Great Product Formula
Posted: Minggu, 31 Mei 2009 by R. Anang Tinosaputra in Label: The Meaning of Management
0

Secara simpel, produk yang berkualitas lahir dari sebuah ide besar, brilian dan tentunya berkualitas dalam suatu kondisi manajemen perusahaan yang juga benar-benar berkualitas...
Kemarin saya mendapatkan kabar dari salah seorang sahabat saya di Jakarta. Dia mengatakan akan datang ke Bali untuk memberikan training mengenai microfinance untuk credit union. Seketika, hati ini tergelitik. Ada sesuatu yang harus saya tanyakan, ada sesuatu yang membuat saya harus ambil bagian. Bukan mau ikut campur kegiatan atau agenda orang lain, tapi lebih karena, pertama, credit union. Dan kedua, produk microfinance. Saya kemudian mulai menyampaikan beberapa hal kepada sahabat saya itu. Dan apa yang saya sampaikan garis besar utamanya adalah berikut ini. Semoga sahabat saya membaca tulisan ini.
Cukup panjang memang, tapi saya yakin akan bermanfaat bagi kita semua, khususnya credit union.
Di tengah perubahan lingkungan bisnis yang berjalan super cepat, kemungkinan suatu perusahaan mampu menciptakan great product kini kian random dan tidak terprediksi. Bagi perusahaan, menemukan great product kini seperti membidik sebuah moving target. Tak jelas faktor-faktor suksesnya. Tak jelas pola dan perilaku terjadinya. Tak jelas apa saja variabel-variabel untuk mewujudkannya. Bahkan tak jelas pula bagaimana mereplikasi dan mengulanginya.
Volkswagen boleh jadi sukses menciptakan great product sehebat VW Beetle, namun sukses itu sekali seumur hidup - once in a lifetime. Volkswagen tak mampu mengulanginya lagi untuk great products yang lain. Intel boleh jadi sukses merajai industri komputer global dengan great product-nya yaitu otak komputer, mikroprosesor. Namun kini ia kebingungan menemukan great product apa lagi yang harus dilahirkan untuk memperpanjang kepemimpinan pasarnya.
Sony barangkali lebih baik, karena mampu menghasilkan serangkaian great product mulai dari walkman, discman, lalu handycam hingga playstation. Namun seperti kita lihat kini, perusahaan inipun senasib dengan Volkswagen dan Intel, yang kebingungan menemukan great product apalagi yang harus ia ciptakan untuk bisa survive.
Kenapa demikian? Jawabannya tidak begitu sulit ditemukan.
Pertama, dari sisi 'penawaran'. erubahan teknologi yang berjalan demikian cepat yang memic bermunculannya killer applications (aplikasi teknologi baru yang memakan aplikasi lama) dan menjadikan daur hidup produk jadi kian pendek. Kedua, dari sisi 'permintaan'. Perkembangan keinginan dari pelanggan berjalan tidak kalah cepat dan tingkat dinamisnya mengikuti akselerasi perkembangan teknologi dan killer aps di atas. Fenomena ini tak bisa dipungkiri dipicu oleh semakin knowledgable dan semakin cangginya pelanggan (customer sophistication), juga semakin naik pesatnya ekspektasi mereka.
Mengenai hal ini, saya jadi teringat dengan model yang diajukan oleh Vlayton Christensen, pakar yang mempopulerkan konsep disruptive technologies. Pakar dari Harvard ini telah mengidentifikasi ada dua jejak perkembangan (trajectory) yang membentuk sebuah pasar untuk suatu teknologi atau produk tertentu. Yang pertama jelas mewakili sisi 'penawaran', yaitu percepatan perkembangan teknologi (techonoly trajectory) yang mendukung suatu produk. Yang kedua tentu saja mewakili sisi 'permintaan', yaitu percepatan perkembangan kebutuhan dan pelanggan (customer need trajectory) yang mengindikasikan kecanggihan pelanggan.
Kalau technology trajectory dan customer need trajectory ini bertemu melalui sebuah produk tertentu, maka itu berarti pasar untuk teknologi tersebut terbentuk dan nilai ekonomi untuk teknologi tersebut mulai menemukan momentumnya. Apa artinya ini? Artinya, sehebat apapun sebuah teknologi, kalau ia tak mampu menciptakan value untuk memenuhi keinginan dan harapan konsumen, maka teknologi itu tidak akan mampu menemukan critical mass komersialnya.
Pesannya apa? Bahwa sebagai seorang marketer, kita harus bisa mempertautkan technology trajectory yang ada di sisi penawaran dan customer need trajectory di sisi permintaan. Celakanya baik technology trajectory maupun customer need trajectory, kini kian sulit ditebak arahnya. Semakin menjadi moving target.
Mau bukti? Lihat bagaimana Air Asia mampu menciptakan image terbang murah bagi semua kalangan. Dia tidak perlu mengedepankan kenyamanan, karena memang bukan menjadi positioning-nya. Tapi jika bicara soal harga, semua kalangan mampu menjangkaunya.
Karena alasan kompleksitas di atas, maka semakin terlihat bahwa untuk melahirkan great product, kita memerlukan great management baik di sisi penawaran maupun pada sisi permintaan. Di sisi penawaran kita jelas memerlukan great product atau tecnology management. Sementara di sisi permintaan, kita memerlukan great customer management.
Berdasarkan pengalaman, ternyata product dan customer management itupun masih belum cukup. Ada baiknya kita juga melengkapi diri dengan suatu great brand management sebagai jembatan bagi keduanya. Kenapa menjadi jembatan? Karena brand management yang solid, biasanya akan mampu menstimulasi dan mengakselerasi bertemunya technology dan customer need trajectory di atas. Brand management akan memungkinkan produk atau teknologi menemukan potensi maksimalnya di pasar.
Prosesor Intel menemukan critical mass-nya di pasar setelah meluncurkan kampanye branding Intel Inside. iMac mencapai sukses puncaknya setelah produk ini membangun identitas mereknya sebagai produk yang cool, stylish, be different, fun di samping tentu saja user-friendly. Begitu pul VW Beetle mencapai sukses luar biasa ketika ia mengajak para konsumennya untuk Think Small.
Produk adalah barang mati. Ia akan hidup setelah diberi 'nyawa'. Nyawa itu adalah brand. Dan proses penerimaan pasar akan semakin cepat jika produk yang kita ciptakan hidup, memiliki identitas, memiliki karakter ketika produk kita memiliki brand yang kokoh.
Kesimpulannya, untuk mewujudkan great product kita harus memiliki great management yang mencakup tiga area product management, customer management, dan juga brand management.
GREAT MANAGEMENT =
PRODUCT MANAGEMENT + BRAND MANAGEMENT + CUSTOMER MANAGEMENT
Jika great management merupakan elemen penting bagi terwujudnya great product, maka pertanyaannya kemudian adalah, apa yang akan di-'manajemeni'? Jawabnya adalah great idea. Great idea ini menjadi semacam 'bahan baku' bagi terwujudnya great product. Great idea adalah bahan masakan beserta bumbu-bumbunya, sementara great management adalah cara memasaknya. Jadi, great idea is about 'what', sementara great management is about 'how'. Dengan kata lain bisa juga dikatakan bahwa, great idea menyangkut bagaimana sebuah perusahaan menghasilkan ide-ide produk yang inovatif, kreatif dan breakthrough, sementara great management lebih menyangkut pada bagaimana perusahaan tersebut mampu mengomersialkannya.
GREAT IDEA = GREAT MANAGEMENT + GREAT PRODUCT
Sekarang kita fokus pada great idea. Kalau di depan kita membagi great management ke dalam tiga komponen pokok: product management, customer management, dan brand management, lalu bagaimana dengan great idea?
Sama dengan great management, saya juga membaginya ke dalam tiga komponen inti: fresh insight, passionate team, dan cool garage.
Intinya, untuk bisa menghasilkan great idea, maka sebuah perusahaan harus bisa menemukan dan menyerap berbagai insight berharga dari manapun, terutama dari pasar aatu pelanggan. Kedua, perusahaan harus memiliki sebuah tim yang solid dan berdedikasi untuk merealisasikan berbagai insight berharga tersebut menjadi produk yang sukses di pasar. Ketiga, perusahaan juga harus menciptakan sebuah lingkungan kerja yang kondusif, yang nantinya mampu menstimulasi inovasi dan kreativitasnya.
Good to Great
Ada tiga parameter yang wajib ada dalam setiap great product, yaitu produk tersebut mencapai inovasi nilai (value innovator), menjadi penentu harga di pasar (price maker), dan terakhir menjadi standar bagi produk lain (standard setter).
Yang pertama adalah value innovator. Apa yang perlu dimaksud dengan value innovation? Untuk menjawabnya kita perlu mengacu pada customer value formula seperti rumus di bawah ini.
CUSTOMER VALUE FORMULA
CUSTOMER VALUE = CUSTOMER BENEFIT / CUSTOMER COST
CUSTOMER VALUE = [Fb + Eb] / [P + Oe]
Catatan:
Fb = Functional benefit
Eb = Emmotional benefit
P = Price
Oe = Other expenses
Conventional wisdom selalu mengatakan bahwa kalau kita sukses meningkatkan customer benefit maka kenaikan itu akan diikuti dengan naiknya customer cost. Kenapa demikian?
Karena untuk meningkatkan customer benefit kita butuh biaya yang tidak kecil. Value innovation hanya terjadi jika kita mampu menaikkan customer benefit sekaligus menurunkan customer cost. Jadi, value innovation terjadi jika produk kita bisa meniadakan benefit-cost trade off. Inilah yang tersulit.
Kalau dulu, ketika persaingan belum seketat sekarang, menaikkan customer value dianggap sudah cukup. Bagaimana caranya? Pertama, menaikkan customer benefit dengan terus mempertahankan customer cost untuk tidak naik, atau minimal customer cost naik tapi kenaikan ini diikuti dengan peningkatan customer benefit yang jauh lebih tinggi. Kedua, menurunkan customer cost dengan mencoba mempertahankan customer benefit agar tidak turun, atau terjadi customer benefit turun namun penurunan ini diikuti dengan penurunan customer cost yang jauh lebih tinggi.
Namun itu dulu, sekarang sudah tidak ampuh lagi. Ketika persaingan sudah demikian hypercompetitve, ketika semua pelanggan sudah demikian smart dan hyperdemanding, ketika global deflaction melanda seluruh industri tanpa ampun, ketika momok The China Price telah menghantui setiap produsen dari negara manapun, maka kita tidak bisa mengelak lagi. Tidak bisa tidak, kita harus mampu menciptakan produk dengan extraordinary benefits sekaligus extraordinary low cost. Produk harus menjadi differentiation leader dan cost leader sekaligus.
Kita bisa melihat fenomena persaingan yang super ketat di bisnis operator seluler. Kombinasi antara persaingan yang superketat dengan pelanggan yang hyperdemanding dengan cepat telah memaksa semua pemain di industri ini untuk terus menaikkan benefits (menambah fitur) sekaligus menurunkan cost (menurunkan tarif). Mereka dipaksa oleh persaingan agar melakukan value innovation. Apa yang terjadi kalau mereka tidak mampu melakukannya? Mudah saja, bisa dipastikan mereka bangkrut. Bagaimana tidak bangkrut? Di satu sisi menambah fitur, di sisi lain harus turun harga. Mana tahan?
iPod adalah contoh greatr product yang sukses karena bisa melakukan value innovation. mengacu pada customer value formula di atas, iPod sukses menaikkan customer benefits sekaligus menurunkan customer costs. Lalu, apa extraordinary customer benefits yang diberikan? Kemampuan untuk meng-customized lagu-lagu yang diinginkan oleh para pecinta musik. Dengan men-download lagu-lagu di iTune mereka bisa dengan mudah mengoleksi lagu-lagu dari berbagai musisi dan jenis musik tanpa harus membeli album dari masing-masing musisi itu. Pada bagian terakhir itulah customer cost yang dipangkas.
Kedua adalah standard setter. Sebuah great product selalu menajdi acuan dan standar bagi produk lain di kategorinya. Ketika sebuah great product meluncur di pasar, maka ia menciptakan rule of the game baru di kategorinya. Ia secara tidak langsung menciptakan aturan-aturan dan ukran-ukuran baru untuk 'dipenuhi' para pesaingnya.
Honda Jazz adalah contoh great product lain yang sukses meredefinisi bagaimana seharusnya sebuah mobil untuk anak muda. Memanfaatkan 'kekosongan' produk di segmen mobil untuk anak muda pasca krisis tahun 1998, onda Jazz keluar dengan extraordinary value preposition baik itu fungsionalnya maupun emosionalnya. Secara fungsional memang fitur-fitur yang dimiliki Jazz dirancang untuk kaum muda. Dan secara emosional, Jazz menawarkan self expression benefit berupa identitas dan gaya hidup kaum muda dan mereka yang berjiwa muda. Karena sudah terlanjur menjadi standar di segmen ini, maka pesaing yang belakangan masuk - Toyota dengan Yaris-nya, Kia dengan Visto-nya dan Susuki dengan Swift-nya - akhirnya dibuat tak berdaya untuk membendung dominasi Jazz.
Memang great product tidak harus market leader, tapi bisa dipastikan bahwa ia adala thought leader. Ia akan selalu diperbincangkan oleh pesaingnya bukan karena gosip hasil rekayasa, tapi karena betul-betul extraordinary value yang diberikannya kepada pelanggan.
Dan akhirnya, karena great product adal;ah value innovation dan standard setter, maka ujung-ujungnya great product juga menjadi price maker. Great product selalu bisa menentukan harga sendiri dan tidak akan pernah ada great product yang harganya dipermainkan pasar.
GREAT IDEA
Great idea leads to a great product. Ide yang inovatif, brilian dan kreatif adalah awal kelahiran great product. Tanpa ide tidak mungkin produk sukses lahir. Karena itu perusahaan yang sukses dan sustainable ialaha perusahaan yang secara sistematis mencari, mengumpulkan, dan mengembangkan ide-ide yang menjadi 'bahan bakar' penciptaan produk-produk barunya.
Perusahaan-perusahaan top seperti Apple, Google, dan GE sangat serius dan mengalokasikan sumber daya sangat besar untuk mendorong setiap karyawannya 'menelorkan' ide-ide brilian bagi pengembangan produknya. Mereka mempunyai 'tim kreatif' untuk hal ini. Mereka ini merupakan perusahaan-perusahaan yang sustainable dan mencapai sukses dalam jangka panjang. Mereka adalah value creating machine. Dan ternyata, value creating machine hampir bisa dipastikan adalah idea generating machine.
Pertanyaan selanjutnya adalah, bagaimana menjadi credit union sebagai sebuah 'pabrik ide'? Ada setidaknya tiga faktor yang sangat krusial dan harus ada untuk bertumbuh-suburnya ide dalam organisasi kita. Pertama, organisasi kita harus memiliki mekanisme untuk menghasilkan fresh insight secara sistematis. Kedua, kita harus memiliki passionate teams yang tidak pernah lelah dalam 'berburu' ide dan inovasi. Ketiga, kita harus menciptakan iklim (climate of cool garage) untuk menumbuhkan kreativitas dan inovasi di dalam organisasi.
Fresh Insight
Pertama-tama kita harus mengumpulkan dan mengolah insight-insight berharga darimana saja baik itu pesaing, pemain di luar industri kita, dari para pakar atau futurist dan terutama dari pelanggan kita. Begitu pentingnya proses mengumpulkan dan mengolah insight ini, seharusnya hal ini sudah menjadi budaya kerja setiap karyawan, sehingga simana pun dan kapanpun, karyawan akan selalu fokus untuk mencari dan menemukan insight-insight ini.
Sleep and dream with the customer. Salah satu resep yang paling mujarab untuk membantu kita menemukan insight yang berharga untuk pengembangan produk kita, adalah bergumullah sebanyak dan sedekat mungkin dengan semua pelanggan kita. Selalu mencoba berempati dan memahami setiap persoalan dan jadilah problem solver bagi mereka, dari sana secara otomatis kita akan menemukan insight-insight yang berharga untuk pengembangan produk kita. Kita tdiak perlu lagi melakukan focus group discussion, one day in the life of customer's research, atau melakukan mistery shopping survey untuk mendapatkan insight tersebut.
Learning to unlearn. Kesulitan utama bagi kita untuk bisa menghasilkan produk yang benar-benar breakthrough adalah karena kita memiliki inersia. Kita cenderung terperangkap dan terpola pada logika kesuksesan produk lama yang telah mapan. Ketika sebuah produk sudah menjadi standar dan mendefinisikan value preposition di industrinya, maka biasanya kita mengalami kesulitan luar biasa ntuk keluar dari value preposition tersebut. Untuk bisa keluar dari perangkap logika kesuksesan tersebut, mau tidak mau kita harus belajar untuk melupakannya, unlearn. Kita harus terbiasa untuk break with immediate past. Kita harus terbiasa untuk berpikir lateral menggunakan 'jalur alternatif' di luar mainstream route yang sudah mapan. Dengan unlearn kita akan menemukan insight-insight berharga untuk melahirkan great product kita.
Shopping around. Biasakan diri kita 'berbelanja ide' dari perusahaan lain, kalau bisa nun jauh di luar industri yang kita geluti. Lihat, Bank Mandiri belajar cara membungkus produk dengan servis dari dunia perhotelan (Ritz Carlton Hotel). Atau bagaiman Southwest menemukan model bisnis low cost carrier (LCC)-nya justru dari arena balap Formula 1. Untuk meningkatkan utilitas pesawat dan mendorong efisiensi, Southwest lantas meniru bagaimana mobil F-1 hanya membutuhkan waktu tidak lebih dari 7 detik untuk mengisi bahan bakar, mengganti ban, dan bahkan juga memerika kendaraan, ketika berada di pit-stop.
Passionate Team
Organisasi yang sukses menciptakan dan mengumpulkan insight berharga tidak ada gunanya kalau insight tersebut tidak bermuara menjadi produk yang sukses secara komersial. Untuk itu kita memerlukan tim yang solid, tim yang berdedikasi, tim yang passionate untuk mewujudkan great product. Saya setuju dengan Jim Collins, penulis Good To Great, yang mengatakan bahwa yang penting adalah 'sopir' bukan 'mobil'-nya. Tim solid yang berisi passionate people merupakan komponen paling penting untuk terwujudnay great product.
Widely divergent disciplines, one mission. Great product tidak hanya dibuat oleh orang-orang research and development, tidak hanya oleh orang-orang marketing, bukan juga hanya oleh orang-orang produksi. Great product adalah karya dari tim yang terdiri dari orang marketing yang menjajaki kelayakan pasar, orang produksi yang merealisasikan prototipe menjadi produk massal dan juga orang keuangan yang akan terus melakukan analisis pengembalian investasi serta masih banyak pihak yang terlibat. Diperlukan integrasi, sinergi, teamwork dan satu misi.
The power of sharing. Anggota tim yang berasal dari beragam disiplin di atas tidak akan bisa fit satu sama lain jika di antara anggota tim tersebut tidak terjadi komunikasi dan interaksi yang sangat intens. Ingat kata-kata ampuh Tom Kelley, General Manager IDEO, 'brainstorming is practically a religion at IDEO, one practice nearly everyday'.
All make contribution, teamwork. Saya membayangkan sebuah pengembangan produk tak ubahnya seperti sebuah big band dunia musik jazz. Di dalam big band ini berkumpul para maestro berbagai alat musik, mulai dari drum dan perkusi, alat musik tiup (bass section), piano, gitar, dan lain sebagainya. Seperti pada umumnya permainan musik jazz, para maestro ini bermain dengan gaya dan improvisasinya sendiri-sendiri, namun secara keseluruhan menemukan keteraturan estetika yang unik dan enak didengar. Ada simphoni yang bermain di sana.
Cool Garage
Tim pengembangan produk kita tidak akan mampu berpikir kreatif, tidak bisa mandiri, tidak terbiasa unlearn dan sulit untuk break with immediate past, jika tim tersebut bekerja dalam lingkungan yang tidak kondusif untuk itu. Mereka seharusnya adalah dedicated team yang bekerja dalam sebuah organisasi layaknya sebuah start-up company, dimana lingkungannya mendorong setiap orang untuk berkreativitas dan berinovasi.
Dari studinya selama sepuluh tahun, William Souder, pakar pengembangan produk, mengidentifikasikan ada lima dimensi iklim organisasi yang berpengaruh terhadap suksesnya inovasi dan pengembangan produk.
Pertama, iklim kerja yang memiliki ketidakmenentuan dalam tugas dan tanggung jawab karyawan, cenderung tidak inovatif. Kedua, iklim kerja yang memiliki fleksibilitas peran dan tanggung jawab (role flexibility) lebih tinggi dalam pekerjaan, cenderung lebih inovatif. Ketiga, iklim kerja yang mendorong keterbukaan dan trust, cenderung lebih inovatif. Keempat, dukungan manajemen memegang peran krusial bagi suksesnya sebuah proyek inovasi. Terakhir, kelima, komunikasi yang intensif (baik segi volume maupun frekuensi) dalam organisasi, cenderung mendorong inovasi.
Untuk menumbuhkan iklim inovasi dalam organisasi kita, ada tiga elemen penting yang perlu diperhatikan. Ketiganya menyangkut organisasi (kill the hierarchy), menyangkut budaya perusahaan (build intrapreneurial culture), dan menyangkut hal leadership (choose innovation heroes). Mari kita lihat.
Kill the hierarchy. Kreativitas dan inovasi sangat benci yang namanya hirarki. Kreativitas dan inovasi 'hanya' akan tumbuh dalam lingkungan yang egaliter dimana setiap ide dan kontribusi sekecil apapun dari siapapun akan diperhitungkan. Kalau di atas tadi dikatakan bahwa pertukaran ide melalui brainstorming merupakan hal yang krusial, pertukaran ide itu hanya akan powerful jika lingkungannya egaliter, semua bebas berekspresi, dan kontribusi setiap anggota tim diperhitungkan. Oleh karena itu, organisasi yang dibangun haruslah bersifat horizontal, expertise centered bukan top-down, authority centered, hubungan di kalangan anggota tim menggunakan pendekatan colleague-based relationships, jadi bukan lagi boss-employee relationships, dan agar organisasi bisa fleksibel serta adaptif, maka seharusnya format organisasinya adalag decentralized, participation-driven dimana project teams, task forces dan juga project management menjadi tools yang paling ampuh untuk menjalankan tugas-tugas organisasi.
Intrapreneurial culture. Organisasi yang dibangun harus bisa menciptakan iklim yang memungkinkan tumbuh-suburnya internal enterpreneur (intrapreneur). Pada organisasi seperti ini manajemen harus mendorong dan mengembangkan inisiatif individu, intuitive thinking, take risk mentality, dan juga ide-ide orisinil yang 'kontroversial'. Orang-orang di dalam organisasi juga harus selalu berpikir untuk merealisasikan setiap ide yang muncul hingga mencapai tahapan komersialisasi.
Innovation heroes. Dalam organisasi apapun peran dari seorang pemimpin selalu saja krusial dan menentukan. Begitu pula dalam organisasi inovasi dan pengembangan produk, peran seorang nnovation heroes sangatlah menentukan. Innovation heroes bisa di top-level bisa juga di middle level management. Mereka merupakan orang-orang yang menjadi inspirasi bagi tim. Mereka adalah resource allocator yang piawai. Mereka menunjukkan komitmen dan memberikan dukungan serta sponsorship habis-habisan kepada perusahaan. Mereka menjadi pendamai bagi pihak-pihak dari beragam disiplin jika terjadi konflik. Mereka menjadi back-up dan pengawal ketika produk masih berada pada fase embrio, memasuki masa-masa kritis hingga nanti sukses menuju fase komersialisasi. Mereka adalah sosok pahlawan dalam tim.
GREAT MANAGEMENT
Ada tiga core processes yang harus dikelola secara baik untuk mewujudkan great management dari produk yang terlahir. Pertama adalah, proses untuk mewujudkan ide tersebut menjadi produk yang secara teknis soap untuk masuk ke pasar. Kedua adalah, memberi 'nyawa' produk tersebut dengan brand untuk memperkuat value proposition produk tersebut, baik secara fungsional maupun emosional. Ketiga adalah, proses untuk menyukseskan produk tersebut meluncur ke pasar melalui pengelolaan pelanggan yang solid.
Product Management
Untuk mewujudkan ide menjadi produk yang siap dipasarkan, minimal ada tiga tahapan yang harus dilalui, yakni melakukan scoping and building business case, development and testing dan terakhir ditutup dengan product launching.
Scoping and building business case. Tahapan pertama ini bertujuan untuk menilai dan mengukur aspek keuangan, aspek penerimaan pasar, aspek operasional teknik mewujududkan ide menjadi produk nyata, dan faktor-faktor lain yang berpotensi untuk meningkatkan dan atau bahkan menurunkan tingkat kesuksesan produk tersebut di pasar.
Aktivitas utama di tahapan ini adalah menentukan variabel pengukuran - must meet criteria dan should meet criteria - melakukan riset primer (dengan metode interview dan focus group discussion kepada pelanggan), dan juga melakukan riset sekunder (studi literatur). Out-put yang dihasilkan dari proses ini adalah keputusan diteruskan atau tidak diteruskannya ide pengembangan produk, baru kemudian menuju tahapan selanjutnya.
Development and testing. Pada tahapan ini, perusahaan melakukan analisis lebih mendalam mengenai empat aspek di atas. Ada lab test, in house test, alpha test untuk memastikan aspek teknis dari produk. Sedangkan di sisi pasar dilakukan market analysis dan customer feedback analysis yang akan dilakukan secara pararel dengan aktivitas pre-test, test market, dan trial sell, agar sebelum produk diluncurkan semuanya telah sempurna (produknya sempurna, channel-nya siap, bahkan juga kebijakan penjualan beserta harganya telah jelas).
Pada tahap ini ada fenomena unik. Sebagai contoh kasus, biasanya marketer otomotif akan bangga dengan jumlah pelanggan yang inden ketika produk barunya diluncurkan, tapi saya justru melihat fenomena ini merupakan bukti kegagalan dalam mengelola pengembangan produknya. Jika analisis pasarnya tepat, maka tidak ada istilah kekurangan produk atau bahkan kelebihan produk, karena kita tahu betul berapa tingkat penerimaan pasar yang menentukan jumlah produk yang harus disediakan pada saat produk baru diluncurkan. Kasus yang lain, tentu saya seringnya credit union mengalami kekurangan dana atau bahkan kelebihan dana. Ada riset pasar yang tidak berjalan.
Product launching. Product launching sebenarnya adalah titik kulminasi dari dua proses sebelumnya, namun bukan proses terakhir menuju produk sukses. Product launching adalah awal proses komersialisasi produk baru yang kemudian nantinya akan dilanjutkan dengan tahapan-tahapan marketing taktis.
Pada tahapan akhir ini, seharusnya manajemen minimal telah selesai merancang dan menentukan product positioning, differentiation, dan brand, marketing-mix hingga penentuan taktik penjualan beserta channel management-nya. Jika tahap ini telah siap, maka product launching benar-benar akan menjadi moment of truth bagi kesuksesan produk di pasar, bukan sekadar memperlihatkan dummy product seperti yang telah umum terjadi.
Brand Management
Keputusan menetapkan sebuah brand untuk sebuah produk, posisinya sangat strategis dalam pengembangan produk baru tersebut. Brand memberikan 'nyawa' bagi semua produk. Namun, nama dan nyawa tidak akan membentuk karakter brand yang kuat jika tidak didukung oleh komitmen dalam perilaku dan konsistensi dalam brand activation (below the line) dan brand visualization (above the line).
Brand Character. Sejak awal produk akan dikembangkan, manajemen harusnya telah membayangkan nama brand yang berkarakter kuat, beda dan akan tampil stand-out dibanding brand yang telah ada di pasar.
Apple mengajarkan kita bagaimana cara yang benar untuk menciptakan karakter brand, yakni dengan merancang logo yang unik dengan melandaskan pada nilai-nilai (values), lantas personality dan behavior yang ada dalam perusahan tersebut. Demikian juga calon pembeli mobil Ferrari juga dibuat 'susah' - tidak bisa melihat displai produk, diwajibkan membayar 35% dari harga untuk uang muka, 35% ketika ada kepastian bahwa pesanan diproduksi dan sisanya ketika Ferrari benar-benar diterima di tangan.
Contoh lain yang dekat dengan kita, adalah Joger. Brand yang memposisikan diri sebagai pabriknya kata-kata ini mempunyai karakter unik. Mungkin kita pernah mengamati bahwa pengunjung dan pembeli dibuat sulit atau tidak nyaman untuk mendapatkan produk ini, yakni membatasi lokasi pembelian, membatasi jumlah pembelian, dan terakhir membatasi waktu pembelian. Namun, justru dengan 'pembatasan' tersebut, Joger menjadi produk yang paling dicari-cari terutama oleh wisatawan lokal dan menjadi salah satu ikon Pulau Dewata, Bali. Karena keterbatasannya, ia menjadi sangat eksklusif. Dan eksklusivitas inilah yang menjadi diferensiasi utama sekaligus memperkuat karakter brand bernama Joger.
Brand commitment. Brand commitment adalah realisasi kesungguhan seluruh karyawan untuk melaksanakan karakter brand dalam sikap dan perilaku sehari-hari. Brand menciptakan janji dan karyawan yang mewujudkannya. Oleh karena itu, setelah menentukan karakter brand, perusahaan seharusnya melakukan selling the brand inside dengan tujuan agar brand values, personality dan brand behavior benar-benar dipahami dan masuk ke jantung nilai, sikap, dan perilaku karyawan.
Dalam peluncuran produk baru, manifestasi dari sebuah brand commitment ada dalam service strategy dan sales strategy. Contohnya, ketika membeli Apple iPod, maka pelanggan tidak diperbolehkan membuka dos apalagi untuk mencoba produk sebelum membeli. Hal ini dilakukan untuk menjaga satu hal, yaitu agar karakter brand benar-benar terjaga. Jika strategi sales dan service-nya tidak disusun selaras, maka karakter brand menjadi terdilusi.
Brand consistency. Komponen terakhir agar brand yang dibangun bisa mencapai tujuan adalah dengan menjaga konsistensi dalam brand activation dan brand visualization. Konsistensi dalam brand activation dan brand visualization akan memperkuat persepsi merek di benak pelanggan.
Sabun Lux adalah contoh brand yang mampu terus menjaga konsistensi persepsinya sebagai sabunnya para bintang. Jadi, meskipun gonta-ganti bintang iklan dan gaya beriklan namun pesannya tidak pernah berubah, tetap Lux adalah sabunnya para bintang. Konsistensi brand juga bisa terdilusi karena terlalu diperluas menjaga sub-brand. Maka dari itu, sekarang banyak perusahaan yang memiliki sub-brand yang terlalu luas kembali melakukan pengelompokan sub-brand yang ada dalam satu family-brand.
Customer Management
Jika produknya jadi, brand-nya selesai dirumuskan, maka step terakhir perusahaan adalah harus bisa memasrkannya ke semua calon pelanggan. Nah, di sinilah peran dari customer management, yakni meningkatkan efektivitas mendapatkan pelanggan baru (get), mempertahankan pelanggan yang telah ada (keep), dan meningkatkan wallet share tiap pelanggan (grow), menjadi begitu penting.
Get. Untuk mendapatkan pelanggan baru yang berpotensi untuk ditingkatkan loyalitasnya (keep and grow), sejak awal perusahaan harus menyaring secara benar para suspek yang masuk menajdi prospek yang bernilai tinggi. Dengan demikian, hanya diperlukan sumber daya yang minim untuk mengubah mereka menjadi pembeli pertama (first time buyer). Suspek yang masuk disaring dengan strategi segmentasi, targeting dan positioning. Tujuannya agar suspek yang nantinya masuk menjadi prospek adalah suspek-suspek yang memiliki kebutuhan dan keinginan yang sama dengan value preposition yang dimiliki oleh produk.
Kemudian untuk menarik prospek menjadi pembeli pertama, gunakan strategi diferensiasi, marketing-mix dan selling. Jika diferensiasi akan mencorong prospek memilih produk kita dibandingkan produk pesaing, maka marketing-mix bertugas untuk mengkonkritkan diferensiasi tersebut. Keputusan dalam marketing-mix (product, price, promotion, dan place) sungguh akan menentukan kredibilitas positioning yang telah dibangun sebelumnya.
Keep. Setelah kita memperoleh first-time buyer, tentunya perusahaan ingin mempertahankannya selama mungkin untuk menjadi loyal customer. Caranya dengan menjelaskan nilai dari brand, meningkatkan kualitas servis (service) dan memperbaiki proses yang mendukung perbaikan servis (process).
Membangun brand yang kuat berkaitan dengan usaha untuk membuat pelanggan melihat brand kita sebagai brand yang paling kredibel yang dapat memberikan solusi terbaik. Brand harus menjadi payung yang merepresentasikan produk dan servis kita. Sementara itu, peningkatan nilai produk melalui servis tidak akan terjadi tanpa adanya proses yang efektif dan efisien. Proses yang dimaksud adalah proses penciptaan nilai bagi pelanggan yang tergambar jelas pada kualitas produk, biasa yang dikeluarkan, dan kualitas hantaran produk pada pelanggan. Atau singkatnya, kita mesti memerhatikan quality, cost, dan delivery produk yang kita tawarkan.
Grow. Sedangkan untuk meningkatkan nilai pelanggan ke tingkatan yang lebih tinggi, maka loyalitas pelanggan harus ditingkatkan secara terus menerus. Representasi dapat dilihat dari semakin tingginya wallet share pelanggan ke produk kita dibandingkan ke produk pesaing. Untuk mencapai tujuan itu, syaratnya perusahaan harus bsia meningkatkan nilai fungsional dan emosional produknya.
Langkah pertamanya, perusahaan harus fokus pada satu tujuan, apakah akan mengejar superioritas pada produk (product leadership), superioritas pada efisiensi proses (operational excellence), ataukah mempunyai superioritas pada servis (customer intimacy).
Langkah keduanya adalah, perusahaan harus terus mendorong munculnya antusiasme pelanggan dengan cara membentuk komunitas (communitization), menciptakan buzzword (buzzing), dan menciptakan keterikatan emosi pelanggan dengan brand (emotionalization). Jadi prinsipnya sederhana, yakni teruslah menambah nilai manfaat yang bisa kita berikan kepada pelanggan, maka pelanggan akan loyal kepada brand kita.
Credit Union Is a Great Product
Credit union sebagai sebuah brand sebaiknya menerapkan great product formula seperti yang saya paparkan di atas. Memang bukan pekerjaan yang mudah, namun setidaknya tahapan-tahapan tadi bsia menjadi referensi yang kokoh bagi proses pengembangan setiap produk credit union kita.
Sekarang sudah bukan waktunya lagi untuk membuat produk baru, kemudian baru men-segmen pasar, apalagi jika closing-nya hanya selling. Kita akan semakin tertinggal dari lembaga keuangan lain. Tahap awal, ciptakan suasana yang feel good di credit union kita. Kenapa? Karena sekali lagi, corporate culture yang kondusif akan menjadi fondasi yang kuat dari lahirnya great management sebuah credit union. Manfaat yang lebih utama adalah, konsisi ini akan menjadi mata air dari lahirnya ide-ide brilian, kreatif, dan inovatif.
Pesan terakhir buat sahabat saya tadi, kita mesti bisa mengubah mind-set sahabat-sahabat credit union, bahwa begitu pentingnya database pelanggan dan pasar. Ini merupakan sumber utama dan sekaligus pijakan kita untuk menciptakan setiap produk yang benar-benar great.
Ingat, ide kita akan benar-benar dinilai kreatif dan inovatif, hanya karena beda dengan ide yang sudah ada di pasar. So, untuk menjadi beda, kita perlu mengenali dan menguasai pasar.
Selamat mencoba dan sukses. Terima kasih.