Carrefour Effect
Posted: Kamis, 14 Mei 2009 by R. Anang Tinosaputra in Label: The Meaning of Management
0
NO PARKING, NO BUSINESS...Carrefour merupakan salah satu raja ritel di dunia. Ritel asal Perancis ini memiliki ciri yang sama, parkiran luas, kenyamanan berbelanja, dan harga yang murah.
Ke Carrefour Aja! Kata-kata itu sudah sangat akrab di telinga orang Indonesia, terutama yang tinggal di perkotaan. Kalimat itu adalah sebuah tagline yang berbentuk ajakan untuk berbelanja di Carrefour. Rasanya memang sangat pas tagline itu, mengingat Carrefour diposisikan sebagai pusat belanja yang menawarkan produk dengan harga murah dengan konsep one stop shopping. Bahkan, ritel asal Perancis ini dengan berani membayar selisih uang, jika harga yang ditawarkannya lebih mahal dari pusat-pusat belanja lain. Bayangkan, sudah murah, pusat belanja inipun menawarkan suasana yang sangat nyaman. Display ditata sangat luas sehingga pelanggan bisa nyaman dan tidak berdesak-desakan dalam memilih produk yang dibutuhkannya.
Tidak hanya kenyamanan di dalam toko, pusat belanja ini pun di setiap lokasi menawarkan area parkir yang sangat luas. Sebagian besar pelanggan justru mendatangi tempat ini bersama keluarga sambil jalan-jalan. Inilah setidaknya kunci sukses Carrefour. Semua lokasi selalu berada di tempat-tempat yang strategis dan mudah dijangkau. Carrefour pun menjadi pilihan bagi para pelanggan di Indonesia, jika bicara soal ritel.
Nah, kali ini kita tidak akan membicarakan mengenai detail sukses Carrefour, namun efek dari berkembangbiaknya usaha Carrefour kepada bisnis lain.
Kalau di AS kita mengenal istilah Wal-Mart Effect, maka di Indonesia saya punya istilah yang serupa walaupun tak sepenuhnya sama, Carrefour Effect. Saya sebut demikian, karena dari tahun ke tahun sejak debut pertama kali masuk ke Indonesia tahun 1989, retail gaint asal negerinya Zinadine Zidane ini kian perkasa mendominasi (bahkan menghegemoni) industri retail tanah air. Dan kalau kecepatan ekspansi perusahaan yang kini memiliki 37 gerai ini bisa terus berkembang seperti sekarang, bisa jadi 'Wal-Mart Effect' seperti yang terjadi di AS bakal terjadi di sini.
Istilah 'Wal-Mart Effect' muncul untuk menandai kecepatan Wal-Mart dalam memengaruhi berbagai sendi kehidupan masyarakat AS, baik positif maupun negatif. Size does matter!! Itulah kira-kira istilah yang tepat bagi Wal-Mart. Dengan sekitar 4000 gerai (termasuk Sam's Club) perusahaan terbesar di dunia ini mempekerjakan 1,3 juta angkatan kerja AS, dikunjungi oleh 120 juta konsumen setiap minggunya, menguasai 6,5% seluruh penjualan ritel, menguasai 15% impor AS dari Cina. Karena menjual produk apapun, mulai dari deodoran, baju, CD musik, komputer, hingga mobil, maka penjual apapun di AS bersaing head-to-head dengannya. So, Wal-Mart adalah 'musuh siapapun'.
Karena ukurannya yang seperti gajah bengkak, Wal-Mart bahkan sampai mampu menekan tingkat inflasi AS melalui kebijakan Everyday Low Price. Tapi karena kebijakan harga miring itu pula ia dikritik habis-habisan karena dinilai menekan karyawan dengan memberi gaji yang rendah untuk memangkas biaya. Wal-Mart juga dituding membunuh peritel tempatnya beroperasi, karena begitu gerai Wal-Mart dibuka, pelan tapi pasti peritel-peritel lain berguguran, kalah bersaing.
Tak hanya itu, kebijakan Everyday Low Price juga memakan korban para suplier. Penguasaan konsumen yang demikian powerful dimanfaatkan Wal-Mart untuk mekan para supliernya dengan tujuan untuk memangkas biasa dan mendapatkan harga semurah mungkin. Belum lagi tuduhan LSM-LSM bahwa ia adalah perusak lingkungan dan pemicu global warming kelas wahid di AS.
Walaupun tidak seekstrim kasus Wal-Mart, saya melihat gejala Carrefour kian memiliki kekuatan hegemonis yang berdampak baik maupun buruk kepada industri ritel dan ekonomi nasional secara keseluruhan. The Good ,berdampak baik; The Bad, berdampak buruk; dan The Ugly, berdampak sangat buruk.
The Good. Kehadiran Carrefour adalah good news bagi konsumen. Kekuatan hegemonis Carrefour terjadi karena kemampuan perusahaan ini dalam memberikan empat extraordinary value ke konsumen. Pertama, harga murah; kedua, keberagaman jenis produk; ketiga, kenyamanan; dan keempat, citra belanja. Berkat extraordinary value ini, Carrefour memiliki 'daya hisap' layaknya vacuum cleaner dalam menyedot pelanggan-pelanggan dari peritel lain.
The Bad. Karena keperkasaan Carrefour dalam menggaet konsumen, peritel ini memiliki bargaining position yang sangat powerful dalam berhadapan dengan suplier-supliernya. Beberapa waktu lalu saya ketemu dan ngobrol dengan CEO sebuah perusahaan consumer good. Si CEO ini mengatakan kepada saya, kalau tidak bisa dibilang mengeluh. Ia mengeluh karena dengan semakin perkasanya Carrefour, peritel kakap ini menjadi besar kepala dan kian 'jual mahal' ke suplier. Keluhnya, Carrefour memasang tarif yang super mahal untuk placement produk-produk di gerainya. Tak pelak lagi, rak-rak dan gondolanya menjadi komoditas yang sangat mahal.
Keluhan di CEO di atas bukannya yang pertama, banyak saya mendengar curhat senada dari para pemilik merek. Bahkan, ketika saya menjadi Brand Manager salah satu media komunikasi yang ingin menjual di Carrefour, saya menemukan fenomena yang memberatkan. Dengan modal penguasaan konsumen itu, Carrefour menekan suplier-supliernya untuk mendapatkan harga produk ke konsumen semurah mungkin. Carrefour juga menetapkan ketentuan-ketentuan sepihak yang harus diikuti oleh suplier, kalau tidak mengikuti ketentuan itu ya jangan bermimpi produk si suplier ini 'nongkrong' di rak atau gondalanya. Pameo, 'siapa menguasai konsumen, ia menguasai segalanya' pas benar menggambarkan kuatnya bargaining position Carrefour dalam berhadapan dengan supliernya.
The Ugly. Dampak destruktif Carrefour rupanya lebih jauh lagi menusuk ke ulu hati. Dampak ini terutama dirasakan oleh pesaingnya dan para distributor. Sekali lagi karena keperkasaannya, ekspansi peritel ini memiliki 'daya gilas' yang begitu dahsyat kepada para pesaing-pesaingnya baik besar, menengah, maupun kecil. Kita tahu semua, kehadiran Carrefour (yang menempati posisi di tengah kota) telah menyebabkan supermarket-supermarket punah (Hero ... where are you?), pasar-pasar tradisional sepi, dan toko gudang rabat seperti Alfa dan Makro ikut-ikutan terpuruk.
Dampak tak kalah mengenaskan menimpa para distributor berbagai ragam jenis produk. Keberadaan Carrefour menjadikan jatah pekerjaan para distributor beragam produk menjadi terpangkas. Rantai nilai distribusi menjadi lebih compact, tidak perlu berjenjang-jenjang: cukup dari produsen ke Carrefour, lalu Carrefour langsung ke konsumen akhir. Tidak perlu lagi distributor-distributor perantara.
Memang untuk saat ini, fenomena ini belum signifikan terjadi. Tapi coba bayangkan, sekiranya jumlah Carrefour sudah demikian massif hingga ke level kota dan kabupaten, dan jenis produk yang dijualnya begitu beragam seperti yang dilakukan Wal-Mart. Tak tertutup kemungkinan distributor-distributor akan betul-betul kehilangan pekerjaannya.
Seburuk-buruknya peritel gajah ini, saya masih tetap cinta Carrefour. Kenapa? Karena itu tadi, ia memberi saya dan anak-istri saya harga super miring, ruangan belanja ber-AC nan dingin, one stop shopping, sehingga saya tidak perlu pergi ke banyak toko, dan yang paling penting ... belanja di Carrefour lebih mentereng. Jadi bisa 'jaim'. Hehehe ...
Ingat! 'Menguasai konsumen, berarti menguasai segalanya ...'