0
Coba bayangkan, seandainya kita mengendarai kendaraan bermotor - entah mobil, sepeda motor, atau bahkan bajaj sekalipun - tanpa menggunakan spion, apa yang kita rasakan? Kita tidak tahu kapan kendaraan yang ada di belakang akan mendahului. Sialnya, kita juga tidak tahu siapa dan bagaimana cara mereka mendahului. Sebab, kita hanya memfokuskan diri pada kendaraan yang ada di depan atua samping kita.
Begitulah gambaran persaingan pasar yang riil kita hadapi. Lihatlah, hampir semua industri tumbuh pesat belakangan ini. Industri telepon seluler (ponsel), misalnya, bak jamur di musim hujan, yang jamur itu kemudian dipupuk: tubuh subur dan muncul dimana-mana. Saat ini, seperti kita tahu, ponsel merek lokal saja julahnya sudah mencapai puluhan. Sungguh luar biasa!
Sayangnya, biasanya seperti lomba maraton, begitu tanda dibunyikan ribuan orang turut serta. Sesampainya di pertengahan, peserta itu banyak yang berguguran. Naasnya, di saat seperti itu, kita hanya berkonsentrasi pada pelari yang ada di samping atau terdekat kita. Padahal, tanpa disadari, kadang kala ada pelari di belakang sana secara diam-diam bisa menyalip kita.
Di ranah pemasaran, merek-merek yang cuma melihat ancaman di sampingnya, mengabaikan market nicher atau new comer, tidak berpikir kompetisi jangka panjang, itulah yang disebut brand myopia alias rabun jauh merek. Ini yang membuat brand pioneer terhentak ketika menyadari bahwa dirinya telah lengah selama ini. Ini merupakan 'dosa' pionir yang mungkin saja terjadi.
Di Amerika, kita bisa melihat Ford Motor, CO dengan bodohnya membiarkan General Motors melenggang masuk dan mencaplok pasar yang dikuasainya ketika itu. Di negeri yang sama, cerita menarik juga dibuat oleh Goodyear, Firestone, dan BF Goodrich. Pada saat itu, ketiga merek tersebut mendominasi atas bahan baku, manufaktur, dan distribusi. Goodyear nomor wahid, diikuti Firestone, dan BF Goodrich.
Apa yang terjadi? Ternyata, ada serangan yang mengejutkan. Firestone terlalu berkonsentrasi kepada Goodyear tanpa melihat gerakan Michelin, pabrik ban dari Perancis, yang amat ambisius ingin menembus pasar Amerika. Ia juga melupakan Sears, jaringan ritel khusus ban, aki, dan aksesoris kendaraan, yang mengendalikan 25% pasar ban. Secara diam-diam, Sears menyetujui Michelin untuk membuat ban radial.
Sebelumnya, Michelin tidak memiliki pasar di Amerika, dan sebaliknya, Sears tidak mempunyai pasar di Eropa. Kemudian keduanya memutuskan untuk 'menikah' (co-branding). Pernikahan mereka itu akhirnya menjadi kekuatan besar dan mampu menghancurkan pasar ban yang dirajai Goodyear, Firestone, dan BF Goodrich. Ban radial tiba-tiba menjadi populer, merek asli Negeri Pamn Sam tertinggal di belakang.
Di Indonesia, kita bisa melihat Merpati Nusantara Airlines yang sekarang terpaksa menyingkir ke kawasan timur Indonesia. Lima belas tahun lalu, Garuda Indonesia dan Merpati, terlepas keduanya adalah maskapai pelat merah, begitu mendominasi pasar transportasi udara. Kala itu, memori konsumen menyebutkan Garuda Indonesia yang pertama dan Merpati yang kedua. Jika tidak naik Garuda berarti memilih Merpati. Itu saja.
Tetapi, cerita tersebut menjadi lain ketika Lion Air hadir sebagai pelopor low cost carrier. Pasar penerbangan dan kemudian menjadi benar-benar terbuka dan mempunyai banyak pilihan: full service atau low cost carrier. Dan, sejak saat itu, selain harus menyingkir ke kawasan timur Indonesia, Merpati juga terdepak dari posisi nomor dua. Di sisi lain, Lion Air kini beradu cepat dengan Garuda Indonesia dalam memperbanyak armadanya guna memenuhi kebutuhan pasar.
Mari kita tengok juga tarik menarik di pasar sepeda motor. Sepuluh tahun lalu, pasar sepeda motor nasional didominasi Honda diikuti Suzuki dan Yamaha. Namun, rupanya Yamaha mampu berlari kencang hingga menyalip Suzuki dan mengambil alih posisi nomor dua, bahkan tanpa diduga sebelumnya, berhasil mengalahkan penguasa Honda beberapa bukan di akhir tahun 2007. Pada Desember 2008, tampuk kepemimpinan pasar sepeda motor pun kembali dirasakan oleh Yamaha. Mereka memasang kemenangan tersebut secara besar-besaran di media massa.
Jelas sekali bahwa, ini berkat keberhasilan Yamaha dalam mengedukasi pasar sepeda motor. Edukasi terhadap penyuka model sporty dan skuter otomatik (skutik) untuk kaum wanita. Di kelas skutik, Yamaha mencatatkan diri sebagai pemimpin pasar (market leader) sejati. Data terakhir, sepanjang tahun 2008, Yamaha berhasil menjual 867.398 unit skutik (merek Mio dan Mio Soul), sedangkan Honda 530.633 unit (merek Vario dan Beat). Padahal, Yamaha bukan yang pertama, tapi ia yang mengedukasi pasar. Pionirnya, Kymco, justru hanya memperoleh 4.396 konsumen saja.
Tanda-tanda
Nah, mencermati data-data tadi, sudah jelas bahwa kita tidak boleh main-main dan memandang sebelah mata siapapun. Untuk itu, kita harus memahami beberapa hal terkait brand myopia ini. Pertama, hal yang paling sering kita lupakan adalah membiarkan market nicher atau pemain ceruk, hidup harmonis dengan kita. Sementara, kita terlalu berorientasi kepada pemain besar dan tidak menganggap pemain ceruk itu sebagai ancaman.
Kedua, kita tidak menyadari bahwa pemasok (supplier) dapat berubah menjadi pesaing kita atau pindah ke 'lain hati'/ Sebab, sudah seharusnya kerja samanya win-win. Tetapi, seringkali kita menekan pemasok secara berlebihan sehingga menjadi win-lose relationship. Lalu, pemasok setia kita bisa direbut oleh pesaing non-tradisional.
Ketiga, kita sering menganggap remeh pendatang baru, terutama yang berasal dari industri yang sedang berkembang atau industri yang dianggap low tech. Misalnya, dulu banyak elektronik merek Jepang yang menganggap China bukan pesaingnya. Mereka hanya menganggap merek-merek Korea sebagai kompetitornya, sehingga merek Korea lebih diwaspadai daripada merek China. Sama seperti pemain otomotif Amerika yang dulu lebih merendahkan merek Jepang dan Korea. Seiring berjalannya waktu, merek asal kedua negara itu berhasil memorakporandakan pasar setempat.
Oleh karena itu, sebagai marketer hebat, kita harus terus membuka mata lebar-lebar dan sigap meneropong persaingan secara keseluruhan. Kita mesti menyadari, apabila posisi merek kita tiba-tiba merosot, maka kita perlu memperluas definisi dari persaingan itu sendiri. Kita wajib memeriksa semua perbatasan wilayah merek kita dan mengetahui dimana titik lemahnya. Bila perlu, kita perluas lingkup pasar seraya melakukan konsolidasi internal dan pasar secara sistematis demi menekan ekses kapasitas secara berkesinambungan.
Jadi, ingatlah bahwa memperbaiki penglihatan kita merupakan solusi awal untuk mencegah terjadinya brand myopia. Pemahaman sistematik dan menyeluruh atas peta persaingan yang melibatkan merek kita menjadi obat manjur untuk mengatasi persoalan ini. Pakailah spion kiri dan kanan kita, kenali, dan hadang mereka agar tidak mendahului kita, entah itu di tingkungan atau di jalan lurus sekalipun. Lakukanlah tanpa lelah.
Begitulah gambaran persaingan pasar yang riil kita hadapi. Lihatlah, hampir semua industri tumbuh pesat belakangan ini. Industri telepon seluler (ponsel), misalnya, bak jamur di musim hujan, yang jamur itu kemudian dipupuk: tubuh subur dan muncul dimana-mana. Saat ini, seperti kita tahu, ponsel merek lokal saja julahnya sudah mencapai puluhan. Sungguh luar biasa!
Sayangnya, biasanya seperti lomba maraton, begitu tanda dibunyikan ribuan orang turut serta. Sesampainya di pertengahan, peserta itu banyak yang berguguran. Naasnya, di saat seperti itu, kita hanya berkonsentrasi pada pelari yang ada di samping atau terdekat kita. Padahal, tanpa disadari, kadang kala ada pelari di belakang sana secara diam-diam bisa menyalip kita.
Di ranah pemasaran, merek-merek yang cuma melihat ancaman di sampingnya, mengabaikan market nicher atau new comer, tidak berpikir kompetisi jangka panjang, itulah yang disebut brand myopia alias rabun jauh merek. Ini yang membuat brand pioneer terhentak ketika menyadari bahwa dirinya telah lengah selama ini. Ini merupakan 'dosa' pionir yang mungkin saja terjadi.
Di Amerika, kita bisa melihat Ford Motor, CO dengan bodohnya membiarkan General Motors melenggang masuk dan mencaplok pasar yang dikuasainya ketika itu. Di negeri yang sama, cerita menarik juga dibuat oleh Goodyear, Firestone, dan BF Goodrich. Pada saat itu, ketiga merek tersebut mendominasi atas bahan baku, manufaktur, dan distribusi. Goodyear nomor wahid, diikuti Firestone, dan BF Goodrich.
Apa yang terjadi? Ternyata, ada serangan yang mengejutkan. Firestone terlalu berkonsentrasi kepada Goodyear tanpa melihat gerakan Michelin, pabrik ban dari Perancis, yang amat ambisius ingin menembus pasar Amerika. Ia juga melupakan Sears, jaringan ritel khusus ban, aki, dan aksesoris kendaraan, yang mengendalikan 25% pasar ban. Secara diam-diam, Sears menyetujui Michelin untuk membuat ban radial.
Sebelumnya, Michelin tidak memiliki pasar di Amerika, dan sebaliknya, Sears tidak mempunyai pasar di Eropa. Kemudian keduanya memutuskan untuk 'menikah' (co-branding). Pernikahan mereka itu akhirnya menjadi kekuatan besar dan mampu menghancurkan pasar ban yang dirajai Goodyear, Firestone, dan BF Goodrich. Ban radial tiba-tiba menjadi populer, merek asli Negeri Pamn Sam tertinggal di belakang.
Di Indonesia, kita bisa melihat Merpati Nusantara Airlines yang sekarang terpaksa menyingkir ke kawasan timur Indonesia. Lima belas tahun lalu, Garuda Indonesia dan Merpati, terlepas keduanya adalah maskapai pelat merah, begitu mendominasi pasar transportasi udara. Kala itu, memori konsumen menyebutkan Garuda Indonesia yang pertama dan Merpati yang kedua. Jika tidak naik Garuda berarti memilih Merpati. Itu saja.
Tetapi, cerita tersebut menjadi lain ketika Lion Air hadir sebagai pelopor low cost carrier. Pasar penerbangan dan kemudian menjadi benar-benar terbuka dan mempunyai banyak pilihan: full service atau low cost carrier. Dan, sejak saat itu, selain harus menyingkir ke kawasan timur Indonesia, Merpati juga terdepak dari posisi nomor dua. Di sisi lain, Lion Air kini beradu cepat dengan Garuda Indonesia dalam memperbanyak armadanya guna memenuhi kebutuhan pasar.
Mari kita tengok juga tarik menarik di pasar sepeda motor. Sepuluh tahun lalu, pasar sepeda motor nasional didominasi Honda diikuti Suzuki dan Yamaha. Namun, rupanya Yamaha mampu berlari kencang hingga menyalip Suzuki dan mengambil alih posisi nomor dua, bahkan tanpa diduga sebelumnya, berhasil mengalahkan penguasa Honda beberapa bukan di akhir tahun 2007. Pada Desember 2008, tampuk kepemimpinan pasar sepeda motor pun kembali dirasakan oleh Yamaha. Mereka memasang kemenangan tersebut secara besar-besaran di media massa.
Jelas sekali bahwa, ini berkat keberhasilan Yamaha dalam mengedukasi pasar sepeda motor. Edukasi terhadap penyuka model sporty dan skuter otomatik (skutik) untuk kaum wanita. Di kelas skutik, Yamaha mencatatkan diri sebagai pemimpin pasar (market leader) sejati. Data terakhir, sepanjang tahun 2008, Yamaha berhasil menjual 867.398 unit skutik (merek Mio dan Mio Soul), sedangkan Honda 530.633 unit (merek Vario dan Beat). Padahal, Yamaha bukan yang pertama, tapi ia yang mengedukasi pasar. Pionirnya, Kymco, justru hanya memperoleh 4.396 konsumen saja.
Tanda-tanda
Nah, mencermati data-data tadi, sudah jelas bahwa kita tidak boleh main-main dan memandang sebelah mata siapapun. Untuk itu, kita harus memahami beberapa hal terkait brand myopia ini. Pertama, hal yang paling sering kita lupakan adalah membiarkan market nicher atau pemain ceruk, hidup harmonis dengan kita. Sementara, kita terlalu berorientasi kepada pemain besar dan tidak menganggap pemain ceruk itu sebagai ancaman.
Kedua, kita tidak menyadari bahwa pemasok (supplier) dapat berubah menjadi pesaing kita atau pindah ke 'lain hati'/ Sebab, sudah seharusnya kerja samanya win-win. Tetapi, seringkali kita menekan pemasok secara berlebihan sehingga menjadi win-lose relationship. Lalu, pemasok setia kita bisa direbut oleh pesaing non-tradisional.
Ketiga, kita sering menganggap remeh pendatang baru, terutama yang berasal dari industri yang sedang berkembang atau industri yang dianggap low tech. Misalnya, dulu banyak elektronik merek Jepang yang menganggap China bukan pesaingnya. Mereka hanya menganggap merek-merek Korea sebagai kompetitornya, sehingga merek Korea lebih diwaspadai daripada merek China. Sama seperti pemain otomotif Amerika yang dulu lebih merendahkan merek Jepang dan Korea. Seiring berjalannya waktu, merek asal kedua negara itu berhasil memorakporandakan pasar setempat.
Oleh karena itu, sebagai marketer hebat, kita harus terus membuka mata lebar-lebar dan sigap meneropong persaingan secara keseluruhan. Kita mesti menyadari, apabila posisi merek kita tiba-tiba merosot, maka kita perlu memperluas definisi dari persaingan itu sendiri. Kita wajib memeriksa semua perbatasan wilayah merek kita dan mengetahui dimana titik lemahnya. Bila perlu, kita perluas lingkup pasar seraya melakukan konsolidasi internal dan pasar secara sistematis demi menekan ekses kapasitas secara berkesinambungan.
Jadi, ingatlah bahwa memperbaiki penglihatan kita merupakan solusi awal untuk mencegah terjadinya brand myopia. Pemahaman sistematik dan menyeluruh atas peta persaingan yang melibatkan merek kita menjadi obat manjur untuk mengatasi persoalan ini. Pakailah spion kiri dan kanan kita, kenali, dan hadang mereka agar tidak mendahului kita, entah itu di tingkungan atau di jalan lurus sekalipun. Lakukanlah tanpa lelah.