Everyones Are (Must Be) Customers!

Posted: Rabu, 08 Januari 2014 by R. Anang Tinosaputra in Label:
0

Suatu kali saya pernah bercerita tentang core elements of SME. Bukan small medium enterprise. Melainkan, sustainable marketing enterprise sebagai the real marketing company! Di situ everyones are marketers! Tidak peduli apa pun fungsinya. Semua seolah-olah sudah punya invisible contract dengan pelanggan.

Terus terang, saya terinspirasi perusahaan Jepang di masa jayanya. Semua perusahaan besar di Jepang waktu itu selalu memilih dengan hati-hati calon karyawan masing-masing. Mereka biasanya merekrut fresh graduate pada saat yang sama.

Semua perusahaan besar ingin merekrut lulusan universitas besar sebagai pegawai. Karena itu, lulusan SMA di Jepang sangat stres. Mereka harus bersaing untuk mendapatkan tempat di University of Tokyo, University of Kyoto, atau yang sekelasnya. Begitu mereka diterima, seolah ada jaminan untuk diterima di perusahaan besar, seperti Matsushita, Sony, Toyota, atau Sogo-Shosha dan sekelasnya.

Tapi, begitu lulus sekolah, mereka masih harus bersaing lagi untuk dapat seat di perusahaan besar itu.

Bagi anak-anak muda Jepang waktu itu, perusahaan pertama tempat mereka bekerja sangat penting. Sebab, perusahaan tersebut juga akan jadi perusahaan terakhir mereka! Semacam Alpha-Omega Company! Hehehe…

Kenapa begitu? Sebab, waktu itu orang yang pindah perusahaan berarti bad guy. Orang yang berani melakukan itu akan susah mencari pekerjaan di perusahaan besar lain karena pasti dicurigai atau masuk black list! Ups…

Sebaliknya, perusahaan besar tersebut juga punya kewajiban tidak tertulis untuk memelihara karyawannya. Judulnya lifetime employment, yang merupakan jalur untuk jadi karyawan seumur hidup! Perusahaan yang waktu itu tidak menjalankan manajemen SDM seperti itu akan ‘tidak laku’ juga. Bahkan, kala itu beberapa perusahaan besar, salah satunya Toyota, sampai menyediakan kuburan untuk karyawan masing-masing. Karena itu, nggak usah ditanya sebesar apa loyalitas para karyawan.

Saya benar-benar terinspirasi dengan hal ini. Bukankah karyawan sebenarnya adalah internal customer? Jadi, kalau perusahaan memperlakukan mereka dengan baik, kepuasan mereka akan naik.

Bagi saya, manajemen SDM dan marketing punya persamaan. Ada semacam mirroring effect antara karyawan sebagai internal customer dan external customer!

Nah, karena itu, pendiri Matsushita selalu mengatakan kepada karyawan barunya bahwa mereka sebenarnya punya kontrak otomatis dengan pelanggan. Itu selalu dia katakan di acara penerimaan karyawan baru, biasanya pada musim bunga sakura sekitar akhir Maret atau awal April tiap tahun.

Biasanya, orang tua karyawan baru juga diundang sebagai simbolisasi bahwa hari itu merupakan hari penyerahan anak tersebut dari keluarga kepada perusahaan. Yups… persis seperti pelantikan prajurit taruna di Akmil atau penerimaan calon romo di seminari tinggi. Mulai saat itu, perusahaan malah jadi rumah pertama, tempat para karyawan tinggal dan hidup bersama keluarga pertamanya. Karena itu, para karyawan Jepang, makin tinggi posisinya, makin malu kalau pulang ke rumah sore.

Tenggo atau teng dan go adalah suatu perilaku yang kurang elok. Para istri pun waktu itu mengerti, bahkan sangat mengerti, akan kewajiban sang suami untuk melayani pelanggan. Seolah ada kontrak tidak tertulis atau unwriten contract. Karena itu, banyak istri yang mengusir suami agar pergi lagi kalau balik ke rumah terlalu sore. Pulang tengah malam atau pukul satu pagi dengan banyak bekas lipstik di leher bisa diterima dan membanggakan bagi para istri. Berarti suaminya ‘orang penting’ di perusahaan. Belum jadi bos pun, paling tidak sang suami diajak bos untuk makan malam, karaoke, dan minum-minum.

Karena itu, semua karyawan Jepang ya merasa orang marketing. Sebab, semua merasa bahwa ultimate customer mereka, nggak peduli apa posisinya, ya pelanggan di luar perusahaan tersebut. Tapi, setiap karyawan yang tidak punya pelanggan langsung melayani next process sebagai internal customer.

Dengan demikian, the the whole value chain lantas jadi sangat QCD-oriented!
Quality, cost, and delivery tersebut dimaksimalkan dengan sendirinya.

Nah, ketika itu saya membayangkan perusahaan semacam itu sebagai sebuah SME yang sesungguhnya! Sehingga saya pun lantas menerapkannya ketika bekerja di credit union dulu. Sayangnya, saya justru dijadikan ‘the big enemy no.1’ di credit union, karena dianggap belagu, dan sebagainya. Saya menyerah? Tentu tidak, saya tetap dengan cara saya. Itu bahkan menjadi lifestyle saya dalam bekerja dimanapun hingga kini. Mungkin saya adalah bad guy, tapi saya membuktikan bahwa pasca resign dari credit union karier dan jabatan saya justru semakin baik. Bahkan dipercaya di beberapa perusahaan yang kelasnya lebih besar dibanding credit union. Ups…

Dan hebatnya, saya tetap membawa nilai-nilai culture yang saya jalankan di credit union. Saya pun selalu bangga mengatakan bahwa saya mempelajari semua itu saat saya bekerja di credit union.

Nah, pertanyaannya kemudian adalah, apakah sekarang masih valid?
Sekarang, dengan persaingan makin ketat, perusahaan Jepang sudah give up dengan model lifetime employment. Apalagi, dengan situasi horizontal yang tidak menentu seperti sekarang, perusahaan seperti itu lantas tidak bisa fleksibel. Cost mempertahankan karyawan seumur hidup jadi mahal.

Karyawan Jepang pun sudah tidak malu-malu untuk pindah perusahaan, bahkan kadang-kadang kepada pesaing. Model loyalty management, baik di karyawan dan pelanggan, memang sudah berubah total! Dari vertikal menjadi horizontal. Dari legacy jadi new wave!

Perusahaan yang ingin mempertahankan pelanggan dan karyawan harus menunjukkan inovasi terus-menerus. Kalau nggak, ya akan ditinggal! Yang tetap tinggal biasanya hanya karyawan atau pelanggan kelas dua dan tiga. Sedangkan the best employee dan the best customer pergi kepada pesaing!

Nah, kalau sudah begitu, mirroring effect-nya tetap. Artinya, perusahaan harus menjamin ada inovasi terus sehingga mereka akan tahan. Jadi, kontrak tak tertulisnya tetap ada! Nggak peduli fungsinya apa, seorang karyawan harus melakukan inovasi kepada pelanggan. Kalau nggak? Dia akan left out oleh rekan-rekan sekerja! Itulah cara memuaskan para pelanggan sekarang. Kalau perusahaan Anda mau jadi SME, basic challenge-nya sama. Memuaskan pelanggan!
Caranya saja yang beda!

Sekarang harus terus memacu karyawan untuk terus berinovasi. Dengan begitu, mereka merasa aman. Sebab, mereka merasa perusahaannya akan sustainable dan tidak bangkrut! Tugas siapa? Wah, semua!

Karena itu, walaupun zaman berubah, konsep SME yang pernah saya jelaskan di setiap training di setiap credit union, tetap kuat! Sebab, prinsip dasarnya justru harus selalu dinamis!

Hanya, saat ini model perusahaannya tidak boleh perusahaan Jepang yang tradisional itu. Tidak peduli Jepang, Eropa, atau Amerika, Indonesia, bahkan credit union sekalipun bisa jadi model.

Lihat saja bagaimana Samsung bisa begitu inovatif. Semua karyawannya juga marketer! Di Indonesia, Astra adalah contoh yang baik! Di situ setiap orang sudah tahu untuk melayani customer. Itu tercantum di catur darma Astra yang mengikat seluruh karyawan.Buat saya, Samsung dan Astra adalah SME atau sustainable marketing enterprise.

Berbagai krisis boleh saja datang, tapi mereka selalu bisa bertransformasi lebih cepat daripada pesaing mereka! Kenapa? Sebab, semua orang merasa dirinya adalah pemasar. Dan siapapun yang mereka temui adalah pelanggan.

Bagaimana pendapat Anda?

Think Big Start Small…

0 komentar: