Spiritualitas Kejujuran Baru
Posted: Minggu, 10 Mei 2009 by R. Anang Tinosaputra in Label: The Meaning of Life
0
Gerak evolusi planeter alamiah telah membawa kita pada suatu generasi yang wawasannya semakin matang, semakin luas, semakin universal, tidak lagi terbungkus kaku oleh batas sempit geografis ataupun primordial geopolitis. Serentak generasi inipun sudah pasca-Einstein yang menyadari bahwa lampaulah saatnya untuk main serba mutlak-mutlakan, fanatik, sok tahu, karena kenyataan (hidup) justru memperlihatkan multidimensionalitas, pluriformitas, dan dialektika... (YB Mangunwijaya, Yogyakarta, September 1997)
Kita yang tinggal di dunia bangsa yang mayoritas masih lekat kuat dengan budaya lisan, menjadi semakin diperparah dengan merajalelanya dunia takhayul yang aneh-aneh saat ini, jauh dari penghargaan terhadap 'sejarah' yang notabene erat terkait dengan kejadian masa lalu yang tingkat keanehannya sangat rendah dan karenanya jauh pula dengan aktivitas kita sehari-hari. Jelas ini menjadi pelajaran penting bagi kita yang bergelut dengan hidup melayani bagi orang lain, khususnya berkarya melalui credit unon. Credit union mengajarkan pada kita akan pentingnya kebenaran dan keaktualan, bahkan lebih jauh, membiasakan kita, insan yang setiap waktu hidup di dalamnya, dengan kejujuran. Kejujuran menjadi tawaran mutlak bagi kelanggengan credit union. Inilah awal lahirnya kepercayaan (credere).
Maka kewajiban dari credit union juga untuk menciptakan serta memberikan iklim belajar berpikir yang eksploratif analitis bagi insan di dalamnya, namun dalam kerangka kreativitas sintetis. Salah satu wahana yang penting untuk mendidik generasi baru agar dapat memperoleh suatu keterampilan dan mental berpikir yang analitis demi hasil yang berguna, tentu saja adalah sekolah formal, tanpa mengesampingkan jalur nonformal dan informal.
Namun dunia pendidikan kita ironisnya tidak mengajarkan anak didiknya untuk berpikir eksploratif dan kreatif. Seluruh suasana dan gaya persekolahan adalah penghafalan tanpa pengertian yang memadai, taat pada komando, sedangkan bertanya apalagi berpikir kritis, praktis adalah sesuatu yang tabu atau bahkan haram hukumnya. Siswa (bahkan mahasiswa) dididik seperti binatang dalam sirkus. Mereka dilatih, ditatar, dan dibekuk agar penurut sehingga pandai dan terampil terhadap komando. Hal ini, menurut almarhum Romo Mangun, sangat tepat untuk diterapkan di dunia militer, karena memang sudah kodratnya mereka dididik untuk tunduk pada komando. Namun, akan sangat fatal akibatnya bagi anak didik yang justru harus bebas untuk bertanya, bahkan harus berani untuk bertanya, karena harus berjiwa eksploratif dalam segala situasi dan kondisi yang ada.
Ini berkembang hingga ke dunia kerja, termasuk (maaf) credit union. Sudah bukan rahasia lagi jika kebanyakan mereka yang mengabdikan diri dalam credit union lebih mengandalkan 'teknik menghafal' dibandingkan pemahaman yang substansial. Suatu hal yang sekali lagi maaf, akan sangat revolusioner, jika mengharapkan manusia-manusia ini diajak untuk berpikir eksploratif dan analitis di luar perhitungan finansial. Untuk memulai bertanya, berpikir kritis dan bahkan kemudian menyampaikan analisisnya terhadap suatu masalah, adalah suatu tugas mahaberat yang mungkin akan lebih baik digantikan dengan setumpuk laporan keuangan dan sejenisnya.
Ketakutan, perasaan lebih rendah dibanding atasan, khawatir akan posisi, jabatan dan pekerjaan, hingga berkurangnya nilai kepercayaan pada diri mereka sendiri, semakin memperkuat tabunya sikap kritis dalam lingkungan credit union.
Dari reaksi penilaian dan urut-urutan berpikir logis, serta bercita rasa dari kalangan terpelajar muda, ternyata betapa sulitnya sumber daya manusia kita diajak untuk berpikir sistematis, apalagi kemudian mengungkapkannya dalam bahasa yang teratus dan komunikatif bertanggung jawab. Kesempitan cakrawala selalu menjadi alasan utama yang dibuat layak untuk dikedepankan. Hal ini akhirnya menjadi suatu kebiasaan yang menumbuhkan fundamentalisme dalam berbagai bentuk dan bahkan chauvinisme yang justru counter productive. Terkait dengan hal tersebut, timbullah suatu ketidakwajaran dalam relasi sikap terhadap kejujuran, apalagi kebenaran. Mental membual, berbohong, dan juga bertopeng semakin meracuni kehidupan kultural kita. Kemunafikan terus merajalela. Kejujuran dikalahkan. Keserasian antara yang dikatakan dengan yang diperbuat semakin bias dan akhirnya pecah.
Lantas orang kembali ke budaya ningrat pribumi masa lalu, bahwa siapapun yang berkuasa merasa bebas dari moral, mengikuti sikap para raja (baca. penguasa faktual) yang merasa punya prevelige berada di atas moral dan agama, karena kedudukannya sebagai panatagama dalam format dan skala besar maupun kecil. Kemudian timbul perasaan untuk berhak istimewa menata dan menentukan sendiri apa yang baik dan tidak. Seolah-olah 'si penata agama' ini berkedudukan di atas agama, sehingga merasa tidak terikat oleh aturan yang dia tata sendiri. Dengan kata lain, berhak untuk seenak-enaknya. Akhirnya, apabila semua dikaitkan dengan tuntutan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin berkembang, maka yang lahir justru fasisme terselubung yang semakin mencolok. Mengerikan, bukan?
Hal ini semakin mempertegas adanya kemunduran yang sangat parah dalam hal pendidikan nalar eksploratif dan kreatif dalam diri generasi muda, yang tidak harmonis terintegrasi sehingga menumbuhkan suatu kultur pikir dan cita rasa yang sempit dan bahkan dangkal. Hingga akhirnya bermuara pada keterlambatan pendewasaan diri. Dengan mudah semua itu melahirkan rasa minder yang hiperbol atau kadang terbungkus dengan 'topeng' yang semenarik mungkin.
Apa yang saya paparkan ini, bukan untuk menyalahkan para pelaku pendidik serta pengajar, khususnya guru. Karena mereka hanya menjalankan politik pendidikan dan pengajaran yang sudah ditetapkan. Ini juga bukan suatu kesempatan untuk menyalahkan credit union sebagai suatu lapangan kerja bagi generasi muda, terhadap karakter menghafal dan pembekuan rasionalitas, analisis serta perilaku pikir eksploratif dan kreatif. Sebab credit union sejauh ini sadar betul akan arti penting pendidikan berkesinambungan dan berkelanjutan, bahkan jauh dari sekadar pendidikan, namun juga pembelajaran.
Sebagai sebuah lapangan kerja, credit union juga dengan sadar mengajarkan cara pikir rasional, analitis dan eksploratif. Hanya saja, yang dipaparkan dalam keseharian selama ini masih terbelenggu oleh batasan statistik. Seolah credit union terjebak dalam karakternya sebagai lembaga bisnis keuangan dengan watak dan nilai sosial.
Garis besarnya jelas, kita sebagai bagian integral dari credit union sekaligus generasi muda, mempunyai kewajiban untuk menciptakan sendiri iklim berpikir eksploratif dalam aktivitas kita sehari-hari. Credit union memerlukan suatu perubahan. Suatu pemikiran kritis bukan melulu soal angka dan kepastian. Ini menjadi tantangan sekaligus pertanyaan, akan kemampuan kita dalam mewujudkan credit union sebagai bagian dari kehidupan kita. Bukan menghidupkan credit union.
Kenapa? Karena begini, menghidupkan credit union hanya akan menciptakan kesombongan dan keangkuhan individual bahkan struktural. Namun menjadikan credit union sebagai bagian hidup, akan melibatkan hati, citra, dan rasa kita sebagai manusia di dalamnya. Ada empati yang terlibat di dalamnya. Inilah awal dari apa yang menurut saya menjadi misi credit union, sebagai university of life.
Apa yang ditawarkan di depan, sebenarnya merupakan pijakan dari suatu passion for knowledge and passion for people. Yaitu terciptanya suatu semangat dalam diri setiap insan credit union, untuk terus melahirkan ide dari kreativitasnya, akan pengelolaan manusia, keuangan dan pengembangannya. Hingga akhirnya credit union tidak menjadi statis, mandul dan akhirnya membeku mati.
Secara riil, kita membutuhkan spiritual marketing yang mampu menjadi guide bagi pengembangan credit union. Kita membutuhkan adanya spiritualitas kejujuran baru bagi credit union.
Dalam spiritualitas kejujuran baru ini, yang lebih diperlukan adalah sikap mementingkan obyektifitas struktural daripada obyektifitas individual.
Kenapa? Karena obyektifits struktural mendorong kehidupan (kejujuran pengelolaan) yang terhindar dari gejala demoralisasi dan dehumanisasi dalam segala bentuknya. Sementara obyektivitas tidak (lagi) mendorong komitmen moral, tanggung jawab sosial, dan juga solidaritas kemanusiaan. Tak mustahil pihak yang merasa obyektif dan jujur, tidak akan terusik dan tergerak nuraninya menyaksikan kesenjangan sosial, ketidakadilan, hingga penindasan terhadap sesama dan kebohongan publik melalui pemutarbalikan fakta di mata masyarakat.
Sahabat sekalian bisa mencermati penjelasan berikut.
Manusia memang mahkluk yang diciptakan Tuhan jauh lebih sempurna daripada mahkluk lain yang juga diciptakan-Nya. Tapi, kelebihsempurnaan tersebut tidak menjamin bahwa kita, manusia, tidak mempunyai keterbatasan. Keterbatasan tersebut menunjukkan ketidakberdayaan atau kekurangan manusia, namun sekaligus sebagai awal dan tanda lahirnya sebuah kerja sama manusia dengan sesamanya, bahkan dengan mahkluk lain pula.
Keterbatasan mengantarkan manusia untuk menciptakan suatu kerja sama dengan manusia lain. Kerja sama tersebut menunjukkan sejauhmana kebutuhan kita akan orang lain, dan juga kebutuhan orang lain terhadap kita. Ini pula yang mengawali lahirnya credit union. Ini semakin menunjukkan betapa kita tidak mungkin hidup tanpa orang lain. Menurut Helen Keller, hidup menjadi lebih menarik dan menyenangkan karena adanya ketergantungan manusia yang satu terhadap yang lainnya.
Ada berbagai macam kebutuhan dan ketergantungan kita terhadap orang lain atau sebaliknya. Salah satunya, adala pertolongan atau bantuan. Kadang kita butuh pertolongan atau bantuan orang lain bukan karena kita tidak mampu untuk melakukannya sendiri. Misalnya memasak, mencuci, menyopir, atau hal-hal lain yang kita biasa temukan dalam keseharian kita. Kita, tentu mampu melakukannya. Namun, biasanya kita membutuhkan orang lain untuk sebatas menggantikan atau mengerjakan pekerjaan-pekerjaan tersebut. Ini lebih karena waktu, tenaga, pikiran dan keterampilan kita, diprioritaskan untuk mengerjakan dan menyelesaikan tugas atau pekerjaan yang 'bagi kita' jauh lebih penting karena kondisi dan situasi yang memungkinkan atau menuntut demikian. Ada job discribtion yang memungkinkan kita tidak melakukan semua pekerjaan sendiri, misalnya. Seandainya suatu saat kita melakukan pekerjaan-pekerjaan itu sendiri, tentunya lebih sebagai refreshing atau selingan agar hidup kita bukan sekadar rutinitas yang monoton. Sekaligus stimulus bagi kreativitas kita.
Selain itu, ada juga pertimbangan lain. Misalnya, kita tidak melakukan pekerjaan-pekerjaan tersebut bukan karena tidak mampu untuk menyelesaikannya, namun lebih disebabkan oleh penekanan pada kualitas dan hasil kerja. Mungkin bisa pekerjaan tersebut kita ambil, meskipun kita mampu, namun hasilnya tidak bisa semaksimal bila dilakukan oleh orang lain. Kita tidak mempunyai otoritas dan kapasitas yang cukup untuk mengerjakannya sendiri. Atau kita mempunyai otoritas dan kapasitas, namun kesempatan yang kita miliki terbatas. Pada tahap inilah, nilai spiritualitas yang kita miliki akan diuji dan dimampukan untuk digunakan. Ada ketulusan untuk 'berbagi'.
Menumbuhkan spiritualitas kejujuran baru bukanlah suatu pekerjaan mudah. Namun sekali lagi, jelas kita telah mengetahui dan menemukan caranya. Yaitu dengan membangun iklim berpikir yang eksploratif dan kreatif akan segala hal dalam kehidupan kita.
Karena itu, mengutip tulisan Soe Hok Gie, bahwa menumbuhkan apalagi sampai ke tahap mengembangkan sikap jujur melalui pola pikir ekploratif dan kreatif, yang melibatkan manusia di dalamnya, harus berangkat dari personal concern dan communal commitment untuk bisa mengangkat elanprofetik, sehingga kejujuran berfungsi bukan hanya sebagai nation building, namun juga mendorong perubahan ke arah tatanan yang lebih prudent.
Jadi, seharusnya insan credit union adalah mereka yang eat, sleep, and dream with 'marketing'. Dan untuk bisa menciptakan 'budaya' unik ini, kita mesti memulainya dari berlaku jujur terlebih dahulu.
Kenapa? Sahabat sekalian tentu masih sangat sadar, bahwa 'produk' utama credit union selama ini dan selama-lamanya hanya satu, kepercayaan. Agar produk ini bisa laris manis di pasar, dan kemudian kita mendapatkan return darinya, maka kita harus tahu bahan baku yang tepat dan ternyata sangat murah dari produk ini. Yaitu kejujuran.
Tulisan ini adalah tulisan saya beberapa tahun lalu, ketika saya mengawali karya di credit union...