Aliansi Demi Peluang
Posted: Jumat, 22 Mei 2009 by R. Anang Tinosaputra in Label: The Meaning of Management
0
Di dunia ini tidak ada yang disebut hidup tenang adem ayem. Yang ada hanyalah peluang-peluang yang harus diraih...
Peluang akan berlipat ganda saat mereka diraih ...
Demikian kata Sun Tzu. Penulis strategi perang Cina dari abad 6 SM yang telah mengilhami jenderal-jenderal terkemuka dalam sejarah dunia seperti Napoleon Bonaparte sampai jenderal Douglas MacArthur, panglima Sekutu untuk kawasan Pasifik Barat Daya di masa Perang Dunia II, itu menegaskan bahwa strategi adalah kemampuan kita merespon dengan cepat dan tepat situasi yang berubah-ubah. Jadi, betapa pentingnya ketangkasan dalam merebut peluang untuk dapat menang.
Strategi perang Sun Tzu telah membantu masyarakat modern di banyak bidang, tak hanya dalam hal perang, tapi juga dalam bisnis dan manajemen. Kemudian para pelaing tim-tim olahraga di Barat juga menerapkannya. Lihat, bagaimana Sir Alex Ferguson mampu meraih prestasi yang gemilang bersama Manchester United dalam dua dekade terakhir di pentas sepakbola dunia, tidak hanya di Inggris.
Kalau diterapkan dalam kehidupan nyata, ternyata menyenangkan juga. Barangkali karena hidup sebenarnya juga sebuah medan perang. Bisa melawan pihak lain, bisa pula menghadapi diri sendiri.
Setiap krisis menciptakan peluang. Ini pepatah kuno sekali. Tapi baiklah kita ingat, karena ia menghibur hari-hari resesi seperti ini. Lihat, menjawab krisis keuangan dunia yang berbuntut resesi ekonomi, kita bisa berpaling dan belajar kepada dunia internet, yang jumlah pemakainya terus bertumbuh dengan pesat. Tingkat pertumbuhannya di dunia, menurut data Internet World Stats, adalah 336,1%, di Asia 469,0%, sedangkan di Indonesia, angkanya lebih mengengangkan lagi, 1.150,0%. Luar biasa!
Contoh lain, kita bisa belajar dari Lee Kuan Yew. Dia adalah contoh nyata pemimpin yang telah membawa bangsanya merebut peluang. Sebagai 'lokomotif' Singapura, ia telah memutarbalikkan kondisi awal negeri kecil yang nelangsa menjadi negeri kecil yang jaya.
Sebenarnya apa itu peluang?
Peluang berarti harapan. Di Indonesia yang selalu anomali ini, krisis rasanya belum sampai, kecuali sehimpun data 40 ribu pekerja sudah dipecat dan puluhan ribu lainnya mulai menganggur. Sebab di belahan lain di negeri ini, para pengembang masih membangun rumah karena peminatnya tak surut. Krisis barangkali hanya terjadi di Amerika.
Di sana, hari-hari ini, pabrik-pabrik memecat pegawainya karena ongkos produksi lebih besar ketimbang pemasukan. Pendapatan tidak lagi cukup membayar gaji pekerja. Apa boleh buat, pengurangan variabel produksi memang cara mudah dalam situasi terjepit seperti ini. Konon, di Indonesia akan terjadi setelah Pilpres nanti.
Saya ingin mengajak, kita tak perlu takut membayangkan ramalan itu. Indonesia mempunyai nilai sosial yang tak dimiliki manusia di negara lain. Di Amerika, kota-kota menjadi The Ghost City karena rumah-rumah ditinggal penghuninya akibat tak sanggup membayar cicilan. Di Indonesia, tahun 1998 membuktikan, orang tak sampai tak bisa makan kendati rupiah terpuruk, harga-harga naik. Kita punya resep klasik mangan ora mangan asal ngumpul. Gotong royong itulah yang menyelematkan kita.
Pemecatan adalah sebuah tanda kita masih hidup di zaman industri, ketika manusia hanya salah satu saja dari faktor produksi. Dalam pembukuan, pegawai masih tetap ditempatkan di sisi pembiayaan, sebelah kanan, yang bisa dipotong jika merugikan dan dihapus jika tidak diperlukan.
Dalam industri, manusia tak pernah dijadikan modal. Manusia disamakan dengan bahan baku, mesin, dan alay-alat produksi lainnya. Di zaman post-industry seperti sekarang, mestinya paradigma itu bisa diubah. Manusia tidak lagi ditempatkan di kanan, tapi di kiri sebagai komponen modal dan sumber daya, bahkan aset. Karena itu, bukan pemecatan yang akan dilakukan tetapi mengevaluasi.
Saya ingin menawarkan sebuah wacana yang bisa menjadi jawaban untuk menghindarkan pemecatan setiap kali krisis menerjang.
Seperti saya sebut di awal, kita punya modal sosial yaitu gotong royong. Modal ini bisa kita manfaatkan secara riil dalam situasi semacam ini. Kita bisa meniru internet yang begitu efektif dan digandrungi banyak orang sekarang ini. Sebuah jaringan yang memungkinkan kita kompak dan saling terhubung.
Industri-industri padat karya semacam tekstil dan garmen sekarang sudah memecat karyawannya. Saya dengar bank akan menyusul. Seandainya ada sebuah jaringan industri, korban pemecatan itu bisa ditampung. Kita tidak perlu kalut setiap krisis datang.
Jaringan itu bisa sebuah aliansi. Pada bank, aliansi ini bisa dibentuk dan digagas oleh pengawas bank yakni Bank Indonesia. Pada level kecil, aliansi ini sebetulnya sudah berjalan. Sebuah bank besar dan kuat dalam pengawasan, memberi pelatihan kepada bank-bank menengah dalam soal ini. Pada 'aliansi krisis' pelatihan itu bisa ditingkatkan menjadi transfer pekerja. Sehingga paradigma dalam krisis tidak lagi rasionalisasi, dirumahkan, PHK, melainkan transfer pekerja.
Bank besar menawarkan mereka yang akan ditransfer kepada bank-bank menengah dan kecil atau bank daerah yang relatif tidak terkena krisis karena nasabagnya bukan usaha ekspor-impor, misalnya. Dengan begitu, aliansi ini akan menjawab soal ketimpangan sumberdaya manusia antara bank besar, menengah, dan kecil. Pemecatan, juga bisa dicegah.
Itu tadi contoh di bank. Credit union bisa membangun aliansi yang sebenarnya sudah berjalan sejak lama, misalnya, merger antara credit union yang secara growth opportunity-nya sudah sulit berkembang, dengan credit union yang secara operasional lebih mapan. Berbagi adalah semangat dalam aliansi ini. Semangat yang disebut abundance mentality (mental keberlimpahan) dalam ilmu manajemen adalah modal sosial kita yang tak pernah surut dan ciri khas bangsa kita, gotong royong.
Ini hanya contoh saja, namun saya pikir sekaranglah credit union bisa menunjukkan peran krusialnya. Aliansi dalam berbagai bidang bisa dibentuk untuk mempererat dan menjadikan kita solid, menjadikan sebuah Indonesia yang kuat. Dan aliansi tak hanya bisa dilakukan di saat krisis saja, tapi ketika zaman normal sekalipun. Maka ketika krisis datang, aliansi ini sudah bekerja dengan sendirinya.
Ini bisa juga menjadi bukti, kita bangsa besar yang bisa berdiri dengan kaki sendiri. Inilah post-capitalism di zaman ilmu pengetahuan. Kita akan terbebas dari kapitalisme dan sosialisme yang tak membuat bahagia. Kita menjadi otonom tak terkait dengan sistem manapun.
Mungkinkah? Kita tak akan bisa sampai kepada langkah ke-1.000.000 tanpa langkah pertama ...
Peluang akan berlipat ganda saat mereka diraih ...
Demikian kata Sun Tzu. Penulis strategi perang Cina dari abad 6 SM yang telah mengilhami jenderal-jenderal terkemuka dalam sejarah dunia seperti Napoleon Bonaparte sampai jenderal Douglas MacArthur, panglima Sekutu untuk kawasan Pasifik Barat Daya di masa Perang Dunia II, itu menegaskan bahwa strategi adalah kemampuan kita merespon dengan cepat dan tepat situasi yang berubah-ubah. Jadi, betapa pentingnya ketangkasan dalam merebut peluang untuk dapat menang.
Strategi perang Sun Tzu telah membantu masyarakat modern di banyak bidang, tak hanya dalam hal perang, tapi juga dalam bisnis dan manajemen. Kemudian para pelaing tim-tim olahraga di Barat juga menerapkannya. Lihat, bagaimana Sir Alex Ferguson mampu meraih prestasi yang gemilang bersama Manchester United dalam dua dekade terakhir di pentas sepakbola dunia, tidak hanya di Inggris.
Kalau diterapkan dalam kehidupan nyata, ternyata menyenangkan juga. Barangkali karena hidup sebenarnya juga sebuah medan perang. Bisa melawan pihak lain, bisa pula menghadapi diri sendiri.
Setiap krisis menciptakan peluang. Ini pepatah kuno sekali. Tapi baiklah kita ingat, karena ia menghibur hari-hari resesi seperti ini. Lihat, menjawab krisis keuangan dunia yang berbuntut resesi ekonomi, kita bisa berpaling dan belajar kepada dunia internet, yang jumlah pemakainya terus bertumbuh dengan pesat. Tingkat pertumbuhannya di dunia, menurut data Internet World Stats, adalah 336,1%, di Asia 469,0%, sedangkan di Indonesia, angkanya lebih mengengangkan lagi, 1.150,0%. Luar biasa!
Contoh lain, kita bisa belajar dari Lee Kuan Yew. Dia adalah contoh nyata pemimpin yang telah membawa bangsanya merebut peluang. Sebagai 'lokomotif' Singapura, ia telah memutarbalikkan kondisi awal negeri kecil yang nelangsa menjadi negeri kecil yang jaya.
Sebenarnya apa itu peluang?
Peluang berarti harapan. Di Indonesia yang selalu anomali ini, krisis rasanya belum sampai, kecuali sehimpun data 40 ribu pekerja sudah dipecat dan puluhan ribu lainnya mulai menganggur. Sebab di belahan lain di negeri ini, para pengembang masih membangun rumah karena peminatnya tak surut. Krisis barangkali hanya terjadi di Amerika.
Di sana, hari-hari ini, pabrik-pabrik memecat pegawainya karena ongkos produksi lebih besar ketimbang pemasukan. Pendapatan tidak lagi cukup membayar gaji pekerja. Apa boleh buat, pengurangan variabel produksi memang cara mudah dalam situasi terjepit seperti ini. Konon, di Indonesia akan terjadi setelah Pilpres nanti.
Saya ingin mengajak, kita tak perlu takut membayangkan ramalan itu. Indonesia mempunyai nilai sosial yang tak dimiliki manusia di negara lain. Di Amerika, kota-kota menjadi The Ghost City karena rumah-rumah ditinggal penghuninya akibat tak sanggup membayar cicilan. Di Indonesia, tahun 1998 membuktikan, orang tak sampai tak bisa makan kendati rupiah terpuruk, harga-harga naik. Kita punya resep klasik mangan ora mangan asal ngumpul. Gotong royong itulah yang menyelematkan kita.
Pemecatan adalah sebuah tanda kita masih hidup di zaman industri, ketika manusia hanya salah satu saja dari faktor produksi. Dalam pembukuan, pegawai masih tetap ditempatkan di sisi pembiayaan, sebelah kanan, yang bisa dipotong jika merugikan dan dihapus jika tidak diperlukan.
Dalam industri, manusia tak pernah dijadikan modal. Manusia disamakan dengan bahan baku, mesin, dan alay-alat produksi lainnya. Di zaman post-industry seperti sekarang, mestinya paradigma itu bisa diubah. Manusia tidak lagi ditempatkan di kanan, tapi di kiri sebagai komponen modal dan sumber daya, bahkan aset. Karena itu, bukan pemecatan yang akan dilakukan tetapi mengevaluasi.
Saya ingin menawarkan sebuah wacana yang bisa menjadi jawaban untuk menghindarkan pemecatan setiap kali krisis menerjang.
Seperti saya sebut di awal, kita punya modal sosial yaitu gotong royong. Modal ini bisa kita manfaatkan secara riil dalam situasi semacam ini. Kita bisa meniru internet yang begitu efektif dan digandrungi banyak orang sekarang ini. Sebuah jaringan yang memungkinkan kita kompak dan saling terhubung.
Industri-industri padat karya semacam tekstil dan garmen sekarang sudah memecat karyawannya. Saya dengar bank akan menyusul. Seandainya ada sebuah jaringan industri, korban pemecatan itu bisa ditampung. Kita tidak perlu kalut setiap krisis datang.
Jaringan itu bisa sebuah aliansi. Pada bank, aliansi ini bisa dibentuk dan digagas oleh pengawas bank yakni Bank Indonesia. Pada level kecil, aliansi ini sebetulnya sudah berjalan. Sebuah bank besar dan kuat dalam pengawasan, memberi pelatihan kepada bank-bank menengah dalam soal ini. Pada 'aliansi krisis' pelatihan itu bisa ditingkatkan menjadi transfer pekerja. Sehingga paradigma dalam krisis tidak lagi rasionalisasi, dirumahkan, PHK, melainkan transfer pekerja.
Bank besar menawarkan mereka yang akan ditransfer kepada bank-bank menengah dan kecil atau bank daerah yang relatif tidak terkena krisis karena nasabagnya bukan usaha ekspor-impor, misalnya. Dengan begitu, aliansi ini akan menjawab soal ketimpangan sumberdaya manusia antara bank besar, menengah, dan kecil. Pemecatan, juga bisa dicegah.
Itu tadi contoh di bank. Credit union bisa membangun aliansi yang sebenarnya sudah berjalan sejak lama, misalnya, merger antara credit union yang secara growth opportunity-nya sudah sulit berkembang, dengan credit union yang secara operasional lebih mapan. Berbagi adalah semangat dalam aliansi ini. Semangat yang disebut abundance mentality (mental keberlimpahan) dalam ilmu manajemen adalah modal sosial kita yang tak pernah surut dan ciri khas bangsa kita, gotong royong.
Ini hanya contoh saja, namun saya pikir sekaranglah credit union bisa menunjukkan peran krusialnya. Aliansi dalam berbagai bidang bisa dibentuk untuk mempererat dan menjadikan kita solid, menjadikan sebuah Indonesia yang kuat. Dan aliansi tak hanya bisa dilakukan di saat krisis saja, tapi ketika zaman normal sekalipun. Maka ketika krisis datang, aliansi ini sudah bekerja dengan sendirinya.
Ini bisa juga menjadi bukti, kita bangsa besar yang bisa berdiri dengan kaki sendiri. Inilah post-capitalism di zaman ilmu pengetahuan. Kita akan terbebas dari kapitalisme dan sosialisme yang tak membuat bahagia. Kita menjadi otonom tak terkait dengan sistem manapun.
Mungkinkah? Kita tak akan bisa sampai kepada langkah ke-1.000.000 tanpa langkah pertama ...