Definisi 'Orang Besar' Menurut Sebastianus Hayong

Posted: Rabu, 08 Januari 2014 by R. Anang Tinosaputra in Label:
0

Pengalaman saya berorganisasi sejak remaja sangat membantu dalam mengelola hidup saya, terutama pada saat awal menjadi konsultan. Papa saya yang karyawan biasa sebuah perusahaan otobis selalu menjadi contoh bagaimana dia suka beraktivitas sosial. Begitu pula, almarhum Bapak Mertua saya, yang pegawai negeri perantauan dari Larantuka Flores. Kami merupakan keluarga sederhana.

Masa kecil saya, saya habiskan di kota kecil, yang dalam sejarah gereja Katolik Indonesia dikenal sebagai Bethlehem van Java, ya Muntilan. Saya baru mulai merantau saat saya kuliah S-1 di Universitas Udayana, Bali.

Sejak kecil, saya selalu didoktrin oleh Papa saya bahwa saya adalah orang Tionghoa, tapi warga negara Indonesia, bukan warga negara Tiongkok. Juga sudah biasa mendengar suara azan karena ada langgar di kampung saya. Saya biasa aktif ikut kerja bakti dan jaga malam di kampung, karena Papa saya aktif di situ.


Almarhum Bapak Mertua saya jauh lebih gila lagi dalam hal bersosialisasi. Mulai dari organisasi keagamaan sampai organisasi sosial politik, almarhum bapak selalu terlibat. Tidak main-main, terlibat pun selalu dalam posisi yang strategis. Bahkan hingga akhir hayatnya. Almarhum bapak mertua saya pernah mengatakan suatu kalimat yang tidak pernah saya lupakan sampai sekarang.

‘Orang besar itu bukan diukur berapa duitnya di kala hidup, tapi dilihat dari berapa orang yang mau mengikuti mobil jenazahnya, walaupun dia gak punya duit!’

Karena itu, sejak SMA saya selalu mencoba menonjol dalam berbagai prestasi sekolah, khususnya dalam hal organisasi. Saya selalu berseloroh, saya tidak mau sekadar jadi sekretaris atau bendahara, saya hanya mau menjabat jadi ketua. Dan itu pula yang saya bawa ketika saya kuliah, hingga bekerja dan berwirausaha sendiri.

Jujur, saya benar-benar merasa berutang pada Papa dan almarhum bapak mertua saya, yang menginspirasi saya untuk berorganisasi. Pada hari penguburannya setahun yang lalu, ketika almarhum Bapak mertua saya meninggal pada usia 55 tahun, saya benar-benar menangis. Bahkan tangisan saya paling keras dibanding yang lain. Saya seolah-olah tidak percaya bapak mertua saya meninggal, pada waktu.

Waktu itu saya masih menjadi GM Marketing dan HRD PT Suzuki Indomobil Jawa Tengah. Namun saya merasa malu pada almarhum Bapak karena merasa belum menjadi menantu yang terbaik untuknya. Padahal, almarhum bapak mertua saya sangat bangga, setiap menceritakan kepada teman-temannya, baik soal jabatan dan pekerjaan saya maupun soal aktivitas saya sebagai konsultan di beberapa credit union.

Kedua, saya merasa belum bisa ‘membalas budi’ apa-apa kepada almarhum bapak mertua saya yang sudah mendidik saya supaya bisa jadi manusia yang baik. Saya sangat menyesal sampai sekarang, karena waktu itu saya tidak punya cukup uang untuk memberikan pengobatan terbaik untuk sakit yang dideritanya.

Ketiga, adalah hal yang membuat saya sangat terharu hingga menangis, tapi menangis bangga. Siang itu saya melihat orang yang mengiringi peti jenazahnya yang dibawa pelan-pelan, sangat panjang! Dari depan rumah sederhana almarhum Bapak di Tangeb, Badung, sampai ke pemakamam! Semua orang yang mengiringi peti jenazah bapak mertua saya mengenang aktivitas sosialnya! Mulai dari teman-teman sesama pegawai negeri, sahabat-sahabat sekaligus murid-muridnya di sekolah maupun di credit union (organisasi yang paling bapak cintai), teman-teman pengusaha, bahkan mereka yang berseberangan dengan bapak selama hidup, hingga pejabat pemerintahan mulai dari tingkat banjar, hingga bupati dan anggota DPRD pun turut mengantar jenazah bapak menuju peristirahatan terakhir.

Saya jadi ingat definisi ‘orang besar’ menurut bapak mertua saya almarhum, Sebastianus Hayong atau lebih akrab disapa Pak Hayong semasa hidupnya, yang sangat nasionalis, pluralis, dan aktif di organisasi sosial kemasyarakatan.

14 Januari 2014 ini tepat setahun almarhum bapak mertua meninggalkan kami sekeluarga. Namun saya pribadi tetap mengenangnya. Impiannya untuk mendirikan sekolah credit union bagi karyawan-karyawan credit union, tetap menjadi impian besar yang akan saya wujudkan.

We love you, Pak…

0 komentar: