Pendidikan dan Eksistensi Manusia

Posted: Kamis, 14 Mei 2009 by R. Anang Tinosaputra in Label:
0

Pendidikan bukan hanya mendatangkan sesuatu dari luar, tapi utamanya adalah menggali apa yang sudah ada dalam diri manusia...

Di bulan Mei, hari kelahiran Ki Hadjar Dewantara diperingati sebagai hari Pendidikan Nasional. Beliau yang pertama mencoba meletakkan filosofi pendidikan bangsa ini. Ingatan akan hal itu, membuat saya ingin menulis perihal pendidikan dan pengembangan diri manusia. Pendidikan selayaknya tak semata berujung pada perolehan angka (nilai) di dunia sekolah, perolehan gelar di dunia pendidikan tinggi, dan tentunya perolehan angka di dunia kerja, melainkan eksistensi manusia secara keseluruhan, yaitu bagaimana berkembang lahir dan batin.

Mari kita renungkan pepatah latin ini, non scholae sed vitae discimus (belajar bukan untuk sekolah melainkan utamanya untuk hidup). Pepatah itu menunjukkan esensi pendidikan. Di sinilah saya ingin mengajak kita semua melihat gagasan pendidikan Ki Hadjar Dewantara yang menekankan belajar untuk hidup, dan hidup untuk belajar.

Konsep pendidikan Ki Hadjar memiliki unsur utama pada natuur atau alam. Inilah hal penting yang dilupakan ketika sistem pendidikan semata fokus pada standarisasi namun melupakan keterkaitan peserta didik dengan alam masing-masing. Akibatnya, standarisasi menghasilkan mekanisme yang menjauhkan diri dari esensi belajar untuk hidup. Titik inilah awal dari keterjebakan pada 'hidup untuk bekerja' bukan 'bekerja untuk hidup'.



Konsep Ki Hadjar sangat realistis untuk bangsa Indonesia yang plural baik natur maupun kulturnya. Dengan mengakomodasi kodrat alam maka individu diajak belajar untuk hidup. Pendidikan semestinya bertujuan agar kodrat alam (natur) menjadi berterima secara budaya (kultur), demikian pula sebaliknya. Pendidikan semacam ini, mentransformasi sisi negatif alam menjadi positif. Alam di sini bukan semata eksterior, tapi termasuk interior, yaitu hal dalam diri yang sifatnya inborn. Inilah pendidikan yang berangkat dari esensi kehidupan.

Bagaimana konkritnya 'pendidikan yang berangkat dari esensi kehidupan'? Langkah pertama, adalah menyadari bahwa tidak ada manusia pun yang lahir secara kebetulan di dunia ini. Artinya, setiap manusia lahir dengan peran tertentu. Agar berkembang dalam peran tersebut, alam memberi tiap manusia konfigurasi kelebihan di samping kekurangannya.

Salah satu buktinya adalah penemuan kecerdasaan inborn yang terbentuk pada otak manusia sejak usia 21 minggu dalam kandungan. Dengan merujuk konsep Mupltiple Intelligence dari Howard Gardner, penemuan tersebut memberikan gambaran bahwa delapan kecerdasan: logika-matematika, logika-bahasa, spasial-visual, musik, kinestetik, intrapersonal, interpersonal, dan naturalistik, merupakan kecerdasan inborn atau potensi dimana individu memiliki konfigurasinya masing-masing.

Langkah selanjutnya, adalah tugas pendidikan untuk membantu dalam mengembangkan kelebihan dan mengatasi kelemahan pada konfigurasi ragam kecerdasan peserta didik. Hal menarik dari penemuan di atas adalah: satu kecerdasan dalam konsep Multiple Intelligence tidak terdeteksi sebagai kecerdasan inborn, yaitu kecerdasan eksistensial (atau sering disebut dengan kecerdasan spiritual). Jika direnungkan, di titik inilah pendidikan memiliki peran kunci untuk mengembangkan kecerdasan eksistensial. Pendidikan selayaknya membantu manusia membangun eksistensi, lewat penyadaran akan peran seseorang dalam realitas semesta. Sebuah kesadaran yang tak sekadar bicara soal kemampuan, namun juga moralitas dan spiritualitas.

Saya teringat kalimat Socrates: Gnothi Se Authon (Kenalilah Dirimu Sendiri). Kalimat itu menjadi basis ajaran Socrates, Sang Lalat Athena. Socrates senantiasa 'menyengat' para pemuda Athena untuk berpikir jernih ihwal jati diri. Socrates menyatakan dia mengemban misi besar, yaitu membantu manusia menemukan pengetahuan diri yang terpendam. Dengan pernyataan dan pertanyaannya, Socrates sering membuat orang menyadari sesuatu. Ia adalah sosok guru yang membantu menemukan pengetahuan tersembunyi.

Socrates menyatakan karakteristik ilmunya seperti ilmu bidan (ibunya adalah bidan) yang membantu kelahiran pengetahuan sejati melalui pengenalan diri. Sebagai maleutikos (bidan) pengetahuan,, Socrates 'membidani' kelahiran pengetahuan diri muris-muridnya dengan melontarkan pertanyaan yang tepat dan menyentak. Socrates berkeyakinan bahwa manusia ibarat benda buatan yang mempunyai tujuan atau fungsi tertentu. Tugas manusia adalah menemukan serta melaksanakan tujuan dan fungsi itu dengan tepat.

Dalam pemikiran Ki Hadjar, apa yang dilakukan Socrates, ada pada konsep 'among'. Pada sistem 'among', apa yang penting bukan standarisasi melainkan bagaimana pendidikan mampu ngemong, membimbing, dan mendampingi anak didik agar mereka sendirilah yang belajar untuk menyerap pengetahuannya. Seperti diungkapkan Ki Hadjar, sistem 'among' ini bertujuan untuk menyokong kodrat alam peserta didik agar dapat mengembangkan hidup lahir batin menurut kodratnya sendiri-sendiri.

Memahami bagaimana guru menjadi pamamong, juga bisa lewat khazanah wayang dan mitologi Jawa. Sosok pamamong sejati ada pada tokoh Semar dan Sabdapalon. Mereka adalah perantara antara manusia dan keilahian. Tugas Semar dan Sabdapalon adalah momong manusia di dunia. Dalam menjadi pamamong, Semar dan Sabdapalon tidak mengarahkan atau menggariskan suatu pegangan. Dibiarkan tuannya mencari sendiri. kadang-kadang saja ditegus dan diingatkan. Namun intinya adalah, bagaimana tuannya mampu merefleksikan apa yang dialami untuk perkembangan dirinya sendiri.

Ki Hadjar juga menginginkan agar manusia bisa mengembangkan diri menuju kemanusiaannya yang utuh dan memulai semua itu dari lubuk diri yang terdalam, dimana sudah tersimpan segala potensi dan pengetahuan yang khas bagi kodrat diri masing-masing anak. Pendidikan bukan hanya mendatangkan sesuatu dari luar, tapi utamanya menggali apa yang sudah ada dalam diri manusia. Dalam dirinya, peserta didik sudah memiliki imago (citra diri khas dan asli, seturut rencana Ilagi). Lewat pendidikan, manusia tinggal membuat imitatio (potret atau tiruan) terhadap imago-nya yang asli dan khas tersebut.

Kita bisa merenungkan bahwa pemikiran Ki Hadjar Dewantara ternyata simetri dengan pemikiran-pemikiran lain, mulai dari Yunani, khazanah Jawa, hingga relevansinya dengan penemuan terkini bahwa manusia memiliki kecerdasan-kecerdasan iborn yang mesti dikembangkan. Jadi, persoalan mencerdaskan kehidupan bangsa lebih merupakan mengembangkan kekhasan peserta didik untuk membangun eksistensinya ketimbang sekadar memenuhi standarisasi. Fokus 'guru' bukan semata mengajari melainkan memfasilitasi dan yang lebih penting menginspirasi 'murid'. Inilah sistem pendidikan yang akan menghasilkan insan-insan pembelajar yang luar biasa.

So, jadilah sumber inspirasi dengan karya-karya kita!

0 komentar: