Corporate Culture = Diferensiasi Di Tingkat Organisasi
Posted: Rabu, 08 Januari 2014 by R. Anang Tinosaputra in Label: The Meaning of Credit Union, The Meaning of Management
0
Apa yang membedakan sebuah credit union dari credit union dan perusahaan
lain? Tentu saja jawabannya misi dan visinya. Kalau mau ekstrem, apa bedanya
antara organisasi mafia dan red cross? Wow jauh sekali, kan?
Misi yang satu nggak peduli ‘kemanusiaan’, sedangkan yang lain sangat peduli. Visinya juga pasti berbeda. Yang satu, mungkin ingin ‘menguasai’ kota tertentu, sedangkan yang satunya lagi bagaimana ‘memanusiakan’ kota tertentu.
Tapi, selain misi dan visi, ada satu lagi yang biasanya gampang ‘dikenali’ orang luar. Misi dan visi suatu organisasi atau perusahaan biasanya hanya diketahui ‘orang dalam’, itu pun belum tentu. Tapi, kalau values atau nilai-nilai suatu organisasi sering ‘terbedakan’ dari corporate culture-nya.
Misi yang satu nggak peduli ‘kemanusiaan’, sedangkan yang lain sangat peduli. Visinya juga pasti berbeda. Yang satu, mungkin ingin ‘menguasai’ kota tertentu, sedangkan yang satunya lagi bagaimana ‘memanusiakan’ kota tertentu.
Tapi, selain misi dan visi, ada satu lagi yang biasanya gampang ‘dikenali’ orang luar. Misi dan visi suatu organisasi atau perusahaan biasanya hanya diketahui ‘orang dalam’, itu pun belum tentu. Tapi, kalau values atau nilai-nilai suatu organisasi sering ‘terbedakan’ dari corporate culture-nya.
Di dalam konsep SME in Credit Union, saya ‘memasang’ culture sebagai komponen kedua dari enterprise sesudah inspiration. Kenapa? Karena sebuah inspirasi yang terdiri atas misi dan visi harus dijalankan dengan ‘prinsip-prinsip’ tertentu. Bisa saja, dua organisasi atau credit union punya misi dan visi sama, tapi punya values berbeda.
Saya mendefinisikan culture sama dengan shared values plus common behaviour. Shared values adalah nilai-nilai yang ada ‘di dalam’ pikiran sebagian besar karyawan. Sedangkan common behaviour adalah perilaku mereka yang ‘keluar’ dan kelihatan.
Sebuah credit union atau perusahaan yang karyawannya malas-malasan, sering membolos, atau telat masuk kantor, itu adalah ‘tanda-tanda’ yang ‘tertangkap’ dari nilai-nilai yang ada di credit union atau perusahaannya. Sedangkan sebuah credit union yang sebagian besar karyawannya gesit, kreatif, dan bekerja keras adalah sangat beda.
Values tidak hanya bisa ditulis, digantung, dan diseminarkan. Tapi, hal itu harus sekaligus tercermin dalam sikap dan perilaku mereka yang mencerminkannya. Supaya tercermin, key performance indicator atau KPI karyawan harus diselaraskan juga.
Pemerintah Singapura dulu ‘mendidik’ masyarakatnya yang jorok supaya punya budaya bersih dengan cara penalty. Lima ratus dolar satu kali ketahuan buang sampah sembarangan! Nggak perlu pakai seminar-seminaran tentang pentingnya kebersihan. Ketika masyarakat takut akan hukumannya, menjaga kebersihan jadi common behaviour.
Itu terasa sekali kan bagi turis yang ke sana. Akhirnya jadi values atau nilai-nilai untuk orang Singapura. Kalau nggak bersih nggak enak!
Sama saja di kantor yang ‘memaksa’ orang datang ontime dengan memasang mesin pencatat waktu. Pertama, takut pada ‘hukuman’-nya, lama-lama jadi nilai-nilai yang dipatuhi. Jadi, kalau values yang mau di-share-kan hanya ditulis, didikusikan, dan diseminarkan, nggak ada gunanya.
Selain harus masuk KPI, para pemimpin harus memberikan contoh. Leader is a model! Semua orang akan melihat sikap dan perilakunya. Cocok atau tidak dengan budaya perusahaan atau corporate culture yang ditulis, bahkan dijadikan suatu nyanyian.
Kalau sang pemimpin konsekuen, anak buah akan ‘malu’ kalau tidak mengikuti. Tapi, kalau ada ‘konflik’ antara sikap dan perilaku pemimpin dan corporate culture, budaya perusahaan yang dikehendaki ya nggak akan pernah jadi.
Di credit union sendiri saya selalu menuliskan dan menjelaskan bahwa passion for service sebagai salah satu values. Konsekuensinya, saya sendiri mesti memberikan contoh konkret. Selama saya bekerja di credit union, saya tidak segan-segan menyambut dan mengantar tamu di pintu kantor credit union. Saya pun tidak segan-segan menuangkan air, teh, atau kopi, langsung di cangkir tamu. Termasuk, membukakan pintu mobil untuk tamu! Saya lakukan itu sejak awal saya masuk credit union, sejak belum jadi siapa-siapa sampai menjadi seseorang di credit union. Bahkan oleh guru service saya, Tony Sardjono, saya disebut sebagai satu-satunya excellent people on service di credit union.
Karena itu juga, saya sampai pernah mengundang seorang trainer dari hotel untuk memberikan pelatihan tentang hal itu. Saya ingin service menjadi ‘calling’ atau panggilan bagi semua karyawan credit union, apapun posisi dan jabatannya. Sayangnya, sampai sekarang itu belum terwujud. Tapi saya tetap tidak akan berhenti untuk mengajarkan itu, saya yakin suatu saat akan menjadi culture di credit union.
Saya cukup lama ‘belajar’ tentang service ini dari Tony Sardjono di Ritz-Carlton, Bali. Benchmarking juga merupakan cara supaya ‘ketularan’ culture perusahaan lain. Bagi saya, culture ini seperti yin dan yang! Harus balance antara shared values dan common behaviour. Tidak boleh either -or, tapi harus and.
Artinya? Sebuah perusahaan atau organisasi haruslah menulis, termasuk ‘membukukan’ nilai-nilai yang mau dipakai membedakannya dari yang lain. Tapi, juga harus ada upaya menyelaraskannya dengan perilaku insan-insannya. Persoalannya, apakah culture perlu atau bisa berubah? Jawabannya, ‘perlu dan harus bisa berubah’.
Ketika GE berubah dari perusahaan Amerika menjadi perusahaan global, otomatis culture-nya berubah drastis. Orang-orang GE sekarang bisa direkrut dari mana pun supaya punya global culture yang inklusif! Dulu makin eksklusif makin bagus. Sekarang malah harus embrace diversity.
Kalau tidak ada perubahan culture, perubahan misi dan visi tidak akan bisa berjalan dengan baik! Lantas apa hubungannya dengan marketing di credit union?
Jelas sangat berhubungan dengan PDB
(positioning-brand-differentiation)
credit union. Karena PDB Credit Union Lantang Tipo dan Credit Union Obor Mas jauh
berbeda, culture karyawannya ya mesti berbeda. Walaupun sama-sama credit
union dan sama-sama memberikan service kepada anggota. Ini ibarat Hard
Rock Hotel dan Hyatt Hotel. Yang satu lebih "akrab" gaya buddy-buddy.
Yang satu lagi harus dilakukan dengan "sopan santun" dan respek. Itu
semua tidak bisa hanya dari SOP, tapi harus masuk ke nilai-nilai yang dipegang.
Budaya credit union adalah memang diferensiator di level organisasi.
Bagaimana pendapat Anda?
Think Big Start Small…