Sales Force Triumvirate

Posted: Kamis, 04 Juni 2009 by R. Anang Tinosaputra in Label:
0




Empat hari terakhir ini saya memberikan training kepada beberapa sales marketing dan para sales manager. Sesuatu yang menarik di tengah kondisi selling yang mungkin sedang tidak ramah ini. Saya sarikan kepada sahabat sekalian (khususnya sahabat credit union), materi yang saya berikan dalam training tersebut, yang merupakan materi ketika saya kuliah beberapa tahun lalu, dan terus saya jalankan serta kembangkan selama ini. Semoga bermanfaat, dan selamat menikmati.

‘Selling is hardwork, it always has been and it always will be. And the more difficult the economy and the more competitive the market, the tougher is becomes ...’, ungkapan Zig Zigglar, salah satu ‘dewa’ sales dunia, mengenai perkembangan dunia sales akhir-akhir ini.

Pekerjaan menjual memang semakin sulit di tengah perubahan lingkungan bisnis (teknologi, ekonomi, pasar, sosial, persaingan dan konsumen) yang semakin cepat dan unpredictable saat ini. Para tenaga penjualan di industri business to business (B2B) mengeluh semakin sulit menggaet para pelanggan bernilai transaksi besar (key account), karena hampir semua pesaing bertarung memperebutkannya. Sementara mereka yang bergerak di business to consumers (B2C) juga tidak kalah mengeluh karena posisi tawar di pasar semakin bergeser dari produsen (manufacture) ke para peritel (retailer) lalu ke pelanggan (customer). Musababnya gampang ditebak, karena diferensiasi produk semakin gampang untuk dinetralkan sebagai ‘buah’ persaingan yang hiperkompetitif.

Neil Rackam, penggagas Spin Selling, mengatakan bahwa peran tenaga penjualan sekarang dituntut untuk tidak hanya menjadi seorang penyampai nilai manfaat dari produk (value communication), tapi lebih jauh lagi bisa memainkan peran sebagai pencipta nilai tambah terhadap produk yang dijualnya (value creator).

Digitalisasi (digitalization) teknologi telah memungkinkan alternative channel yang memungkinkan pelanggan semakin punya banyak pilihan untuk mengakses produk atau layanan dan membangun relationship dengan produsen. Globalisasi (globalization) politik-regulasi, ekonomi dan sosial budaya semakin mendorong proses sofistifikasi persaingan dan bahkan pelanggan. Sementara futurisasi (futurization) pasar semakin mendorong value propositions baru dan alternative offering yang sebelumnya tidak pernah kita pikirkan.



Tidak cukup sampai di situ, kombinasi tiga pergeseran besar ini juga berdampak pada semakin banyaknya porsi pelanggan pintar (smart customer) sehingga upaya akuisisi prospek akan semakin sulit jika hanya mengandalkan content product tanpa diimbangi dengan context (selling experience) yang menarik. Menghadapi lingkungan bisnis seperti ini, maka secara otomatis aktivitas penjualan tidak bisa dilihat secara taktikal atau fungsional seperti halnya dulu, tapi juga harus disikapi secara stratejik.

Pendekatan semacam ini menuntut para tenaga penjualan untuk melengkapi diri dengan berbagai konsep pemasaran strategis seperti segmentasi-targeting, positioning-diferensiasi, ataupun berbagai aktivitas membangun merek (brand building activities). Terkait dengan hal ini, saya tertarik dengan artikel di Harvard Business Review yang ditulis oleh dua ‘dewa’ yaitu ‘dewa pemasaran’ Philip Kotler dan ‘dewa sales’ Neil Rackam berjudul Ending the War between Sales and Marketing. Tulisan ini menarik karena secara tegas mengatakan bahwa antara sales dan marketing kini harus terintegrasi dan disinergikan, tidak bisa jalan sendiri-sendiri.

Tenaga penjualan haruslah komplit memiliki tidak hanya pengetahuan (knowledge), tapi juga keterampilan (skill), dan yang lebih penting perilaku (attitude) yang fokus pada disiplin pemasaran untuk dapat memenangkan pelanggan secara sustainable, tak hanya mind share, tapi juga market share dan heart share.

Triumvirate
Sales Force Triumvirate ini merupakan sebuah model strategi penjualan yang dapat membantu para manajer penjualan mengelola sales force-nya secara efektif. Secara sederhana, model ini disusun dalam bentuk segitiga (triumvirate) yang berisi tiga elemen penting strategi penjualan yaitu sales plaform, sales design, dan sales force management.

Sales platform ini pada prinsipnya merupakan simpul dari keseluruhan strategi penjualan yang mencakup tiga aspek yaitu market, product, dan channel. Intinya, agar dapat melakukan penjualan secara efektif, perusahaan harus mulai memerhatikan tiga faktor kunci, yaitu pemahaman terhadap pasar berikut perubahan-perubahan yang mengiringinya, lantas memiliki produk dengan positioning-differentiation-brand yang kokoh, dan menggunakan saluran (channel) penjualan yang pas dan terintegrasi.

Filosofi pertama yang harus diyakini oleh para penjual yang telah berpola pikir market-driven adalah, bahwa pasar (market) lebih penting dari pemasaran (marketing) itu sendiri. Karena penjualan haruslah berorientasi pasar (market-driven), maka kaidah inipun berlaku di dunia penjualan – memahami pasar harus menjadi titik awal sebelum menetapkan strategi dan teknik penjualan.

Berdasarkan pemahaman terhadap pasar itulah, kita mengembangkan produk yang sesuai. Caranya bagaimana? Kita harus mampu menciptakan produk dengan positioning-differentiation-brand (PDB) yang sesuai dengan karakteristik dan perilaku dari segmen pasar yang akan dibidik. PDB yang solid masih belum cukup. Selanjutnya kita juga harus merancang saluran penjualan (channel) yang akan dipakai. Rancangan channel ini tidak hanya menyangkut pilihan jenis-jenis channel-nya, tapi juga menyangkut peran dan fungsi dari setiap channel ersebut, juga bagaimana memaksimalkan kinerjanya.

Pemahaman pasar, produk yang solid dan juga channel yang pas tentu saja belum cukup. Kita juga harus menyusun sebuah desain penjualan yang tepat. Menyusun desain penjualan adalah proses mengonfigurasikan (configurating) struktur (structure) organisasi penjualan, lantas ukuran (size) armada penjualan yang hendak dibangun dan wilayah (territory) penjualan agar tidak terjadi konflik satu sama lain.

Setelah desain penjualan selesai dibangun, perusahaan harus mengupayakan agar organisasi tersebut bisa bekerja maksimal (performing) melalui pengelolaan sebuah tim penjualan yang solid. Ada tiga aspek dalam pengelolaan tim penjualan (sales force management) yang harus diperhatikan, yaitu pengelolaan tenaga penjualannya sendiri (people), proses untuk menarik, mempertahankan kemudian mengembangkan pelanggan (process) dan kemudian mengukur kinerja tenaga penjualan untuk secara kontinyu meningkatkan produktivitas (sales scorecard).

Banyak ahli percaya bahwa efektivitas dari sebuah organisasi penjualan terbentuk melalui proses interaksi umpan balik organisasi tersebut dengan pasar. Sehingga tidak akan pernah ada organisasi penjualan yang fit for all, cocok untuk semua kondisi pasar dan lingkungan bisnis. Organisasi penjualan harus evolving dan terus beradaptasi dengan perubahan yang terjadi di pasar, sehingga setiap organisasi penjualan akan unik untuk setiap perusahaan.

Aktivitas configuring-performing-architecturing ini adalah proses yang dilakukan secara siklikal, tanpa putus, dan terus menerus sebagai bagian dari proses continuous learning dari sistem penjualan yang dibangun. Melalui proses siklikal terus menerus ini, tim penjualan kita akan dituntut terus belajar menyempurnakan diri,untuk terus meneru meningkatkan produktivitas penjualan. Itu sebabnya organisasi penjualan haruslah menjadi sebuah learning organization yang tangguh untuk mempertajam kemampuan penciptaan nilai (value creation) produk dan brand.

Kalau mekanisme ini berjalan, dapat digambarkan bahwa proses configuring-performing-architecturing akan menyerupai luncuran bola salju yang akan terus membesar seiring dengan perputaran bola salju yang semakin cepat. Bola salju yang dari waktu ke waktu semakin membesar menggambarkan semakin solidnya kemampuan tim penjualan dalam meningkatkan produktivitasnya. Juga menggambarkan semakin piawainya tim tersebut dalam menjalankan aktivitas penciptaan nilai (value creating activities).

Sales Platform
Sebuah organisasi penjualan tak hanya merupakan marketing-based organization, tapi lebih jauh dari itu juga merupakan market-based organization. Pertama, organisasi penjualan yang dibangun haruslah mempertimbangkan core element dari marketing yaitu positioning-differentiation-brand dari produk yang akan dijual dan channel yang digunakan. Kedua, organisasi penjualan harus berorientasi dan digerakkan oleh pasar. Dengan kata lain organisasi penjualan yang dibangun haruslah memperhatikan market, product, dan channel.


Market: Macro – Micro. Banyak organisasi penjualan yang menggunakan pendekatan yang lebih bersifat product-driven, dimana strategi penjualan lebih difokuskan ke produknya tanpa tahu apa maunya pasar dan bagaimana perilakunya. Padahal seharusnya pendekatan penjualan haruslah bersifat market-driven, dimana simpul dari keseluruhan strategi penjualan haruslah berawal dari apa yang terjadi di pasar. Ini berarti bahwa, pasar yang akan menentukan format organisasi penjualan, pasar yang akan menentukan proses penjualan yang dijalankan, pasar menentukan pengembangan kompetensi tenaga penjualan, pasar akan menentukan key performance measure yang akan digunakan. Pasar sendiri terbagi menjadi dua aspek, yaitu makro dan mikro.

Macro. Untuk merancang sebuah organisasi penjualan yang solid, pertama kali kita harus melakukan analisis terhadap lingkungan bisnis atau industri. Untuk melakukannya kita bisa menggunakan Analisis 4C (company, customer, competitor, dan change). Dalam hal ini kita harus melakukan analisis terhadap faktor-faktor perubahan (change) yang dapat memengaruhi bisnis seperti teknologi, sosial budaya, politik-hukum, ekonomi dan pasar. Seberapa besar tingkat persaingan, bagaimana organisasi penjualan dari pesaing (competitor), lalu bagaimana profil pelanggan (customer) secara umum dan seberapa besar dampak perubahan di ketiga faktor tersebut pada perusahaan (company). Untuk meningkatkan tingkat akurasi hasil analisa tersebut, sebenarnya kita juga perlu memerhatikan C yang ke-5 yaitu connector atau sesuatu yang menghubungkan keempat C tadi.

Micro. Setelah memahami lingkungan bisnis atau industri, maka selanjutnya lebih dalam lagi kita harus melihat perilaku pelanggan dengan menyusun segmentation-targeting. Analisis segmentation-targeting ini akan memungkinkan kita lebih tajam dalam melakukan analisis mengenai buying roles (decision maker, gate keeper, influencer) yang terlibat dalam pembelian pelanggan, juga lini usaha dan karakteristik bisnis pelanggan berikut kemampuan perusahaan dalam melayaninya. Berbagai informasi mengenai pasar dan pelanggan ini akan menjadi informasi sangat berharga untuk menentukan keseluruhan desain organisasi penjualan yang hendak dibangun.

Product: Positioning – Differentiation – Brand. Untuk mencapai sukses penjualan kita harus memiliki produk yag diposisikan secara tepat di benak pelanggan, produk itu harus memiliki keunikan dan diferensiasi yang kuat, terakhir produk tersebut juga harus memiliki ekuitas merek yang kuat dan dibangun secara sistematis.
Dengan PDB yang kokoh maka produk yang dijual akan memiliki ‘kekuatan tarik’ (pull power) ke pelanggan. Kalau ini dikombinasikan dengan ‘kekuatan tekan’ (push power) ke pelanggan dari si penjual maka hasilnya adalah ‘kekuatan tarik-tekan’ yang sangat powerful untuk memenangkan pelanggan.
Segitiga positioning-differentiation-brand yang kokoh akan menjamin kemampuan daya saing produk dan sustainability-nya. Bagaimana ini bisa terjadi? Inilah jawabannya. Pertama, produk, merek dan perusahaan kita haruslah diposisikan dengan jelas di benak pelanggan. Tujuannya tak lain agar produk kita memiliki identitas yang jelas di benak pelanggan.
Seperti yang sudah saya jelaskan beberapa waktu lalu, bahwa positioning pada hakikatnya merupakan sebuah janji perusahaan kepada pelanggannya. Agar janji yang terumus di dalam positioning tersebut memiliki kredibilitas dan dipersepsi positif oleh pelanggan, maka janji tersebut harus didukung oleh diferensiasi yang kuat. Positioning yang didukung oleh diferensiasi yang kokoh akan menghasilkan brand integrity yang kuat. Brand integrity yang kuat ini pada gilirannya akan menghasilkan brand image yang kuat. Dan pada akhirnya, brand image yang kuat akan memperkuat positioning yang telah ditentukan sebelumnya.
Bila proses ini berjalan mulus, ini akan menciptakan apa yang disebut dengan self-reinforcing mechanism atau proses penguatan secraa terus menerus diantara ketiga unsur PDB. Proses ini yang dikenal dengan nama virtuous circle. Namun jika yang terjadi ternyata adalah sebaliknya, yaitu jika positioning itu tidak mampu menghasilkan brand identity, diferensiasi tidak mampu menghasilkan brand integrity dan keduanya secara bersama-sama tidak mampu membentuk suatu brand image yang solid, maka yang terjadi juga akan sebaliknya, yaitu erosi secara terus menerus dari keunggulan kompetitif perusahaan. Proses inilah yang disebut dengan vicious circle.

Channel: Choice – Roles – Performance. Dalam merancang sebuah channel, setidaknya ada beberapa hal penting yang harus diperhatikan. Pertama, menyangkut pilihan dan jenis-jenis channel (choice) yang hendak digunakan. Kedua, menyangkut peran dan fungsi (roles) dari berbagai channel yang telah ditetapkan tersebut. Dan ketiga, menyangkut bagaimana memaksimalkan kinerja channel (performance) itu.

Choice. Ada tiga alternatif channel yang bisa diterapkan. Pertama adalah direct marketing channel yang secara umum mencakup internet, telemarketing, direct mail dan retail store. Channel jenis ini memiliki kelemahan mendasar karena pada umumnya memiliki kemampuan berinteraksi dan memberikan customer service yang terbatas (low touch) dan menghasilkan penjualan yang relatif rendah (low value-added of sale). Tapi di balik itu, channel jenis ini memiliki keunggulan karena biaya untuk menjalankannya relatif rendah dan kuantittas pelanggan yang bisa dilayani besar.
Channel jenis kedua adalah indirect channel (business partner) yang kemampuan interaksi (customer service) dan kemampuan menghasilkan penjualannya lebih tinggi dibanding channel yang pertama, namun biaya untuk menjalankannya juga lebih besar. Contohnya manufacture representative, distributor, agen, reseller, consultant, integrator, dan industry-specific partner.
Channel jenis ketiga adalah direct channel yaitu organisasi atau unit dalam perusahaan yang berisi tenaga penjualan (sales force) untuk menjual produk langsung ke pelanggan. Dibanding channel pertama dan kedua di atas, channel ini mempunya keunggulan berupa kemampuan interaksi (customer service) dan kemampuan menghasilkan penjualan yang lebih tinggi (high touch and high value-added of sale). Tapi di balik itu, memiliki kelemahan mendasar berupa biaya pengoperasian yang mahal dan daya jangkau pelanggan yang rendah.

Roles. Melihat keunggulan dan kelemahan dari setiap channel tersebut, kita bisa memilih kombinasi channel yang pas untuk mewujudkan tujuan penjualan yang ditetapkan. Aturan dasarnya adalah, untuk pelanggan yang menghasilkan pendapatan kecil seharusnya bisa kita layani dengan direct marketing dan indirect channel, sementara untuk pelanggan besar (key account) harus fokus dilayani dengan direct channel. Indirect marketing channel melalui telepon atau internet kini memang semakin kompetitif dibandingkan tenaga penjualan, namun harus diingat bahwa kita tidak bisa menggunakannya untuk produk-produk yang kompleks. Dari sisi jenis pekerjaan penjualan, channel jenis ini sangat efisien untuk menangani lead generation (proses mencari prospek), namun barangkali kurang efektif untuk menangani pekerjaan seperti negosiasi dan customer care and support.

Performance. Untuk mencapai kinerja channel maksimal, maka kita harus secara kontinyu mengukurnya dengan menggunakan tiga ukuran kunci yaitu jangkauan pelanggan yang dicapai (customer reach), efisiensi operasional (operating efficiency) dan kualitas layanan yang diberikan (service quality). Yang pertama menyangkut berapa banyak jumlah pelanggan (customer volume) yang bisa dilayani. Yang kedua, menyangkut beban biaya yang harus dikeluarkan untuk melayani pelanggan tertentu (cost to service). Sementara yang ketiga, menyangkut seberapa bagus kualitas layanan yang kita berikan dalam rangka mempertahankan pelanggan (retention). Masing-masing pilihan channel di atas memiliki kemampuan customer reach, operating efficiency dan service quality yang berbeda-beda. Direct marketing channel misalnya, memiliki customer reach yang sangat besar dan massal, dan karena itu operating efficiency-nya juga sangat besar, namun kemampuan dalam service quality rendah. Sebaliknya direct channel melalui sales force memang daya jangkaunya terbatas, biaya operasionalnya sangat tinggi, namun kemampuan dalam melayani pelanggan sangat powerful. Dengan karakter yang berbeda-beda ini, maka channel-mix yang dibangun haruslah mampu menghasilkan customer reach, operating efficiency, dan service quality terbaik.

Sales Design
Proses menentukan desain penjualan adalah seni, jadi tidak ada rumusan konsep benar dan salah. Para pemikir pemasaran hanya memberikan pedoman apa, mengapa dan bagaimana merancang struktur organisasi penjualan, sizing dan juga pembagian teritori penjualan sesuai dengan kondisi lingkungan bisnis. Desain penjualan dibentuk untuk menghasilkan efektivitas proses penjualan (prospecting, lead generation, presentation-negotiation-closing, service-maintenance), efisiensi investasi dan mendorong sinergi antar berbagai pihak yang terlibat dalam proses penjualan di berbagai bidang dan fungsi. Maka dari itu perusahaan harus mampu menentukan sinergi antara struktur organisasi penjualan (structure), jumlah tenaga penjualan (size), dan format wilayah pemasaran (territory).

Sturcture. Komponen desain penjualan yang seharusnya ditetapkan pertama kali oleh sales manager adalah struktur organisasi. Secara umum ada empat jenis struktur organisasi penjualan yakni berdasarkan geografis, produk, pasar dan aktivitas atau fungsional.

Dalam struktur organisasi berbasis geografis, penjual menjual seluruh produk kepada seluruh prospek di wilayah tertentu. Struktur ini cocok dipilih, jika perusahaan menginginkan efisiensi biaya dengan syarat kondisi pasarnya relatif homogen, tahapan pembeliannya sederhana dan produk yang ditawarkan sejenis.
Struktur organisasi penjualan berbasis pasar lebih cocok dipakai jika perusahaan ingin menyasar multi-segmen, dimana kebutuhan dan keinginan pelanggan di setiap segmen berbeda. Terakhir struktur berbasis aktivitas cocok dipakai perusahaan jika produk dan segmennya kompleks, dengan channel yang beragam. Hal ini karena setiap penjual bertanggung jawab melaksanakan satu tugas yang sesuai dengan kompetensinya.

Untuk mempermudah pemahaman, kapan struktur berbasis geografis, produk, pasar dan aktivitas atau fungsional yang paling tepat digunakan, Thomas Ingram dalam bukunya berjudul Sales Management, dengan baik meletakkan keempat struktur berdasarkan karakter produk dan kebutuhan pelanggan. Jika kebutuhan pelanggan beragam dan produk yang dibawa penjual termasuk kompleks maka struktur yang paling cocok ada dua, yakni berbasis produk atau pasar. Sedangkan sebaliknya jika kebutuhan pelanggan relatif sama dan produk yang dibawa penjual termasuk sederhana, maka paling tepat menggunakan struktur organisasi berbasis geografis. Singkatnya struktur organisasi penjualan yang paling baik adalah struktur penjualan yang mempunyai efisiensi, efektivitas dan adaptabilitas tertinggi.

Sizing. Ada tiga hal krusial yang harus diperhatikan ketika kita melakukan sizing yaitu jangkauan penjualan yang dicapai atau coverage, beban kerja dari tenaga penjualan (workload), dan investasi (investment) yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan penjualan yang telah ditetapkan.

Coverage. Jangkauan penjualan ditetapkan setelah terlebih dahulu dilakukan telaah terhadap karakteristik dan segmentasi pasar. Keputusan apakah suatu segmen dijangkau oleh tenaga penjualan akan bergantung pada berbagai faktor seperti potensi pasar dari segmen yang bersangkutan, responsivitas segmen terhadap penggunaan tenaga penjualan dan bahkan kemampuan keberadaan channel partner (distributor, agent, business partner, reseller) untuk melayani segmen tersebut.

Workload. Penetapan jangkauan penjualan menentukan beban kerja dari tenaga penjualan. Jangkauan pasar yang besar tentu saja berimplikasi pada beban kerja yang besar pula. Tapi di samping jangkauan, beban kerja tenaga penjualan juga ditentukan oleh beberapa faktor. Aktivitas tenaga penjualan juga akan menentukan beban kerja. Apakah keseluruhan atau sebagian saja dari aktivitas penjualan (interest creation-prepurchase-purchase-pot purchase) tersebut dijalankan oleh tenaga penjualan akan menentukan beban kerja dari tenaga penjualan sendiri. Begitu juga frekuensi dan lama kunjungan (call) di setiap account setiap bulan atau tahunnya akan menentukan beban kerja penjualan.

Investment. Setelah ukuran tenaga penjualan ditetapkan, maka langkah berikutnya tentu saja merekrutnya, melatihnya dengan selling skill yang sesuai, memberikan kompensasi dan insentif yang kompetitif serta mendukungnya dengan sistem dan aturan yang solid. Semua itu membutuhkan investasi dan investasi yang dikucurkan haruslah menghasilkan suatu return atau pengembalian yang sesuai secara finansial. Maka dari itu, perhitungan payback analysis menjadi sangat krusial. Yang paling gampang adalah dengan mengurangkan semua biaya ke dalam perkiraan penjualan yang diinginkan atau menggunakan rasio biaya tenaga penjualan dengan perkiraan penjualan. Yang lebih kompleks adalah menggunakan konsep internal rate of return (IRR) atau net present value (NPV).

Territory. Boundary – Alignment – Balance. Pembagian teritori merupakan masalah yang sangat sensitif dalam setiap organisasi penjualan, karena setiap tenaga penjualan ingin ditempatkan di wilayah yang potensi pasarnya paling bagus (potential market), aksesnya paling mudah (geographic), dan dalam jangka panjang populasi penduduk yang masuk dalam target market akan meningkat pesat (demographic).

Tentu saja perusahaan yang memiliki sistem ‘benar’ tidak akan mengabulkannya, tapi justru sebaliknya perusahaan akan membagi wilayah penjualan ke dalam wilayah yang lebih kecil dengan potensi pasar dan keadaan geografis serta demografis yang relatif seimbang. Tujuannya agar kinerja tiap salesman dapat diukur secara adil sehingga salesman yang terbaik akan mendapatkan reward yang terbaik, demikian juga sebaliknya.
Tingkat potensi pasar diukur secara kualitatif dengan melakukan analisis lanskap bisnis, dengan 4Cs Outlook dan secara kuantitatif dengan menggunaan riset pasar. Kemudian kemudahan akses ke pelanggan bisa diukur dengan analisis perjalanan (route analysis), dan juga perhitungan daya tarik demografis bisa dihitung dari prediksi perkembangan populasi dan arah perkembangan perkotaan di suatu wilayah tertentu. Yang perlu diingat adalah, territory management pada dasarnya merupakan proses pengalokasian sumber daya yang dimiliki perusahaan, sehingga ketepatan perhitungan dan juga analisis akan menentukan efektivitas kerja tim penjualan.

Boundary. Langkah pertama untuk menentukan teritori penjualan tentu saja adalah menentukan batas-batas atau boundary , ‘wilayah kekuasaan’ dari masing-masing tenaga penjualan atau channel participants. Secara geografis batas wilayah penjualan biasanya ditetapkan berdasarkan provinsi, trading area (beberapa kota berikut hinterland-nya), kota atau kabupaten, kecamatan, wilayah berdasarkan kode pos (ZIP code), atau unit wilayah yang lebih kecil lagi. Prinsipnya adalah semakin kecil unit wilayahnya, akan semakin bagus karena secara demografis akan cenderung homogen. Namun, di unit yang kecil umumnya memiliki kelemahan, yaitu sulit dan mahalnya mendapatkan data pelanggan.

Alignment. Setelah batas-batas penjualan dibagi, maka langkah selanjutnya adalah menetapkan ‘siapa berjualan dimana’.

Balance. Di samping melakukan penyelarasan antarwilayah, agar tidak terjadi konflik, organisasi penjualan juga harus mengatur keseimbangan beban kerja antar unit wilayah penjualan.

Sales Force Management
Desain organisasi sebaik apapun tidak akan menjamin lahirnya kinerja terbaik, jika tanpa didukung pengelolaan sumber daya manusia yang maksimal. Kita tahu desain penjualan adalah hard aspect-nya, sedangkan pengelolaan tim penjualan adaah soft aspect-nya. Oleh karena itu, sudah semestinya jika setelah menata desain penjualan, perusahaan harus menata juga ‘pasangannya’, yakni pengelolaan tim penjualan (sales force management).

Ada tiga aspek pengelolaan tim penjualan yang penting diperhatikan bagi para sales manager yaitu tenaga penjualan itu sendiri (people), proses penjualan (selling process) yang mencakup akuisisi, retensi dan pengembangan pelanggan, dan terakhir adalah upaya untuk meningkatkan produktivitas dari tenaga penjualan (productivity) melalui program perbaikan secara terus menerus.
Dalam mengelola tim penjualan, perusahaan seharusnya lebih mendasarkan pengembangan organisasi penjualan yang bersandar pada ‘sistem’ bukan melulu pada ‘orang’. Menurut Dianne Ledingham, Mark Kovac dan Heidi Locke Simon dalam makalah yang diterbitkan Harvard Business Review, operasi dari organisasi penjualan seharusnya berdasarkan sistem dan bukan pada bakat menjual. Organisasi penjualan seharusnya tidak hanya merektrut terus para penjual berbakat dengan konsep ‘tutup lubang gali lubang’, tapi membangun dan juga mengembangkan tim penjualan yang solid dengan membantu mereka agar bisa menjual lebih baik dan lebih banyak.

Dengan meletakkan sistem tersebut di dalam jantung organisasi penjualan, maka berarti organisasi tersebut tidak saja menggantungkan diri pada gut feeling dan native sales talent dari si penjual, namun juga pada data, analisis, proses dan struktur organisasi penjualan yang benar. Bukti empiris telah menunjukkan bahwa, perusahaan yang lebih system-focused semacam ini memiliki kinerja yang jauh lebih produktif dan baik dibandingkan dengan organisasi yang salesman-focused.

People: Knowledge – Skill – Attitude. Karena pentingnya orang di dalam organisasi penjualan, maka proses dan fungsi merekrut, mempertahankan hingga akhirnya mengembangkan kemampuan para tenaga penjualan menjadi hal yang sangat krusial. Kemampuan perusahaan untuk bisa menjalankannya merupakan salah satu key success factor yang terpenting dalam sebuah organisasi penjualan. Di samping itu sistem kompensasi dan penghargaan yang atraktif serta kompetitif merupakan faktor kunci lain yang menentukan kinerja.

Knowledge. Pemahaman mengenai lingkungan bisnis, perubahan pasar, perilaku pelanggan, diferensiasi produk, strategi dan taktik pemasaran, hingga teknik-teknik penjualan dari setiap tenaga penjualan merupakan prasyarat penting dan 'harga mati' bagi suksesnya penjualan. Di sinilah perlunya training berjenjang dan kurikulumnya diatur secara sistematis berkesinambungan agar mereka mempunyai pengetahuan yang memadai.

Skill. Berbeda dengan pengetahuan, keahlian (skill) tak bisa melulu dibangun melalui training. Keahlian tertempa melalui praktek (practicing) dan pengalaman secara langsung di pasar atau lapangan.

Attitude. Seorang tenaga penjualan tak cukup hanya memiliki pengetahuan dan keahlian di bidang penjualan. Di atas itu semua, mereka juga harus memiliki attitude dan culture yang baik. Pengetahuan dan keahlian yang mumpuni yang dimiliki oleh tenaga penjual tidak akan pernah ada artinya kalau tidak memiliki budaya enterpreneurship yang jeli melihat peluang dan piawai menjual ide. Sebaik apapun selling skill, namun bila tidak diikuti dengan budaya servis yang kokoh, hasilnya juga tidak akan optimal. Sebuah organisasi akan menjadi kokoh dan sustainable kalau memiliki sales culture kokoh yang menjadi panduan bagi setiap tenaga penjual dalam bekerja dan juga berhubungan dengan pelanggan. Karena alasan tersebut saya melihat, seorang manajer atau direktur penjualan seharusnya mampu secara baik memainkan perannya sebagai seorang change agent dan culture builder.

Process: Get – Keep – Grow. Sales force management merupakan sebuah proses yang mencakup nilai dari pencarian prospek pelanggan (prospecting) kemudian penciptaan leads, membuka hubungan, kualifikasi akan prospek, presentasi-negosiasi-closing, pengiriman produk sampai dengan memberikan servis dan me-maintain account. Ada tiga proses kunci yang harus dijalankan oleh setiap tenaga penjualan yaitu akuisisi atau mendapatkan pelanggan baru (get the customers), menjaga dan mempertahankan para pelanggan yang sudah ada (keep the customers), dan terakhir mengembangkan pelanggan tersebut agar mampu memberi kontribusi nilai yang semakin meningkat (grow the customers).

Proses get-keep-grow ini pada dasarnya adalah upaya-upaya yang dilakukan organisasi penjualan untuk mengubah dan mengonversi listed suspect menjadi qualified prospect, dari qualified prospect menjadi first time buyer, dari first time buyer menjadi repeat customer, dari repeat customer menjadi loyal client, dan akhirnya mengubah dari loyal client menjadi spiritual advocate.

Get. Tahap ini adalah segala upaya yang dilakukan untuk mendapatkan (acquisition) pelanggan, mulai dari suspecting, prospecting sampai mendapatkan pelanggan pertama (first time buyer). Aktivitas ini dimulai dari upaya untuk menciptakan awareness dan attraction, meyakinkan pelanggan melalui presentasi produk, negosiasi untuk memperoleh kata sepakat, hingga terwujudnya transaction. Dalam merancang proses untuk akuisisi pelanggan ini satu hal yang perlu diingat, yaitu bahwa kita harus menerapkan pull-strategy dengan menata positioning-differentiation-brand dari produk, di samping tentu saja push-strategy melalui kepiawaian dari tenaga penjualan. Jadi, tidak hanya salesman yang berjualan, tapi produknya pun ikutan ‘berjualan’.

Keep. Merupakan segala upaya untuk mempertahankan pelanggan setelah pelanggan tersebut sukses diakuisisi. Kalau dalam get kata kunci akuisis adalah terwujudnya transaksi, maka pada keep ini kata kuncinya terletak pada relationship. Relationship merupakan salah satu mata rantai terpenting dalam proses penjualan. Makanya ada yang berkata bahwa, selling is about relationship.

Grow. Cornerstone dari upaya relationship ini adalah upaya untuk mengembangkan dan menumbuhkan pelanggan. Dalam konteks ini, hubungan penjual-pembeli sudah tidak lagi ‘atas-bawah’ tapi sudah menjadi hubungan sejajar, hubungan partnership.

Scorecard: Criteria – Measurement – Improvement. Organisasi penjualan adalah mesin pencipta nilai (value creating machine) yang menghimpun para tenaga penjualan. Seperti umumnya mesin, ia harus mampu bekerja dengan kinerja terbaik dari waktu ke waktu. Maka dari itu, setiap organisasi penjualan harus terus menerus diukur kinerjanya dan dilakukan continuous improvement secara berkelanjutan. Inilah yang disebut dengan sales scorecard.

Untuk melakukannya, ada tiga aspek yang harus diperhatikan, yaitu criteria, measurement, dan improvement. Pertama, organisasi penjualan harus menetapkan ukuran-ukuran kinerja penjualan. Kedua, melakukan pengukuran berdasarkan ukuran-ukuran kinerja tersebut. Dan ketiga, melakukan perbaikan-perbaikan berdasarkan adanya gap antara apa yang ingin dicapai dari organisasi dengan kinerja riil yang telah dicapai.

Criteria. Untuk dapat diukur kinerjanya, pertama-tama sebuah organisasi penjualan tentu saja harus menetapkan tujuan-tujuan operasinya baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Setelah tujuan ditetapkan, maka selanjutnya organisasi tersebut harus merumuskan kriteria-kriteria dan juga ukuran-ukuran pencapaian tujuan (performance criteria/matric) itu. Kriteria atau ukuran kinerja ini dapat dibagi menjadi dua golongan. Pertama, market-based criteria, yang mengukur hasil akhir dari organisasi penjualan seperti sales, profitability, market share, customer satisfaction, customer retention, dan add-on selling dan sebagainya. Kedua, process-based criteria, yang mengukur proses internal yang menjadi driver bagi market-based criteria seperti customer calls, time spent per account, cross selling, training and coaching activities, dan sebagainya.

Measurement. Dengan menetapkan target kinerja untuk masing-masing kriteria, kita akan bisa mengukur kesenjangan kinerja (performance gap)-nya. Sukses tidaknya operasi dari organisasi penjualan ditentukan oleh performance gap ini.

Improvement. Dan akhirnya setelah mampu mengukur performance gap dari operasi, maka selanjutnya kita akan mampu mengidentifikasi area of improvement. Jika kita sudah mengetahui area of improvement, maka kita pasti bisa menyiapkan program-program perbaikan untuk meningkatkan kinerja organisasi penjualan.

Siklus criteria-measurement-improvement ini sangat kritikal bagi setiap organisasi penjualan, karena dengan demikian maka organisasi tersebut akan terus menerus belajar atau terjadi continuous learning dalam rangka mencapai puncak dari kinerjanya. Siklus ini juga menjadi sangat penting, karena organisasi tersebut akan terus menerus bertransformasi mengikuti dinamika perubahan lingkungan bisnis yang ada. Dengan terus menerus belajar dan bertransformasi, maka jelaslah bahwa organisasi penjualan yang dibangun juga akan mempunyai fleksibilitas dan adaptailitas dalam merespons perubahan. Inilah faktor kunci penentu kesuksesan sebuah perusahaan dalam jangka panjang.

Credit Union is A Marketing (Sales) Dream Team?
Teamwork is the fuel that allows common people to attain uncommon results ...’, demikian kata Andrew Carnegie.
Marketing Dream Team (MDT) merupakan impian setiap organisasi. Persis seperti yang dikatakan Andrew Carnegie, dengan MDT, potensi setiap pemasar atau penjual di dalam tim saling mengisi, berkolaborasi, dan bersinergi membentuk kekuatan mahadahsyat, bergulung-gulung layaknya luncuran bola salju yang mendongkrak kinerja dan produktivitas organisasi. Melalui MDT, perusahaan mampu mencapai pertumbuhan luar biasa, membangkitkan lagi merek yang sudah lapuk layaknya mumi, atau membuat produk dengan value luar biasa melenggang mulus di pasar.

Pertanyaannya, bagaimana seharusnya MDT diciptakan dan dibangun, terutama bagi credit union? Dimana posisi sales force triumvirate dalam hal ini? Ini dia jawabannya.

The Good. Credit union pada dasarnya juga merupakan MDT atau juga Sales Force Organization (SFO). Hanya saja untuk menjadi yang benar-benar baik, perlu memerhatikan poin-poin berikut.

Visi dan misi yang jelas. MDT atau SFO selalu ditandai adanya kesamaan visi, misi, nilai dan tujuan setiap pemasar atau penjual di dalam tim. Kesamaan ini menjadi semacam lem yang demikian kuat dan kokoh merekatkan setiap individu yang terlibat. Tak hanya itu, kesamaan ini juga menjadi kompas yang mengarahkan seluruh anggota tim (staf pengembangan produk, spesialis merek, staf promosi, periset konsumen, staf penjualan di lapangan, spesialis channel, agensi iklan atau public relations dan sebagainya) untuk berbaris dalam satu formasi guna mencapai tujuan tim. Karena peran strategis ini, saya melihat kesamaan visi, misi, nilai dan tujuan merupakan elemen paling fundamental bagi kesuksesan MDT atau SFO.

Kepemimpinan yang kuat. Kredibilitas, determinasi dan kapabilitas eksekusi si pemimpin merupakan faktor krusial lai dari keberhasilan MDT-SFO. Si pemimpin timlah yang mengalokasikan sumber daya tim agar mencapai strategic focus, melakukan fungsi pemberdayaan pada seluruh anggota tim, menciptakan energi dan nyali di tengah beragam onak duri yang dihadapi tim, serta mengelola perubahan dan dinamika di dalam tim agar tujuan tim terwujud secara sempurna.

Bekerja ala Start-up. MDT-SFO haruslah memiliki empat hal yang menjadi nyawanya, yaitu kreativitas, sikap inovatif, fleksibilitas dan adaptabilitas. Untuk itulah, secara pola pikir, sebuah tim harus memosisikan diri sebagai start-up. Sebagai start-up, ia harus memiliki imajinasi liar, punya penciuman tajam terhadap dinamika pasar, berani mengambil risiko, berani lepas dari belenggu birokrasi, dan tak gampang hanyut oleh kesuksesan (legacy) masa lampau. Tom Kelley, pendiri IDEO, konsultan desain produk terkemuka dunia, menyebut proses ini sebagai menciptakan greenhouse, tempat tumbuh suburnya kreativitas dan inovasi.

The Bad. Jika semua proses tidak berjalan dengan mulus, maka yang terjadi adalah kemerosotan value yang kita tawarkan dari MDT-SFO yang kita miliki.

Kelelahan tim. Ini terjadi jika MDT-SFO menjadi mandul, tak bisa berbuat apa-apa. Energi anggota tim terkuras habis, energi tim melempem, semua orang kurang termotivasi, dan akhirnya performa tim jeblok. Mengapa ini bisa terjadi? Dalam banyak kasus, proses lingkaran setan ini terjadi karena tak kunjung datangnya kesuksesan awal. Kesuksesan awal merupakan sesuatu yang krusial bagi tim. Karena, dengan kesuksesan awal ini, energi, kepercayaan dan mental keberhasilan setiap anggota tim bisa dibangun. Kesuksesan awal inilah yang menjadi modal berharga bagi tim untuk menggulirkan langkah-langkah selanjutnya dan menuai kesuksesan-kesuksesan kecil berikutnya, sebelum kesuksesan paripurna mampu diraih.

The Ugly. Ini bagian terparah dari proses pengembangan MDT-SFO. Dan jika ini terjadi, maka perusahaan (credit union) harus secepatnya melakukan rejuvenation atau bahkan ‘meninggalkan’ pasar dan industri yang digelutinya.

Sindrom Apollo. Sindrom ini terjadi jika the sum of parts is less than the whole, 1 + 1 bukannya 3 tapi justru 1,5. Dengan kata lain, MDT-SFO tersebut kehilangan daya sinerginya. Bagaimana ini terjadi? Pertama, jika anggota tim sibuk berdebat dengan membawa aspirasi dan kepentingan masing-masing sehingga tidak kunjung mengerucut menjadi keputusan yang solid. Kedua, jika tim tersebut mengalami pelapukan: aktivitas menjadi rutin, birokrasi dan prosedur begitu ketat mencengkram, dan semua anggota tim mulai kehilangan passion-nya. Ketiga, ketika aktivitas tim didominasi perencanaan, tapi sangat lemah dalam eksekusi. Dengan kata lain, tim tersebut overpromise, tapi underdeliver. Ini yang menjadikan anggota tim frustasi.

Apa yang saya paparkan ini merupakan model sederhana dalam membangun the credit union marketing and sales dream team. It’s simplify the complex things for credit union ...

0 komentar: