspresif, berbeda dengan Mercedes Benz yang dipersepsikan sebagai sedan kelas CEO yang matang, mapan dan prudent.

Sebuah brand yang baik akan mampu menyampaikan pesan dengan baik, menunjukkan kredibilitas, menghubungkan prospek secara emosional, memotivasi pembelian dan bahkan mengkonkritkan loyalitas. Brand harus menjadi payung yang mampu mempresentasikan produk dan servis.

Untuk meningkatkan brand value, sebuah brand sangat membutuhkan dukungan servis yang baik. Servis bukanlah after service, before service, atau sales service. Apa yang dimaksud service di sini adalah service dengan huruf S besar, yang berarti segala sesuatu yang dilakukan perusahaan untuk memberikan solusi pada pelanggan. Maka dari itu, saya berani mengatakan bahwa semua perusahaan bisa dianggap sebagai service company karena memberikan solusi bagi pelanggan. All business is a service business ...

Peningkatan nilai produk melalui servis tidak akan terjadi tanpa adanya proses yang efektif dan efisien. Proses yang dimaksud adalah proses penciptaan nilai bagi pelanggan yang tergambar pada kualitas produk, biaya yang dikeluarkan dan kualitas hantaran produk kepada pelanggan atau yang disebut dengan quality, cost, dan delivery (QCD).

Kualitas produk yang baik, cost yang terkendali dan juga hantaran produk yang cepat terjadi jika perusahaan bisa menjalankan value chain process secara efektif. Value chain process terdiri dari demand chain dan supply chain. Demand chain adalah pengelolaan nilai dari perusahaan sampai ke pelanggan, sedangkan supplay chain adalah pengelolaan nilai dari suplier ke perusahaan. Dalam demand chain dan supplay chain, perusahaan berusaha memaksimalkan pencapaian suatu proses yang menghasilkan nilai dan mengurangi seminimal mungkin proses yang mengurangi nilai. Untuk mencapainya perusahaan harus bertindak sebagai network organization – menjalin jejaring hubungan dengan perusahaan-perusahaan lain yang ada dalam satu rantai nilai.

Tiga komponen value creating drivers ini seharusnya bisa menghasilkan nilai yang tidak hanya berguna bagi pelanggan eksternal dan pemegang saham saja, namun juga harus menjaid kredo bagi pelanggan internal perusahaan, yaitu karyawan.

Sampai pada tahapan ini, kita harus mengantisipasi potensi kehilangan pembeli (lost buyer). Namun demikian, bukan berarti pelanggan yang hilang selamanya hilang, karena besar kemungkinan mereka masih bisa ditarik kembali (win back) dengan menawarkan value proposition yang tentunya berbeda dan pasti lebih menarik.

Dari Repeat Customer ke Loyal Client
Dari kacamata pelanggan ada dua macam manfaat yang akan diterima ketika menggunakan atau membeli sebuah produk, yaitu manfaat fungsional dan manfaat emosional. Demikian juga ada dua biaya yang harus dikeluarkan untuk mendapatkan sebuah produk yaitu harga produk dan pengeluaran (harga) lainnya.

Manfaat fungsional berkaitan dengan kualitas produk, reliabilitas produk, kemudahan dipakai dan lain sebagainya. Sedangkan manfaat emosional berkaitan dengan kebanggaan, gaya hidup, filosofi dan sejenisnya. Untuk mendapatkan manfaat fungsional dan emosional dari produk itu, pelanggan harus membayar sejumlah harga (price) ditambah biaya lain-lain yang menyertainya, baik berupa uang, waktu bahkan juga opportunity lost.

Perusahaan yang memimpin pasar biasanya mampu memberikan satu dari tiga superior value kepada pelanggannya, yakni product leadership, operational excellence atau customer intimacy. Perusahaan yang menerapkan strategi product leadership biasanya perusahaan yang berkarakter inovatif seperti Sony, Nokia atau Microsoft. Kemampuannya membuat produk baru diraih dengan cara mendorong munculnya ide-ide baru, kemudian mewujudkannya dalam konsep produk dan mengomersilkannya ke pasar secepat mungkin. Kecepatan dalam mengelola proses adalah aspek terpenting yang selalu dinomorsatukan sebagai faktor pemungkin yang membuat mereka bisa meraih lompatan inovasi. Tiga proses yang menjadi inti yaitu penemuan produk (invention), kemudian pengembangan produk (product development), dan eksploitasi pasar (market exploitation). Selain itu dikembangkan pula dari segi soft aspect yaitu budaya perusahaan, tentunya dengan mengedepankan tiga nilai inovasi, yaitu inovasi, berpikir out of the box dan mengutamakan pencapaian.

Lain lagi perusahaan yang menerapkan strategi operational excellence. Mereka umumnya memfokuskan diri pada usaha untuk mencapai kombinasi dari tiga hal terbaik yaitu kualitas produk, harga termurah atau pengiriman tercepat sehingga tidak ada satu pesaingpun yang dapat melakukan lebih baik dari mereka. Pengelolaan proses internalnya yang mendekati sempurna membuat mereka menjadi perusahaan pemimpin dalam harga dan pengiriman tanpa mengabaikan kualitas produk. Dell Computer adalah contoh perusahaan yang sejak awal pendiriannya mengedepankan nilai-nilai operational excellence dengan membangun sistem direct selling yang efisien dan efektif.

Treacy dan Wieserma dalam bukunya yang terkenal, The Discipline of Market Leader, mengatakan bahwa kunci dalam melaksanakan operational excellence adalah mengoptimalkan dan merampingkan proses penawaran produk sampai dengan penghantaran servis. Caranya adalah dengan melakukan suatu standardisasi, simplifikasi, sistem kontrol yang ketat, termasuk juga perencanaan operasi yang tersentralisasi, integrasi sistem manajemen yang cepat dan budaya yang efisien.

Sedangkan perusahaan yang mengedepankan customer intimacy menciptakan nilai diferensiasi dengan merancang produk yang customized dengan harga yang terjangkau (mass customization). Agar bisa melakukannya, perusahaan harus memahami kebutuhan dan keinginan pelanggan, maka dari itu perusahaan harus mempunyai sistem operasi yang fleksibel sehingga bisa cepat merespons permintaan pelanggan. Tentu saja struktur bisnisnya pun harus mendukung, yakni struktur yang mengedepankan sistem pendelegasian dengan budaya perusahaan yang menekankan pada customer relationship dan customer solution.

Oleh Treacy dan Wieserma dikatakan bahwa perusahaan yang dekat dengan pelanggan, melibatkan diri dalam hubungan yang lebih dalam (relationship) dan mempertimbangkan faktor customer life time value secara hati-hati sebagai sesuatu yang berharga. Mereka juga selalu meningkatkan penawaran dan kualitas produknya pada pelanggan sehingga harapan mereka terhadap produk semakin hari semakin naik. Mereka seakan ingin menerapkan standar layanan yang paling tinggi di industri yang digelutinya sampai pesaing tidak mampu lagi mengikutinya.

Dalam rangka meningkatkan repeat customer menjadi loyal client ini, tantangan terberatnya adalah menciptakan switching barrier yang mampu mengunci pelanggan. Kuncinya terletak pada cara perusahaan bisa mengenali kekuatan internalnya dan memutuskan maka dari ketiga strategi pemimpin pasar tersebut yang akan dipilih sebagai sumber keunggulan bersaing.

Dari Loyal Client ke Spiriual Advocate
Untuk sukses ‘membawa’ pelanggan kita menuju spiritual advocate ada tiga disiplin cara yang harus dilaksanakan, yaitu membentu komunitas (communitization), lalu menciptakan buzzword (buzzing), dan menciptakan keterikatan emosi antara pelanggan dengan brand (emotionalization).

Menurut McConnel dan Huba dalam bukunya Creating Customer Evangelist, manfaat komunitas bagi pelanggan adalah menciptakan rasa memiliki (sense of ownership) yang lebih besar melalui keterikatan sosial. Sedangkan manfaat bagi perusahaan, komunitas adalah channel murah dalam upaya untuk mendapatkan feedback dari pelanggan yang berguna bagi pengembangan produk baru. Bahkan pada beberapa kasus, keberadaan komunitas mampu mendongkrak angka penjualan produk dikarenakan mekanisme customer referral dan recommendation berjalan. Contoh program komunitas antara lain in-person event, club, user group, online bulletin board, e-mail discussion group, e-mail newsletter, dan fans website.

Strategi kedua adalah menciptakan buzz. Per definisi buzz adalah kumpulan pembicaraan seputar produk, servis dan perusahaan dalam berbagai kesempatan. Buzz bisa melalui pembicaraan tatap muka, pembicaraan melalui web di chat room, bulletin board, blog, dan e-mail yang diteruskan ke orang lain. Buzz yang sukses biasanya dikemas dalam bentuk cerita (story), mitos (myth) dan pemberitaan yang menarik, baik mengenai produk maupun perusahaan sehingga menjadi hot topic di kalangan penggunanya maupun masyarakat secara umum.

Menurut McKinsey&Co, 67% aktivitas ekonomi Amerika Serikat yang meliputi industri keuangan, biro perjalanan, percetakan, otomotif, farmasi, pertanian bahkan sampai dengan olahraga, dipengaruhi oleh buzz.
Mengapa buzz menjadi sedemikian powerful sekarang ini? Tidak lain karena sifat manusia yang suka berkumpul dan mencari informasi, kemudian membaginya kepada orang lain. Di samping itu, orang mulai bosan dengan iklan dan promosi yang biasa saja yang hanya satu arah, tidak kredibel dan menjadikan pelanggan sebagai obyek. Iklan dan promosi inilah yang memunculkan bahwa all marketer are lier. Ingat kunci dari peningkatan loyalitas pelanggan adalah jangan pernah menyepelekan emosi dan perasaan pelanggan.

Masih ingatkah Anda dengan film kontroversial karya Mel Gibson, Passion of The Christ. Film ini merupakan contok ‘produk’ yang justru terdongkrak karena buzz marketing. Cerita kontroversialnya justru mendorong orang ingin menonton. Buzz marketing film ini berhasil ‘membantu’ promosi film ini sehingga mampu meraih pendapatan sebesar US$ 125 juta hanya dalam 5 hari.

Loyalty Advantage menjelaskan bahwa berdasarkan hasil survei yang dilakukan Forum Corporation, ditemukan bahwa lebih dari 60% responden mengaku telah berpindah brand beberapa kali dalam kurun waktu tertentu. Mereka berpindah brand bukan karena produk yang rusak atau masalah nyata lainnya. Mereka pindah lebih karena terdorong ketidakpuasan servis dan perhatian yang kurang. Survei tersebut menyimpulkan bahwa emosi semakin berperan dan memengaruhi penilaian kualitas servis. Hal ini karena umumnya judgement emosi lebih dahulu muncul saat pelanggan menilai kualitas servis, baru judgement rasional mengikutinya.

Ditemukan juga bahwa ternyata emosi juga memengaruhi proses pengambilan keputusan, termasuk dalam pemilihan brand. Daniel Goleman mengatakan ‘... first felling, second thoughs. The challenge is how we touch the feelings and emotion a gate to get into the customer’s heart ...’.
Ada berbagai cara untuk menyentuh hati pelanggan, antara lain apa yang dilakukan Apple Imac pada sentuhan ‘kewanitaan’-nya. Demikian juga dengan majalah Cosmopolitan yang menyentuh hati dengan mendorong para wanita modern untuk menjadi fun-fearless female.

Memang usaha yang ditempuh untuk bisa mendorong pelanggan ke loyalitas tertinggi, yaitu spiritual advocate lebih berat dari fase sebelumnya, memerlukan banyak usaha, komitmen dan menghabiskan lebih banyak sumber daya. Namun demikian return yang didapat perusahaan dari loyalist secara jangka panjang ini akan sangat menguntungkan dan pasti lebih besar daripada profit yang didapat perusahaan yang hanya fokus dalam meningkatkan transaksi saja, tanpa pernah membina hubungan dengan pelanggannya.

Loyalitas merek memang sesuatu yang didengung-dengungkan dalam 10 tahun belakangan. Pada akhirnya, perjalanan panjang membangun bisnis adalah mendapatkan seberapa banyak pelanggan loyal pada brand. Sebab, tanpa loyalitas tidak akan ada bisnis di masa mendatang. Oleh karena itu, manajemen kita seharusnya memasukkan key performance indicator loyalitas brand sebagai suatu langkah ‘antisipasi loyalitas’ dalam mengelola perusahaan.

Namun, pertanyaan selanjutnya adalah, apakah KPI ini sudah pula didukung dengan perangkat how to dan pakem-pakem pembangunan merek yang menuju pada loyalitas? Jika belum, maka perubahan KPI ini hanya akan menambahkan indikator saja tanpa mengubah cara pandang dalam pola kelola merek.
Yang sering terjadi di pasar, mental pemasar sangat disiplin di awal pembangunan brand. Mereka sangat hati-hati berfokus pada eksekusi diferensiasi. Pembangunan image begitu getol hingga segala tindakan dipertimbangkan apakah berujung pada penambahan citra yang sehat. Biasanya yang berhasil membangun diferensiasi dan berhasil mencapai posisi leadership di pasar, sedikit demi sedikit mulai tergiur, terlena, sehingga kurang lagi memperhatikan dan memelihara image. Yang ada kemudian adalah ketamakan untuk mendapatkan cash flow today tanpa mempertimbangkan cash flow tomorrow.

Rata-rata setelah 10 tahun di pasar dan berjaya, brand mulai ‘dilacurkan’ dijadikan merek murahan, tak terpelihara, dan slowly but sure will die. ‘The death of local brand’ mungkin bukan sebutan sembarangan. Mengapa banyak merek lokal menggali kuburnya sendiri? Kita kekurangan disiplin. Persoalan ini bukan karena pelanggannya berubah semata, juga bukan karena persaingannya bertambah seru, bukan pula karena pasar menjadi semakin tidak bersahabat, melainkan sering karena mental manajemen yang sangat short-term. Mungkin saja mental ini terbangun dan dipengaruhi oleh teori cash flow-nya si BCG, dimana merek-merek yang menghasilkan cash masa kini, dan marilah kita berfokus untuk mengeruk cash masa kini. Jauh dalam lubuk pikirannya, mereka percaya bahwa suatu saat merek bisa tidak populer, maka kesempatan menghasilkan cash berat sekarang akan terlewati.

Jika kita percaya akan loyalitas merek, dan ingin membangun loyalitas merek, maka berhati-hatilah dalam menerapkan teori cash cow. Pengelolaan merek yang bagus mestinya building future and deliver today seperti yang ditulis oleh Peter Fisk dalam Marketing Genius. Dengan mental seperti ini, ketika merek sudah mencapai titik balik kurva S, maka sebaiknya dijaga pula masa depannya. Terlalu hard selling dalam periode setelah titik balik kurva S, akan membunuh merek itu sendiri. Kategori produk dan jasa boleh usang, tapi merek harusnya tetap ‘remaja’, tetap segar dan fresh.

Bagaimana dengan credit union kita?
Logikanya dengan sistem kerja credit union, dimana anggota sebagai pelanggan utamanya, secara otomatis mereka inilah yang disebut sebagai loyal client atau bahkan spiritual advocate. Tapi apa benar semikian? Ternyata riil di lapangan jauh panggang dari api. Bukti ‘otentik’-nya banyak sekali, pertumbuhan keanggotaan yang tidak terlalu signifikan dibandingkan pertumbuhan loyal client di lembaga keuangan lainnya, khususnya perbankan. Kemudian kelalaian pinjaman yang peningkatannya ‘berbanding lurus’ dengan peningkatan jumlah pinjaman yang beredar. Lantas besarnya pertumbuhan simpanan non saham jika dibandingkan dengan simpanan saham. Padahal simpanan saham merupakan value indicator adanya sense of ownership pelanggan credit union. Dan akhirnya apa yang menjadi keuntungan (profit) yang setiap tahun dikejar dan diagung-agungkan oleh credit union, yaitu SHU, merupakan return yang semu atau sebatas keuntungan jangka pendek. Ini dia awal slowly but sure will die-nya credit union.

Apa penyebabnya?
Karena credit union belum mampu memberikan value yang lebih kepada pelanggan, baik eksternal maupun internal. Credit union belum memberikan keuntungan emosional kepada pelanggannya, belum melibatkan emosi dalam setiap usahanya, bahkan masih minim proses relationship dikembangkan.
Servis? Belum mengarah pada customer satisfaction, apalagi menjadi sebuah solusi. Proses? Efisiensi dan efektivitas berjalan dalam tataran finansial, dan jangan terlalu berharap lebih. Kondisi-kondisi seperti inilah yang selama ini justru mengerosi brand credit union itu sendiri.
Solusinya? Buatlah blue print merek dan pelanggan dalam jangka pendek dan jangka panjang, lakukan medical check-up rutin dan lakukan ‘pengobatan’ merek serta pelanggan bila sedang sakit dan lakukan rejuvenasi agar merek tetap awet muda. Atau dengan kata lain lakukan remarketing credit union, dengan merawat brand credit union. Karena dialah pemberi masa depan bagi credit union kita.

Semoga bermanfaat. Terima kasih.

0 komentar: