Personal Branding

Posted: Kamis, 21 Mei 2009 by R. Anang Tinosaputra in Label:
0

Menggunakan personal branding dan I-Branding untuk meningkatkan citra diri ada strateginya. Strategi yang diperlukan oleh setiap orang, tapi berbeda-beda. Meskipun tujuannya sama, melekatkan kuat nama dan sosok kita di benak masyarakat.

Motivator Tung Desem Waringin tersenyum sumringah. Tindakannya menebar uang Rp 100 juta dari udara, plus ratusan undangan seminar yang total nominalnya Rp 6 miliar, ia tegaskan bukanlah aksi sosial. Semata ia tengah melakukan gebrakan marketing untuk penjualan buku keduanya Marketing Revolution.

Sebelumnya, promosi buku pertamanya Financial Revolution ia geber dengan aksi naik kuda ala Pangeran Diponegoro di jalan-jalan protokol ibukota. Lantaran aksi itu, penjualan bukunya konon mengalami sukses besar. Namun lepas dari pro dan kontra sensasi yang ia ciptakan, Tung Desem sebenarnya tengah melakukan penyegaran personal branding-nya.

Lihat juga fenomena beberapa tahun belakangan. Tukul Arwana, yang harus mengganti nama, mulai dari Tukul Kelawu Kethek (monyet abu-abu), Tukul Piranha, Tukul Julung-julung, Tukul Mujair, Tukul Sapu-sapu, hingga yang terakhir Tukul Arwana, barulah pelan-pelan nasibnya berubah. Seperti Tung Desem, Tukul juga tengah berusaha memperbaiki branding-nya sendiri.

Jadi, pada kasus Tukul dan Tung Desem, branding adalah segala apa yang dipikirkan orang lain tentang Tukul dan Tung Desem. Berhasil menancapkan sesuatu yang unik dan berbeda, mereka pun sukses.



Ciri khas Tung Dese, sebagai motivator heboh dan Tukul sebagai pelawak 'ndeso' yang rela diejek habis-habisan, memang menjadikan mereka sangat berbeda dari yang lain. Ciri khas dan perbedaan kuat inilah yang menciptakan persepsi, pendapat, atau kesan masyarakat terhadap mereka (personal branding). Cara memasarkan diri itu membuat sosok mereka melekat kuat dalam benak masyarakat. Namun, hati-hati, dampaknya bisa positif, bisa juga negatif.

Branding kuat bukan semata monopoli kaum silibriti. Personal branding memang digunakan untuk membentuk seseorang menjadi figur publik, ahli, atau tokoh tertentu. Namun di luar itu, dalam keseharian, baik di dunia kerja maupun di lingkungan sosial, dikenal juga branding yang lebih berorientasi pada diri sendiri alias I-branding.

Setiap orang bisa memiliki I-Brand. Caranya, dengan melakukan strategi pembinaan diri untuk menjadi seseorang yang punya nilai tinggi di mata stakeholder-nya.

Untuk meraih tempat atau posisi yang diinginkan, selain kerja keras, kita perlu juga merencanakan dan mengatur strategi, mengemas diri, dan melakukan branding dengan baik. Target audiens, intensitas, dan cara berkomunikasi dalam I-Brand berbeda dengan personal branding. Bila personal branding orientasinya pada audiens yang bersifat massif, dalam I-Brand yang ditargetkan biasanya tersegmen, karena mencakup lingkungan tertentu dari kehidupan seseorang.

Sedangkan persamaan personal branding dengan I-Brand, keduanya harus digarap secara serius dan fokus. Walaupun tidak menggunakan media massa, seseorang bisa mengomunikasikan siapa dirinya dan memproyeksikan kemampuan, keunikan, dan diferensiasi personalnya melalui kontak langsung dengan target audience.

Ada sejumlah pertanyaan klasik yang bisa disodorkan saat kita membuka jejaring brand kita, yaitu siapa Anda? Kuliah atau bekerja dimana saat ini? Pada industri apa? Apa posisi Anda saat ini? Siapa saja yang Anda kenal (untuk mengetahui seberapa luas jejaring kita)? Siapa saya yang mengenal Anda?

Lebih jauh, saat berhadapan dengan audiens, pemilihan bahasa verbal dan non-verbal (bahasa tubuh) mesti diperhatikan. Kemudian, ciptakan rasa nyaman pada pihak lain selama interaksi berlangsung. Tak boleh lupa, busana yang mengemas penampilan, bisa ikut mendorong terciptanya I-Brand.

Ingat, kegagalan berkomunikasi bisa berdampak luas pada proyeksi nilai-nilai I-brand yang sudah dirancang sebelumnya.

Seseorang dikatakan memiliki brand kuat jika brand-nya dikenal luas. Misalkan, Greg Hambali, yang dikenal sebagai penyilang tanaman aglaonema andal yang karyanya berharga ratusan juta rupiah dan telah go international. Brand yang dimiliki Greg dimengerti maknanya bukan hanya di kalangan pecinta bunga hias saja, tapi juga kalangan awam yang menjadi pehobi setelah menikmati hasil karya silangnya.

Masyatakat melihat, Greg amat profesional di bidangnya, dan bekerja tulus demi keharuman aglaonema made in Indonesia. Jadi, asosiasi terhadap brand-nya selalu positif. Sehingga, meskipun cukup banyak penyilang tanaman lainnya, masyarakat lebih meminati bahkan menunggu kejutan hasil karya Greg berikutnya.

Brand Greg terus berkembang dari tahun ke tahun, bahkan brand-nya bisa digunakan berkali-kali, karena ia konsisten menciptakan varian-varian baru. Bahkan tak segan dia mengajari orang cara membuat anakan dari aglaonema ciptaannya. Brand-nya direkomendasi untuk digunakan orang lain.

Apa keuntungan memiliki brand? Yang jelas, memiliki keuntungan kompetitif, sehingga bergaining power-nya lebih tinggi. Ia juga tidak terlalu tergantung pada brand lain, antara lain brand perusahaan tempatnya bekerja (co-branding). Selain itu, ia bakal memperoleh banyak dukungan dan kerja sama dari rekan atau aliansi lain, karena kualitas dan kapasitasnya diakui amat terpercaya.

Tak heran jika ia lalu mendapat kepercayaan penuh dari stakeholders. Banyak pula teman dan kolega yang loyal padanya. Sehingga, ia punya potensi untuk mengembangkan extentions.

Agar I-Brand tetap relevan, adakalanya harus dilakukan perubahan strategi branding dari diri sendiri. Jika perubahannya pada makna yang ingin kita tanamkan tentang kita pada stakeholders, itu yang dikenal di dunia marketing dengan istilah repositioning. Apabila perubahannya cukup mendasar, dan sampai membutuhkan perubahan identitas, bahka perubahan nama, maka ini yang disebut dengan rebranding.

Akhir-akhir ini, beberapa tokoh muncul hampir setiap saat di teve, melakukan personal branding agar tercitrakan sebagai tokoh paling didambakan masyarakat. Jusuf Kalla misalnya, ingin tampil sebagai negarawan pemberi solusi atasi kemiskinan dengan kecepatannya bertindak. Sedangkan Prabowo, memposisikan dirinya sebagai wakil kaum petani yang selama ini terpinggirkan, meski punya potensi besar menyelamatkan bangsa. Sutrisno Bachir, beberapa waktu lalu, mencoba sedikit berfilosofi lewat kredonya 'hidup adalah perbuatan'.

Menurut saya, ada 5 langkah utama membangun I-Brand. Namun sebelum itu, tentukan dulu akan menjadi apa kita, lima atau sepuluh tahun mendatang, apa yang dibutuhkan untuk mencapai target itu, dan bagaimana cara sampai ke tujuan kita?
Pertama, identifikasi siapa target audience dalam kelompok stakeholders, buatlah ranking kepentingan mulai target utama hingga sampingan, pahami kebutuhan dan aspirasi mereka, pelajari siapa saja pesaing kita.
Kedua, posisikan I-Brand kita di tempat yang unik, relevan, dan punya diferensiasi tertentu.
Ketiga, desain diri kita agar sesuai dengan positioning I-Brand tersebut. Misalnya, benahi packaging diri kita melalui jenjang pendidikan atau isi dengan karya yang berprestasi.
Keempat, implementasikan nilai yang telah kita janjikan dengan konsistensi memberikan kontribusi terhadap target audience. Juga cipatakan brand experiences yang menyenangkan, misalnya menciptakan momen-momen yang punya nilai.
Kelima, evaluasi keberadaan I-Brand kita, seberapa meleset kenyataan dari target, sesuaikan langkah dan arah bila terjadi perubahan eksternal yang di luar kendali.

Untuk menjawab dan melakukan kelima langkah di atas, saya menyarankan pada sahabat sekalian sebelumnya untuk bertanya pada diri sendiri dengan kelima pertanyaan berikut.
Punyakah kita keunikan atau diferensiasi yang bernilai di mata target audiences? (Unik). Selain kita, ada berapa orang lagi yang bisa memberikan kontribusi yang sama nilanya? (Relevan). Siapkah kita untuk selalu memberikan yang terbaik? (Kredibel). Apakah kita pribadi yang bisa diandalkan dan layak dipercaya? (Esteem). Dan terakhir, Seberapa luas pengetahuan kita tentang apa yang sedang kita geluti, dan mengertikah kita apa yang terjadi di tingkat konsumen, serta di tingkat perusahan dan industrinya? (Knowledge).

Siapa pun atau apapun yang dilakukan, pasti mengarah ke target yang sama, yakni peningkatan citra diri. Repositioning, personal branding, ataupun I-Brand hanya semacam strategi untuk mencapainya. Namun, yang menjadi kekuatan terbesar dan dasarnya menuju keberhasilan adalah kualitas karakter kita. Sahabat sekalian tentu masih ingat 3C dari building brand, yaitu commitment, consistency, dan character. Hanya mereka yang punya karakter kuat yang mampu mendongkrak brand mereka.

Semoga sahabat sekalian ada di dalamnya!

0 komentar: