Social Proof Inspiration
Posted: Minggu, 01 Desember 2013 by R. Anang Tinosaputra in Label: The Meaning of Marketing
0
Dulu,
saat saya liburan bareng istri dan anak-anak ke luar kota, ada kiat jitu yang
kami pakai untuk memilih tempat makan yang tidak kami ketahui apakah sajiannya
enak atau tidak. Biasanya kami muter-muter, kami telusuri satu-persatu warung
atau restauran yang ada di kota itu, lalu kami cari mana dari warung atau restoran
itu yang dikerumuni pengunjung. Kiat jitu itu adalah, memilih warung atau
restoran mana yang paling ramai. Makin ramai, makin kami pilih.
Dari
pengalaman kami, memang kiat itu terbukti jitu. Dari kasus-kasus yang kami
alami, memang terbukti sebagian besar memang sajiannya enak. Tapi,
pertanyaannya, apakah warung yang dikunjungi banyak orang itu pasti enak? Tentu
tidak!
Fast
Thinking
Itulah fenomena yang di kalangan pakar psikososial disebut sebagai social proof. Intinya, kita akan merasa bersikap dan berperilaku benar jika kita bertindak sama dengan kebanyakan orang lain. Itu artinya, semakin banyak tindakan atau ide diikuti orang, maka semakin baik dan benar tindakan atau ide tersebut. Apakah pernyataan terakhir ini benar? Absolutely not!
Itulah bias dan kerancuan yang melekat dalam pikiran kita. Itulah kekeliruan yang secara konsisten kita lakukan sehingga penilaian (judgement), pilihan (choice), atau keputusan (decision) yang kita ambil menjadi melenceng dari koridor rasionalitas dan obyektivitas.
Itulah fenomena yang di kalangan pakar psikososial disebut sebagai social proof. Intinya, kita akan merasa bersikap dan berperilaku benar jika kita bertindak sama dengan kebanyakan orang lain. Itu artinya, semakin banyak tindakan atau ide diikuti orang, maka semakin baik dan benar tindakan atau ide tersebut. Apakah pernyataan terakhir ini benar? Absolutely not!
Itulah bias dan kerancuan yang melekat dalam pikiran kita. Itulah kekeliruan yang secara konsisten kita lakukan sehingga penilaian (judgement), pilihan (choice), atau keputusan (decision) yang kita ambil menjadi melenceng dari koridor rasionalitas dan obyektivitas.
Saya
punya contoh lain. Suatu saat Anda jalan ke kantor, asik sambil bersiul-siul.
Lalu Anda mendapati ada sepuluh orang berdiri di pinggir jalan. Kesepuluh orang
itu semuanya menengadahkan muka dan melihat ke langit. Melihat hal tersebut,
apa yang akan Anda lakukan. Spontan Anda pasti ikutan-ikutan melihat ke langit,
tanpa mikir terlebih dahulu kenapa ke sepuluh orang itu melihat ke langit.
Contoh
lain lagi. Pada saat terjadi krisis tahun 1998 kita menyaksikan orang-orang panik
menarik dananya dari ATM. Bagaimana awalnya rush
itu terjadi? Awalnya ada segelintir orang menarik dananya dari mesin ATM. Lalu
aksi segelintir orang itu diikuti beberapa orang lain. Kemudian makin banyak
lagi orang yang ikutan menarik dana. Dan sampai akhirnya seluruh penduduk kota
ikutan-ikutan panik menarik dananya.
Inilah
yang disebut Daniel Kahneman,
pemenang nobel ekonomi dalam buku legendarisnya Thinking,
Fast and Slow, sebagai “pikiran cepat” (fast
thinking) sedang menguasai “pikiran lambat” (slow
thinking). Ketika kita melihat ke langit mengikuti sepuluh
orang di pinggir jalan; atau kita memilih restoran yang paling ramai
dikunjungi; atau saat kita panik menarik dana dari ATM; maka sesungguhnya pada
saat itu slow thinking kita yang
rasional seperti ‘ditawan’
oleh fast thinking kita yang
emosional, gegabah, dan hantam kromo.
Taktik
Pemasaran
Karena saya menyukai dan menekuni dunia pemasaran, maka saya mencoba mengaitkan kerancuan pikiran manusia itu ke dalam konteks pemasaran, yaitu aspek perilaku konsumen. Dengan kejelian memanfaatkan kelemahan melekat yang ada pada pikiran manusia tersebut, sesungguhnya marketer bisa memanfaatkannya untuk menjalankan taktik pemasaran jitu.
Karena saya menyukai dan menekuni dunia pemasaran, maka saya mencoba mengaitkan kerancuan pikiran manusia itu ke dalam konteks pemasaran, yaitu aspek perilaku konsumen. Dengan kejelian memanfaatkan kelemahan melekat yang ada pada pikiran manusia tersebut, sesungguhnya marketer bisa memanfaatkannya untuk menjalankan taktik pemasaran jitu.
Sejak
lama para produser acara TV serial komedi rupanya sudah piawai menggunakan trik
ini. Untuk apa? Untuk memicu penonton tertawa. Caranya gimana? Coba lihat
serial TV Friends atau Mr.
Bean di YouTube.
Dalam adegan-adegan tertentu yang menurut sang sutradara lucu, ia menyelipkan
suara orang-orang tertawa. Tujuannya tak lain agar Anda para penonton juga
ikutan tertawa.
Kalau
Anda adalah pembicara seminar yang sedang mencari popularitas, ikutilah kiat
jitu ini. Anda tempatkan dua atau tiga orang Anda di kerumunan peserta. Lalu
atur agar dua-tiga orang itu berurutan bertepuk tangan setiap kali Anda
memaparkan hal-hal yang menarik. Maka dua tiga tepukan itu akan memicu seluruh
peserta untuk juga ikutan bertepuk tangan, tanpa berpikir kenapa mereka
bertepuk tangan. Hahaha…
Dalam
dunia penerbitan stempel “best
seller” adalah nyawa pemasaran sebuah buku. Ya, karena saat
kita berkunjung ke toko buku, seringkali pertimbangan utama kita adalah membeli
buku-buku dengan stempel best seller.
Artinya, ketika kebanyakan orang lain telah membaca buku itu, maka itu lebih
dari cukup untuk menjadi pembenaran bagi kita untuk membelinya.
Apakah
buku-buku best seller itu memang
bagus? Dalam kasus buku-buku terbitan Indonesia, seringkali saya temui justru
buku-buku best seller itu lemah dalam
hal kualitas isi.
Mizone cerdik menggunakan social proof untuk membesut kampanye viral dengan menggunakan
medium flash
mob di
Bunderan HI beberapa waktu lalu. Caranya, sengaja Mizone menempatkan beberapa
orang untuk menari flash mob di
tengah kerumunan orang saat car-free day.
Mizone juga menempatkan beberapa orang berikutnya untuk menirukan flash mob. Maka tanpa diminta
orang-orang yang tumplek-blek di Bunderan HI pun serta-merta ikut-ikutan menari
flash mob.
Sukses 7-Eleven menjadi tempat nongkrong
anak-anak muda di Jakarta dan sekitarnya, juga tak lepas dari kejeliannya
memanfaatkan bias dan kerancuan pikiran kita. Sengaja Sevel menyediakan
meja-kursi (plus colokan listrik dan wifi) di depan gerainya agar para anak
muda dan mahasiswa betah kongko-kongko
di situ. Sevel juga menyediakan halamannya untuk parkir kendaraan, khususnya
sepeda motor agar muat banyak. Dengan “modal” kerumunan anak-anak nongkrong dan
kerumunan sepeda motor di halaman, Sevel membiarkan efek social proof bekerja. Hasilnya, dari waktu ke waktu Sevel tak
pernah sepi. Orang berduyun-duyun latah nongkrong di Sevel.
So, pelajaran apa yang bisa
Anda peroleh dari fenomena perilaku konsumen yang menarik ini? Kalau Anda
adalah marketer cerdik, maka Anda harus piawai memanfaatkan efek social proof yang saya uraikan di atas
untuk menyukseskan brand Anda.
Let’s
try!!!