'Kami Tidak Mau Jadi Manekin!'
Posted: Minggu, 01 Desember 2013 by R. Anang Tinosaputra in Label: The Meaning of Life
0
Manekin
umumnya ada di mal atau department store. Tapi kini mulai banyak saya temui di
rumah-rumah di seluruh penjuru tanah air. Coba saja lihat tipikal suasana
keluarga kelas menengah Jakarta dan kota besa lainnya, di Sabtu pagi yang
cerah. Di ruang keluarga, di situ tercermin kedekatan sebuah keluarga muda yang
begitu indah. Di ruangan itu ada si bapak, si ibu, dan si anak yang usianya
belum genap sepuluh tahun. Mereka sama-sama di depan TV ruang keluarga, duduk
di satu sofa yang sama, wajahnya berseri-seri penuh kebahagiaan. Melihat
kedekatan mereka terlintas potret sebuah keluarga yang ideal.
Tapi
tunggu dulu. Di balik kedekatan tersebut sesungguhnya ada satu hal yang tidak
beres. Coba kita lihat apa yang mereka masing-masing lakukan. Si bapak duduk di
sofa sibuk dengan laptopnya mengutak-atik presentasi Powerpoint yang hari
Seninnya harus dipresentasikan ke bos di kantor. Di samping mengerjakan
presentasinya, tentu saja ia tetap multifungsi, dengan begitu lincah membagi
perhatianya pada akun Twitter, Youtube, dan layar televisi yang ada persis di
depannya
Ibu
ngapain? Duduk di sofa bersebelahan dengan sang ayah, si ibu sedang semedi
dengan Galaxi Tab di tangan. Setali tiga uang dengan si ayah, si ibu pun begitu
piawai memainkan layar sentuh tablet-nya dari Twitter ke Facebook ke Instagram
ke Gmail ke Twitter lagi ke blog ke Play Store berburu apps ke Facebook balik
lagi ke Instagram dan seterusnya. Jangan lupa, di tangan kiri si ibu muda nan
trendi dan techy ini juga terpegang
Blackberry yang terus meraung-raung. Obrolan teman-teman BB group pagi itu
demikian seru sehingga sayang dilewatkan. Tak heran jika di tengah-tengah
kekhusukan bersemedi, sesekali si ibu senyum-senyum sendiri, kadang geli.
Nah, sekarang si anak lagi ngapain? Tentu saja si anak nonton TV. Sesekali ia
pencet-pencet tombol remote untuk memindah-mindah channel dari Cartoon Network ke Disney Channel ke Nickelodeon.
Rupanya menonton TV adalah aktivitas sambilan si anak. Aktivitas utamanya
adalah fokus pada layar smartphone Android yang tak pernah lepas dari tanganya.
Eh jangan salah, anak-anak sekarang di usia dini pegangan-nya sudah gadget nan canggih. Beragam aplikasi
games satu persatu ia jajal. Saking serunya itu games, sesekali si anak
berteriak keras, mengumpat “sialan!!!” saat kalah bermain, atau
menggoyang-goyang tubuhnya yang tambun.
Disconnection
So, di balik potret kedekatan keluarga yang kasat mata terlihat menyejukkan hati itu sesungguhnya terjadi sebuah tragedi keluarga yang dahsyat. Sebuat saja itu sebagai “tragedi keluarga terbesar abad ini”. Tragedi apa gerangan? Bahwa hubungan kita dengan istri kita, suami kita, dan anak kita sedang dalam masalah besar. Coba saja lihat, walaupun secara fisik si bapak, si ibu, dan si anak berada di sofa yang sama, namun selama tiga jam kebersamaan mereka di pagi yang cerah itu, praktis mereka tak saling bicara. Mereka telah menjadi ‘manekin’ yang dingin tak banyak bicara.
So, di balik potret kedekatan keluarga yang kasat mata terlihat menyejukkan hati itu sesungguhnya terjadi sebuah tragedi keluarga yang dahsyat. Sebuat saja itu sebagai “tragedi keluarga terbesar abad ini”. Tragedi apa gerangan? Bahwa hubungan kita dengan istri kita, suami kita, dan anak kita sedang dalam masalah besar. Coba saja lihat, walaupun secara fisik si bapak, si ibu, dan si anak berada di sofa yang sama, namun selama tiga jam kebersamaan mereka di pagi yang cerah itu, praktis mereka tak saling bicara. Mereka telah menjadi ‘manekin’ yang dingin tak banyak bicara.
Mereka
menjadi manekin minim-kata karena perhatian mereka terhisap oleh gadget mereka. Dunia di dalam gadget demikian indah dan memabukkan
sehingga mengalahkan perhatian pada suami, istri, dan anak. Sesekali memang
mereka saling bicara, namun mata dan hati mereka tak pernah bisa lepas dari
layar sentuh gadget.
Perhatian
kepada suami, istri, dan anak kemudian menjadi ‘prioritas kedua, ketiga, atau keempat’,
terkalahkan oleh prioritas pertama menyeburkan diri dalam dunia indah di dalam gadget mereka. Tak mengherankan jika
kini muncul tren suami bicara ke istri, bapak bicara ke anak, atau anak bicara
ke ibu dilakukan secara ‘sambil
lalu’. Mereka bicara tanpa ‘mata ketemu mata’. Mereka ngobrol ‘tanpa hati ketemu hati’.
Seringkali mereka bicara ungkur-ungkuran
alias saling membelakangi tanpa kehadiran hati dan perhatian. Ujung-ujungnya,
komunikasi mereka menjadi emotionally-disconnected.
Itulah
dunia. Selalu pekat diwarnai oleh paradoks. Ketika kita begitu massif
terkoneksi satu sama lain oleh Twitter, Facebook, atau Instagram, pada saat
yang bersamaan kita juga mengalami diskoneksi (disconnection). Yang membuat saya
prihatin adalah, korban paling mengenaskan dari dunia yang kian terkoneksi (hyperconnected world)
saat ini justru adalah keluarga.
Ketika
bapak, ibu, dan anak masing-masing terkoneksi dengan lingkungannya sendiri,
maka pada saat yang bersamaan antar mereka justru saling terdiskoneksi.
Serta-merta ada jurang menganga dalam komunikasi antar mereka. ‘Connected world (also) means
disconnected family’. Kalau sudah begitu, komunikasi authentic yang melibatkan hati, emosi,
dan cinta di antara anggota keluarga menjadi kian mahal.
Awalnya
hal ini tak biasa, tapi lama-lama menjadi biasa. Awalnya hal ini pinggiran,
tapi kemudian menjadi mainstream. Terus
terang satu hal yang sangat saya takutkan adalah: kalau sampai komunikasi tanpa
kehadiran hati, emosi, dan cinta ini menjadi mainstream dalam
keluarga kita.
Orang
Tua Kedua
Penelitian di Amerika menunjukkan gambaran yang suram mengenai diskoneksi di dalam keluarga ini. Jumlah keluarga yang mengaku kian kurang waktunya untuk keluarga oleh adanya kesibukan berinternet-ria, naik lebih tiga kali lipat dari 11% pada tahun 2006 menjadi 28% pada tahun 2011. Waktu yang mereka alokasikan untuk keluarga juga berkurang drastis dari 26 jam sebulan menjadi hanya 18 jam oleh karena kesibukan berinternet. Celakanya lagi, anggota keluarga yang merasa “terabaikan” oleh bapak atau ibu yang sibuk berasyik-masyuk dengan gadget-nya naik tajam 40%.
Penelitian di Amerika menunjukkan gambaran yang suram mengenai diskoneksi di dalam keluarga ini. Jumlah keluarga yang mengaku kian kurang waktunya untuk keluarga oleh adanya kesibukan berinternet-ria, naik lebih tiga kali lipat dari 11% pada tahun 2006 menjadi 28% pada tahun 2011. Waktu yang mereka alokasikan untuk keluarga juga berkurang drastis dari 26 jam sebulan menjadi hanya 18 jam oleh karena kesibukan berinternet. Celakanya lagi, anggota keluarga yang merasa “terabaikan” oleh bapak atau ibu yang sibuk berasyik-masyuk dengan gadget-nya naik tajam 40%.
Walaupun
di Indonesia belum ada risetnya, saya berkeyakinan bahwa gambaran yang kurang
lebih sama terjadi di negeri ini terutama di kota-kota besar. Lalu apa jadinya
kalau bapak-ibu lebih sibuk dengan gadget-nya
ketimbang anak-anaknya seperti tergambar di awal tulisan ini? Catherine
Steiner-Adair seorang
psikolog, mengatakan bahwa gadget
kita tak hanya piawai ‘menghisap’
kita, ia juga menjalankan peran co-parenting alias ‘orang tua kedua’ bagi anak-anak kita.
Melalui
dunia indah yang ada di dalamnya, smartphone atau tablet memberi anak-anak kita
pengetahuan yang demikian kaya; memberi hiburan di kala mereka sedih;
membesarkan hati saat mereka galau dengan menghubungkannya ke teman-teman Facebook
mereka; bahkan melalui ‘pergaulan maya’ yang ada di dalam smartphone dan tablet
bisa membentuk nilai-nilai dan perilaku anak kita nantinya.
Kalau
demikian adanya, lalu apa bedanya gadget
dengan orang tua? Smartphone dan tablet bisa menjadi orang tua kedua bagi
anak-anak kita dan begitu sigap menggantikan saat kita raib dan tak cukup
memberikan perhatian kepada mereka.
Itu
gambaran keluarga yang sering saya jumpai sebelum saya bertolak dan pindah di
kota dingin di belahan timur Indonesia, bernama Ruteng. Di sini, fenomenanya
sangat berbeda dibanding di Jakarta dan kota besar lainnya, meski sudah
mengarah ke arah yang sama. Ah, semoga kita semua masih bisa ‘memerangi’-nya.
Mari bapak-bapak
dan ibu-ibu, bersama-sama saya bersumpah:
‘Kami tak mau menjadi manekin!’
Catatan. Manekin dari bahasa Inggris: ‘mannequin’, patung
peraga biasanya untuk busana.