Wisuda, Hari Kemenangan atau Kekalahan?
Posted: Minggu, 10 November 2013 by R. Anang Tinosaputra in Label: The Meaning of Life
0
Sabtu, 9 November 2013, beberapa ruas jalan
utama kota Ruteng, Manggarai dipenuhi oleh para wisudawan. Mereka yang baru ‘ditahbiskan’
dari kawah candradimuka pendidikan, yang mungkin tidak sekadar menguras energi dan
biaya, namun juga emosi dari sebuah kampus lokal bernama STKIP St. Paulus,
larut dalam keceriaan dan suka cita, seolah-olah baru saja terlepas dari suatu
beban berat. Yups… rata-rata dari mereka adalah wisudawan sekaligus calon-calon
ujung tombak pendidikan bangsa ini. Semoga…
Saya menjadi tertarik dengan istilah
wisudawan, bukan hal lainnya. Seringkali saat bulan ramadhan tiba, para pemuka
agama menganalogikan orang yang selesai berpuasa sebagai wisudawan. Menurutnya, berpuasa itu ibarat mengikuti ujian
dari Tuhan. Ujian ini diselenggarakan secara amat ketat dan berlangsung dengan
sangat fair karena Tuhan sendirilah yang menjadi jurinya. Setelah lulus,
tentu saja Anda masih harus membuktikan kualitas ‘kesarjanaan’ Anda selama
setahun ke depan. Hal ini juga yang melanda sebagian besar mahasiswa, dimana
pun dan dari kampus apapun.
Tepatkah analogi
tersebut? Sepintas lalu, kita mungkin tidak akan menemukan masalah apapun.
Namun kalau kita renungkan kembali lebih dalam, analogi tersebut jelas
bermasalah, bahkan berpotensi mereduksi makna dan hakikat puasa sebenarnya.
Apakah saya
sedang mengada-ada atau membesar-besarkan masalah? Tentu saja, Anda dapat
menilainya sendiri. Yang jelas bagi saya, penggunaan analogi itu sangat
penting. Analogi adalah cara kreatif untuk menggali sesuatu yang ada di bawah kesadaran
kita. Analogi yang kita gunakan menggambarkan paradigma terdalam diri kita.
Analogi
wisudawan, menurut saya, mengandung beberapa masalah yang serius. Pertama, kata ‘wisudawan’ meciptakan
sebuah mental ‘perjuangan sudah selesai’. Bukankah menjadi wisudawan adalah
akhir dari perjuangan yang panjang dan melelahkan? Bukankah sangat wajar bila
kita bergembira untuk menikmati hasil perjuangan kita? Bukankah Idul Fitri,
Paskah, bahkan berbagai pesta syukur yang digelar di beberapa tempat di
sekitaran Ruteng pasca wisuda, itu dideklarasikan sebagai ‘Hari Kemenangan’?
Padahal, di sinilah letak jebakannya. Jangan salah, begitu puasa berakhir, begitu
kuliah berakhir, bahkan begitu pesta selesai digelar, maka perjuangan
sebetulnya belum selesai. Perjuangan tersebut justru baru dimulai (lagi)!
Sekarang kita
lihat kenyataan di lapangan. Bukankah banyak bukti yang menunjukkan bahwa Idul
Fitri, Paskah, pesta syukur dengan tema besar bernama wisuda, sebenarnya telah
menjadi ajang kekalahan? Betapa tidak, di hari itu kita melampiaskan hawa nafsu
dengan makan dan minum sebanyak-banyaknya, musik sekeras-kerasnya, dan bahkan
kadang dilampiaskan dengan aktivitas ‘ekstrim’ lainnya. Kita seperti sedang
membalas dendam. Kita juga mulai kehilangan kendali terhadap diri kita. Sewaktu
berpuasa dan kuliah, kita memang berhati-hati menjaga tindak-tanduk kita.
Namun, bukankah sekarang semuanya sudah selesai?
Cobalah
perhatikan kehidupan kita sehari-hari. Bukankah perilaku kita selama berpuasa atau
kuliah berbeda dari setelah kita di-‘wisuda’? Dengarkan jargon-jargon yang
sering kita katakan tanpa sadar. ‘Jangan bohong, kamu kan sekarang sedang puasa…’,
‘Jangan marah, jangan bergosip, jangan memfitnah. Kamu kan sedang puasa…’. Atau
jargon-jargon, ‘Jangan, malas. Kita sudah KKN, dan tinggal sesaat lagi skripsi
selesai…’, ‘Jangan menyerah meski harus mengulang satu mata kuliah, demi gelar
sarjana…’. Kalau demikian, apa yang akan kita lakukan pasca pesta ‘wisuda’
selesai digelar? Perilaku seperti ini tidak ada bedanya dengan perilaku para
artis yang selama puasa mengganti busananya dengan busana yang sopan dan
elegan, namun kemudian berbuka-buka ria kembali setelah Lebaran.
Penyebab fenomena
ini adalah akibat dari analogi yang salah terhadap bulan puasa, terhadap
pendidikan, bahkan termasuk pendidikan orang dewasa. Seperti halnya para tokoh
agama tadi, banyak orang menganalogikan puasa sebagai ujian. Termasuk para
dosen hingga guru besar, yang menjadikan wisuda sebagai motivasi akhir di atas
segala-galanya bagi mahasiswanya. Bagaimana perilaku kita menghadapi ujian?
Tentu saja, kita akan sangat berhati-hati. Kita akan melakukan apapun agar kita
lulus. Namun setelah lulus, bukankah sangat wajar kalau kita mengendurkan
kendali kita? Paradigma yang salah ini perlu diubah.
Bulan puasa adalah bulan latihan, bukan ujian.
Masa kuliah adalah masa latihan, bukan ujian.Bahkan masa ujian semester, ujian skripsi sekalipun adalah masa latihan, bukan masa ujian yang sesungguhnya.
Adapun ujiannya
sendiri akan kita hadapi pasca ‘wisuda’. Ibarat pementasan, puasa hanyalah
latihan, gladi bersih di belakang panggung. Bukankah ukuran sebuah pertunjukan
adalah apa yang ditampilkan di atas panggung? Lagi pula, dengan mengatakan
puasa atau kuliah sebagai ujian, hal ini seolah-olah mengungkapkan perasaan
tersembunyi dalam diri kita bahwa puasa atau kuliah itu berat, sulit dan
menantang. Padahal bagi mereka yang menghayati kehadiran Tuhan, mengerti esensi
dari proses belajar dan menemukan nilai hidup, puasa dan kuliah adalah sesuatu
yang nikmat, sesuatu yang indah, sesuatu yang dirindukan, sesuatu yang
dinikmati detik per detiknya.
Kedua, menjadi
wisudawan adalah status yang bersifat permanen dan tidak akan mungkin berubah.
Kalau Anda sudah lulus fakultas ekonomi atau fakultas hukum, Anda adalah
sarjana ekonomi atau sarjana hukum selamanya. Tak ada orang yang bisa
membatalkan ijazah Anda, kecuali kalau Anda memang menggunakan ijazah palsu. Hehehe…
Di sinilah letak
‘kesalahkaprahan’ itu. Menjadi wisudawan adalah status yang tidak dapat
berubah, sementara Idul Fitri dan Paskah menggambarkan kondisi mental Anda pada
saat itu saja. Dan kondisi mental ini akan berubah setiap saat. Anda bisa saja
berada dalam kondisi fitri di suatu saat, tapi sekejap Anda akan berubah ke
dalam kondisi lain yang justru bertolak belakang. Bukankah kemenangan hanyalah
kondisi sementara? Bukankah perjuangan untuk memperoleh kemenangan terjadi
setiap saat dalam hidup kita?
Yang menarik,
dimana-mana, kemenangan senantiasa melenakan kita. Bukankah tidak ada yang
lebih memabukkan ketimbang kemenangan?
Valentino Rossi
pernah berujar…
‘Setelah meraih
satu kemenangan, perkencang tali helmmu’.
Bahkan, Napoleon
Bonaparte pernah mengingatkan kita, ‘Bahaya terbesar justru terjadi pada momen (pesta)
kemenangan…’. Don’t enjoy your winner
plentiful!