Branding Kopi, Resolusi Bisnis Saya di 2014!
Posted: Minggu, 05 Januari 2014 by R. Anang Tinosaputra in Label: The Meaning of Marketing
0
Hari Jumat sore, di
akhir tahun 2013 lalu saya mendapat berkah ilmu dari pak Priyantono Rudito
dalam sebuah acara sesi sharing sebuah komunitas. Beliau adalah direktur SDM PT
Telkom, meski master dan doktornya (dari Universitas RMIT Australia) adalah
marketing dan kini ia mengajar di sekolah bisnis ITB pun untuk mata kuliah
marketing.
Saya sudah lama jadi follower beliau. Nah, dari banyak ngobrol selama ini, belakangan saya tahu ia ternyata
seorang pakar kopi juga. Tidak main-main, ia adalah pemegang sertifikasi barista
(peracik kopi) internasional. Karena alasan itulah kemudian muncul ide
saya mengajak beliau (suatu saat) untuk berbagi ilmu mengenai bagaimana mem-branding kopi lokal Indonesia.
Nilai Tambah
“Kopi adalah salah
satu produk paling kompleks untuk bisa menjadi yang terbaik dihidangkan di
meja,” ujar Pak Pri, Ya, karena kopi memiliki banyak ragam dan rasa. Untuk menjadikannya
the best coffee, diperlukan
tahapan-tahapan kompleks untuk mengolah dan meraciknya dari biji kopi hingga
terhidang di meja cafe atau ruang tamu kita.
Pak Pri bercerita,
setidaknya ada 7 langkah yang harus dijalankan dengan sangat teliti dan disiplin
untuk menghasilkan secangkir kopi terbaik. Di mulai dari memetik biji kopi di
kebun, mengeringkan dan menyimpan, memanggang (roasting), menggiling (grinding),
mengekstrasi (extracting) untuk
mengasilkan espresso, menguapkan susu (frothing)
untuk membuat latte atau cappuccino, hingga menuangkan ke cangkir
(latte art).
“Kopi itu manja,
sedikit saja kita salah memperlakukannya, maka rasa dan aromanya akan berbeda,”
ujarnya. Menyimpan biji kopi misalnya, tidak bisa sembarang suhu. Atau,
menggiling kopi, tak bisa asal giling. Begitu pula menguapkan susu atau
frothing harus dilakukan dalam rentang waktu yang presisi. Semua itu ada
tekniknya. Nah, kepiawaian dalam
mengolah dan meracik kopi inilah yang menjadikan secangkir kopi bisa cuma
dihargai Rp 4.000, ada yang Rp40.000, atau bahkan ada yang Rp 400.000 per
cangkir.
Kopi Branded
Mengetahui betapa
proses pembuatan secangkir kopi demikian “canggih”, saya kemudian sadar bahwa keinginan
saya untuk menjadi pengusaha kopi dan juga pengusaha kopi kita (khususnya UKM)
haruslah menguasai ilmu ini. Indonesia dikenal memiliki modal kekayaan biji
kopi yang luar biasa mulai dari kopi Lampung, Ungaran, Toraja, Medan, Manggarai
hingga kopi Gayo Aceh. Sedihnya, biji-biji kopi hebat itu hanya diolah dengan
cara tradisional. Walhasil, di warung paling banter laku lima ribu perak. Kalau
biji-biji kopi berkualitas dunia itu diolah dan diracik dengan teknik-teknik
modern, maka ia akan menghasilkan kopi branded yang bisa mendunia dengan
harga puluhan bahkan ratusan ribu per cangkir.
Pak Pri membandingkan,
“Di negara-negara Skandinavia, mereka tidak punya pohon kopi seperti kita. Tapi
mereka menguasai teknik meracik kopi untuk menghasilkan espresso, latte, atau
cappucinno paling enak di dunia. Akibatnya, mereka bisa mendapatkan marjin
sangat tinggi. “Kita sebaliknya, memiliki biji kopi hebat, tapi tidak punya knowledge untuk mengolah dan
meraciknya. Akibatnya kita puas hanya menjual kopi tubruk 3-5 ribu perak
secangkirnya.
Diversity, Locality, Equality
Ada satu kalimat Pak
Pri yang membuat saya kepikiran terus sepanjang Desember 2013 lalu. “Coffee is the most trade commodity after oil,”
ujarnya. Di seluruh dunia kopi itu laris-manis dan meningkat terus konsumsinya.
Potensi pasar dari secangkir kopi itu luar biasa besar dan tak ada matinya,
apalagi kalau sudah di-blended dengan gaya hidup (lifestyle) seperti yang dilakukan Starbucks.
Karena itu saya
berpikir, seharusnya kopi bisa menjadi senjata ampuh ekonomi kita dalam
bersaing di pasar global (ingat, Asean Economic Community di depan mata).
Syaratnya satu, bukan sekedar jualan komoditas biji kopi, tapi jualan “kopi
branded” yang sudah mengalami teknik pengolahan/peracikan modern, yang
kemudian di-blended dengan unsur lifestyle
si konsumennya.
Saya jadi kepikiran
dengan resolusi sekaligus impian saya di 2014 ini, yaitu membangun warung kopi
branded. Upaya mengembangkan warung kopi branded merupakan pilihan pengembangan
brand nasional yang tepat karena
beberapa alasan. Pertama, seperti saya uraikan di depan, kita memiliki modal
luar biasa berupa diversitas (diversity)
biji kopi yang banyak dengan kualitas unggul kelas dunia. Kedua, bisnis ini
bisa dilakukan oleh UKM kreatif dalam jumlah yang sangat besar dengan kekuatan
ciri lokalnya (locality). Ketiga, bisnis
ini juga padat karya, sehingga berpotensi memeratakan kemakmuran (equality).
Dengan begitu, saya
lebih setuju ekonomi kita ditopang ribuan UKM yang mampu menghasilkan ribuan
warung kopi branded yang padat karya, ketimbang satu industri mobil, kapal, atau
pesawat yang padat modal/teknologi. Saya lebih setuju ekonomi kita menciptakan
ribuan brand “warung kopi branded nasional” yang memeratakan kemakmuran,
ketimbang satu brand “mobil nasional”, “kapal nasional”, atau “pesawat terbang
nasional”, yang bisa memicu kesenjangan kemakmuran.
So,
jangan kaget jika dalam satu dua tahun ini, teman-teman mendengar warung kopi
lokal sekelas Starubucks. Bisa jadi, itu adalah warung kopi saya!