2 Manusia Super Jembatan Setiabudi
Posted: Rabu, 20 Mei 2009 by R. Anang Tinosaputra in Label: The Meaning of Life
0
Ini cerita ketika beberapa waktu lalu saya ke Jakarta untuk sebuah acara seminar marketing. Waktu itu, dalam sebuah momen spesial saya melewati Jembatan Setiabudi, dan lahirlah cerita ini ...
Tanpa disadari terkadang sikap apatis menyertai saat langkah kaki kita mengarungi untuk coba taklukkan ibukota negeri ini. Semoga kita selalu diingatkan. Ini sekadar cerita bagi sahabat-sahabat saya yang luar biasa ...
Siang ini 19 Desember 2008, tanpa sengaja, saya bertemu dua manusia super. Mereka mahluk mahkluk kecil, kurus, kumal berbasuh keringat. Tepatnya di atas jembatan penyeberangan Setiabudi, dua sosok kecil berumur kira kira delapan tahun menjajakan tissue dengan wadah kantong plastik hitam.
Saat menyeberang untuk makan siang mereka menawari saya tissue di ujung jembatan. Dengan keangkuhan yang khas, saya hanya mengangkat tangan lebar-lebar tanpa tersenyum, yang dibalas dengan sopannya oleh mereka dengan ucapan "Terima kasih, Om!'. Saya masih tak menyadari kemuliaan mereka dan hanya mulai membuka sedikit senyum seraya mengangguk kearah mereka.
Kaki-kaki kecil mereka menjelajah lajur lain di atas jembatan, menyapa seorang laki-laki lain dengan tetap berpolah seorang anak kecil yang penuh keceriaan. Laki-laki itupun menolak dengan gaya yang sama dengan saya. Dan lagi-lagi sayup sayup saya mendengar ucapan terima kasih dari mulut kecil mereka. Kantong hitam tempat stok tissue dagangan mereka tetap teronggok di sudut jembatan tertabrak derai angin Jakarta. Saya melewatinya dengan lirikan ke arah dalam kantong itu. Duapertiga terisi tissue putih berbalut plastik transparan.
Setengah jam kemudian saya melewati tempat yang sama dan mendapati mereka tengah mendapatkan pembeli, seorang wanita. Senyum di wajah mereka terlihat mengembang seolah memecah mendung yang sedang menggelayut di langit Jakarta.
'Terima kasih ya, mbak. Semuanya dua ribu lima ratus rupiah!', ucap mereka. Tak lama si wanita merogoh tasnya dan mengeluarkan uang sejumlah sepuluh ribu rupiah .
'Maaf, nggak ada kembaliannya, ada uang pas nggak mbak ?', mereka menyodorkan kembali uang tersebut. Si wanita menggeleng, lalu dengan sigapnya anak yang bertubuh lebih kecil menghampiri saya yang tengah mengamati mereka bertiga pada jarak empat meter.
'Om boleh tukar uang nggak? Receh sepuluh ribuan?', suaranya mengingatkan kepada anak perempuan saya yang seusia mereka. Sedikit terhenyak, saya merogoh saku celana dan hanya menemukan uang sisa kembalian food court sebesar empat ribu rupiah.
'Nggak punya', jawab saya. Lalu tak lama si wanita berkata 'Ambil saja kembaliannya, dik!', sambil berbalik badan dan meneruskan langkahnya ke arah ujung sebelah timur.
Anak ini terkesiap, ia menyambar uang empat ribuan saya dan menukarnya dengan uang sepuluh ribuan tersebut dan meletakkannya ke genggaman saya yang masih tetap berhenti, lalu ia mengejar wanita tersebut untuk memberikan uang empat ribu rupiah tadi. Si wanita kaget, setengah berteriak ia bilang 'Sudah buat kamu saja, nggak apa-apa ambil saja!'.
Namun mereka berkeras mengembalikan uang tersebut. 'Maaf mbak, cuma ada empat ribu , nanti kalau lewat sini lagi saya kembalikan!'. Akhirnya uang itu diterima si wanita karena si kecil pergi meninggalkannya.
Tinggallah episode saya dan mereka, uang sepuluh ribu di genggaman saya tentu bukan sepenuhnya milik saya. Mereka menghampiri saya dan berujar, 'Om, bisa tunggu ya, saya ke bawah dulu untuk tukar uang ke tukang ojek!'.
'Eeh, nggak usah, nggak usah. Biar aja, nih!'. Saya kembalikan uang itu ke si kecil, ia menerimanya tapi terus berlari ke bawah jembatan menuruni tangga yang cukup curam menuju ke kumpulan tukang ojek.
Saya hendak meneruskan langkah tapi dihentikan oleh anak yang satunya. 'Nanti dulu, Om. Biar ditukar dulu, sebentar.'
'Nggak apa-apa, itu buat kalian!, lanjut saya.
'Jangan-jangan, Om. Itu uang om sama mbak yang tadi juga.', anak itu bersikeras.
'Sudah, saya ikhlas. Mbak tadi juga pasti ikhlas!'. Saya berusaha menawarkan, namun ia menghalangi saya sejenak dan berlari ke ujung jembatan berteriak memanggil temannya untuk segera cepat kembali. Secepat kilat juga ia meraih kantong plastik hitamnya dan berlari ke arah saya.
'Ini deh, om, kalau kelamaan, maaf!', ia memberi saya delapan pack tissue.
'Buat apa?', saya terbengong.
'Habis teman saya lama sih, Om. Maaf, tukar pakai tissue aja dulu!'. Walau dikembalikan ia tetap menolak .
Saya tatap wajahnya, perasaan bersalah muncul pada rona mukanya. Saya kalah set. Ia tetap kukuh menutup rapat tas plastik hitam tissuenya. Beberapa saat saya mematung di sana. Sampai si kecil telah kembali dengan genggaman uang receh sepuluh ribu, dan mengambil tissue dari tangan saya serta memberikan uang empat ribu rupiah.
'Terima kasih, Om!'. Mereka kembali ke ujung jembatan sambil sayup-sayup terdengar percakapan, 'Duit mbak tadi gimana?'. Suara kecil yang lain menyahut, 'Lu hafal kan orangnya, kali aja ketemu lagi ntar kita balikin ...'. Percakapan itu sayup-sayup menghilang. Saya terhenyak dan kembali ke hotel tempat saya menginap dengan seribu perasaan.
Tuhan, hari ini saya belajar dari dua manusia super. Kekuatan kepribadian mereka menaklukan Jakarta membuat saya trenyuh.
Mereka berbalut baju lusuh tapi hati dan kemuliaannya sehalus sutra.
Mereka tahu hak mereka dan hak orang lain.
Mereka berusaha tak meminta-minta dengan berdagang tissue.
Dua anak kecil yang bahkan belum seharusnya mengerti bagaimana kerasnya hidup. Tapi, mereka memiliki kemuliaan di umur mereka yang begitu belia.
Saya jadi ingat kata-kata yang sering saya ucapkan buat sahabat-sahabat saya sendiri ...
YOU ARE ONLY AS HONORABLE AS WHAT YOU DO
Engkau hanya semulia yang kau kerjakan ...
Dalam balutan rasa capek sehabis seminar dan dinginnya AC kamar hotel, saya mulai membandingkan keserakahan kita, yang tak pernah ingin sedikitpun berkurang rejeki kita. Saya mendapatkan banyak hal seperti ini juga ketika saya belajar marketing, mencintai credit union, dan mencoba berkarya untuk orang-orang di sekitar saya.
Marketing tidak melulu mengajarkan bagaimana kita harus profit dan profit, tapi juga ada spiritualitas, dimana kita harus mampu respek dan menghargai sisi manusia orang lain.
Credit union mengajarkan bagaimana kita bisa berbagi dengan orang lain. Dan hidup ini mengajarkan bagaimana kita tidak mendapatkan apa yang kita inginkan, tapi apa yang kita butuhkan.
Usia memang tidak menentukan kita menjadi bijaksana atau tidak, tapi kebijaksanaan kita menentukan seberapa pantas kita memaknai usia kita ...
Dua manusia super di Jembatan Setiabudi tadi, memberi bukti bahwa hidup manusia akan semakin meaningful bila mampu menghargai dan memanusiakan apa yang menjadi kepantasan manusia.
Semoga menginspirasi!
Tanpa disadari terkadang sikap apatis menyertai saat langkah kaki kita mengarungi untuk coba taklukkan ibukota negeri ini. Semoga kita selalu diingatkan. Ini sekadar cerita bagi sahabat-sahabat saya yang luar biasa ...
Siang ini 19 Desember 2008, tanpa sengaja, saya bertemu dua manusia super. Mereka mahluk mahkluk kecil, kurus, kumal berbasuh keringat. Tepatnya di atas jembatan penyeberangan Setiabudi, dua sosok kecil berumur kira kira delapan tahun menjajakan tissue dengan wadah kantong plastik hitam.
Saat menyeberang untuk makan siang mereka menawari saya tissue di ujung jembatan. Dengan keangkuhan yang khas, saya hanya mengangkat tangan lebar-lebar tanpa tersenyum, yang dibalas dengan sopannya oleh mereka dengan ucapan "Terima kasih, Om!'. Saya masih tak menyadari kemuliaan mereka dan hanya mulai membuka sedikit senyum seraya mengangguk kearah mereka.
Kaki-kaki kecil mereka menjelajah lajur lain di atas jembatan, menyapa seorang laki-laki lain dengan tetap berpolah seorang anak kecil yang penuh keceriaan. Laki-laki itupun menolak dengan gaya yang sama dengan saya. Dan lagi-lagi sayup sayup saya mendengar ucapan terima kasih dari mulut kecil mereka. Kantong hitam tempat stok tissue dagangan mereka tetap teronggok di sudut jembatan tertabrak derai angin Jakarta. Saya melewatinya dengan lirikan ke arah dalam kantong itu. Duapertiga terisi tissue putih berbalut plastik transparan.
Setengah jam kemudian saya melewati tempat yang sama dan mendapati mereka tengah mendapatkan pembeli, seorang wanita. Senyum di wajah mereka terlihat mengembang seolah memecah mendung yang sedang menggelayut di langit Jakarta.
'Terima kasih ya, mbak. Semuanya dua ribu lima ratus rupiah!', ucap mereka. Tak lama si wanita merogoh tasnya dan mengeluarkan uang sejumlah sepuluh ribu rupiah .
'Maaf, nggak ada kembaliannya, ada uang pas nggak mbak ?', mereka menyodorkan kembali uang tersebut. Si wanita menggeleng, lalu dengan sigapnya anak yang bertubuh lebih kecil menghampiri saya yang tengah mengamati mereka bertiga pada jarak empat meter.
'Om boleh tukar uang nggak? Receh sepuluh ribuan?', suaranya mengingatkan kepada anak perempuan saya yang seusia mereka. Sedikit terhenyak, saya merogoh saku celana dan hanya menemukan uang sisa kembalian food court sebesar empat ribu rupiah.
'Nggak punya', jawab saya. Lalu tak lama si wanita berkata 'Ambil saja kembaliannya, dik!', sambil berbalik badan dan meneruskan langkahnya ke arah ujung sebelah timur.
Anak ini terkesiap, ia menyambar uang empat ribuan saya dan menukarnya dengan uang sepuluh ribuan tersebut dan meletakkannya ke genggaman saya yang masih tetap berhenti, lalu ia mengejar wanita tersebut untuk memberikan uang empat ribu rupiah tadi. Si wanita kaget, setengah berteriak ia bilang 'Sudah buat kamu saja, nggak apa-apa ambil saja!'.
Namun mereka berkeras mengembalikan uang tersebut. 'Maaf mbak, cuma ada empat ribu , nanti kalau lewat sini lagi saya kembalikan!'. Akhirnya uang itu diterima si wanita karena si kecil pergi meninggalkannya.
Tinggallah episode saya dan mereka, uang sepuluh ribu di genggaman saya tentu bukan sepenuhnya milik saya. Mereka menghampiri saya dan berujar, 'Om, bisa tunggu ya, saya ke bawah dulu untuk tukar uang ke tukang ojek!'.
'Eeh, nggak usah, nggak usah. Biar aja, nih!'. Saya kembalikan uang itu ke si kecil, ia menerimanya tapi terus berlari ke bawah jembatan menuruni tangga yang cukup curam menuju ke kumpulan tukang ojek.
Saya hendak meneruskan langkah tapi dihentikan oleh anak yang satunya. 'Nanti dulu, Om. Biar ditukar dulu, sebentar.'
'Nggak apa-apa, itu buat kalian!, lanjut saya.
'Jangan-jangan, Om. Itu uang om sama mbak yang tadi juga.', anak itu bersikeras.
'Sudah, saya ikhlas. Mbak tadi juga pasti ikhlas!'. Saya berusaha menawarkan, namun ia menghalangi saya sejenak dan berlari ke ujung jembatan berteriak memanggil temannya untuk segera cepat kembali. Secepat kilat juga ia meraih kantong plastik hitamnya dan berlari ke arah saya.
'Ini deh, om, kalau kelamaan, maaf!', ia memberi saya delapan pack tissue.
'Buat apa?', saya terbengong.
'Habis teman saya lama sih, Om. Maaf, tukar pakai tissue aja dulu!'. Walau dikembalikan ia tetap menolak .
Saya tatap wajahnya, perasaan bersalah muncul pada rona mukanya. Saya kalah set. Ia tetap kukuh menutup rapat tas plastik hitam tissuenya. Beberapa saat saya mematung di sana. Sampai si kecil telah kembali dengan genggaman uang receh sepuluh ribu, dan mengambil tissue dari tangan saya serta memberikan uang empat ribu rupiah.
'Terima kasih, Om!'. Mereka kembali ke ujung jembatan sambil sayup-sayup terdengar percakapan, 'Duit mbak tadi gimana?'. Suara kecil yang lain menyahut, 'Lu hafal kan orangnya, kali aja ketemu lagi ntar kita balikin ...'. Percakapan itu sayup-sayup menghilang. Saya terhenyak dan kembali ke hotel tempat saya menginap dengan seribu perasaan.
Tuhan, hari ini saya belajar dari dua manusia super. Kekuatan kepribadian mereka menaklukan Jakarta membuat saya trenyuh.
Mereka berbalut baju lusuh tapi hati dan kemuliaannya sehalus sutra.
Mereka tahu hak mereka dan hak orang lain.
Mereka berusaha tak meminta-minta dengan berdagang tissue.
Dua anak kecil yang bahkan belum seharusnya mengerti bagaimana kerasnya hidup. Tapi, mereka memiliki kemuliaan di umur mereka yang begitu belia.
Saya jadi ingat kata-kata yang sering saya ucapkan buat sahabat-sahabat saya sendiri ...
YOU ARE ONLY AS HONORABLE AS WHAT YOU DO
Engkau hanya semulia yang kau kerjakan ...
Dalam balutan rasa capek sehabis seminar dan dinginnya AC kamar hotel, saya mulai membandingkan keserakahan kita, yang tak pernah ingin sedikitpun berkurang rejeki kita. Saya mendapatkan banyak hal seperti ini juga ketika saya belajar marketing, mencintai credit union, dan mencoba berkarya untuk orang-orang di sekitar saya.
Marketing tidak melulu mengajarkan bagaimana kita harus profit dan profit, tapi juga ada spiritualitas, dimana kita harus mampu respek dan menghargai sisi manusia orang lain.
Credit union mengajarkan bagaimana kita bisa berbagi dengan orang lain. Dan hidup ini mengajarkan bagaimana kita tidak mendapatkan apa yang kita inginkan, tapi apa yang kita butuhkan.
Usia memang tidak menentukan kita menjadi bijaksana atau tidak, tapi kebijaksanaan kita menentukan seberapa pantas kita memaknai usia kita ...
Dua manusia super di Jembatan Setiabudi tadi, memberi bukti bahwa hidup manusia akan semakin meaningful bila mampu menghargai dan memanusiakan apa yang menjadi kepantasan manusia.
Semoga menginspirasi!