Arti Hidup Seratus Ribu Rupiah...

Posted: Selasa, 12 November 2013 by R. Anang Tinosaputra in Label:
0

Selamat Pagi, sahabat!

Kisah ini terjadi sekitar 8 tahun yang lalu. Saya teringat kembali dan ingin membagikan dengan teman-teman, karena beberapa hari yang lalu, sahabat yang saya sebut dalam kisah ini, menghubungi saya...

Begini kisahnya...

Entah siapa yang memberitahu dia tentang alamat saya, ia tiba-tiba sudah berdiri di hadapan saya. Saya tidak menduga karena sepertinya mustahil, teman saya SMP dulu, bisa menemukan saya di Bali. Seorang sahabat lama yang sudah hampir sepuluh tahun tidak pernah bertemu, perawakannya tidak ada yang berubah mulai dari cara bersisirnya hingga cara berpakaiannya. Bahkan jika saya tidak salah ingat, pakaian yang dikenakannya saat itu adalah pakaian sehari-hari yang saya lihat sepuluh tahun yang lalu. ia bersepatu, tetapi saya tak sanggup menatap lama-lama sepatunya itu, hanya karena khawatir ia tersinggung jika saya menatapnya lama. Sebuah tas gemblok lusuh menempel di punggungnya, selusuh celana panjang yang warna hitamnya sudah memudar.

Namanya Cipto, ia langsung membuka tangannya berharap saya memeluknya sehangat dulu setiap kali kami bertemu. Tentu saja saya menyambut haru tangan terbukanya itu, kami pun berpelukan hangat dan cukup lama. Aroma matahari cukup menyengat dari tubuhnya tak membuat saya ingin melepaskannya, semerbak kerinduan diantara kami telah mengalahkan segalanya. Cipto, lelaki seusia saya itu bergetar hebat meski hanya beberapa menit kami berpelukan, saya merasa ada tetesan air di pundak saya. “Sudah jadi orang hebat sahabatku ini rupanya…” bibirnya bergetar.

Setelah berbicara sedikit tentang perjalanan masa lalu, saya agak iseng menanyakan keluarganya. Cipto langsung tertegun, membuat saya merasa bersalah melepaskan pertanyaan itu. Bibirnya seperti hendak bergerak mengatakan sesuatu, tetapi yang terdengar hanya gumaman yang tak jelas. “Maaf jika aku menyinggung perasaanmu…” kalimat saya dipotong cepat, “Ooh tidak, tidak apa-apa…” Dengan logat Jawa yang juga masih sangat kental.

Beberapa detik kemudian saya mampu membaca pikirannya, “Apa yang bisa saya bantu Cip?” Wajahnya sumringah mendadak, senyum yang sudah lama tak pernah saya lihat, yang saya lihat terakhir kali sepuluh tahun lalu itu. Sambil menepuk pundak saya ia pun berseloroh, “Orang sukses seperti kamu pasti bisa membantuku untuk keluar dari persoalan kehidupan ini…”

Saya mendengarkan kisahnya, tentang usaha reparasi komputernya yang bangkrut sehingga ia menjalani hari-hari tanpa penghasilan sepanjang hampir tiga tahun. Tentang hidupnya yang terus nomaden karena tak sanggup membayar biaya kontrakan. Kontrakan terakhir yang ia tempati saat ini pun sudah menunggak tiga bulan dan diberi ultimatum satu bulan lagi untuk segera melunasinya. Belum lagi soal biaya masuk sekolah untuk anaknya yang sama sekali tak ia sanggupi.

Dalam benak saya, “Mungkin ia akan meminjam atau meminta bantuan sejumlah uang yang cukup besar.” Kadang saya berlaku sok pahlawan, ingin membantu seseorang walaupun kondisi sering tidak memungkinkan untuk membantu maksimal. Namun rupanya dugaan saya salah, Cipto hanya meminta sedikit dari yang saya kira, itupun meminjam. “Saya mau pinjam uang seratus ribu, bolehkah?” tanyanya hati-hati, mungkin ia khawatir saya tak bisa meminjaminya.

Saya tersenyum, seratus ribu tentu saja bukan lagi pinjaman. Dalam kebiasaan saya, yang namanya pinjaman itu nilainya bisa sampai jutaan. “Begini Cip, kalau seratus ribu saya tidak mau meminjamkannya, tapi saya akan memberikannya kepadamu… ikhl…” saya batalkan menyebut kata ini. Bahkan saya memberi lebih dari yang dimintanya, meski kemudian Cipto bilang bahwa yang saya berikan itu statusnya tetap pinjaman. Saya bilang, “Itu pemberian.” dia bilang, “Ini pinjaman.” Saya menyudahi perdebatan soal status uang itu dengan menyerah pada kegigihannya untuk tetap “meminjam”, bukan “meminta”.

Delapan tahun berlalu, saya tak mendengar lagi kabar darinya. Entah apa yang bisa dilakukannya dengan uang yang tak seberapa itu. Hingga beberapa hari lalu, saya mendapat pesan singkat dari seseorang, “Saya ingin kembalikan uang tiga ratus ribu yang saya pinjam dulu.” Saya bingung siapa yang mengirim pesan singkat tersebut karena namanya tidak tertera di BB saya. Setelah saya tanya siapa yang mengirimnya, terkirim lagi satu pesan singkat, “Ini Cipto, maaf tidak bisa balas sms lagi soalnya pakai hape teman.”

Saya putuskan untuk menelepon langsung nomor tersebut dan berbicara dengannya. Saya sudah katakan bahwa uang itu bukan pinjaman, tetapi hadiah persahabatan. Yups, kami memang sahabat karib semasa SMP di Magelang dulu. 

Namun ia tetap bersikeras ingin mengembalikannya. Ceritanya, hari itu juga setelah mendapat uang dari saya ia langsung membeli beberapa dus air mineral untuk dijual satuan. Habis beberapa dus, ia membeli lagi, dijual lagi dan begitu seterusnya. Sehingga satu bulan kemudian ia punya sedikit uang untuk dijadikan modal berdagang ala kadarnya, apalagi kini ia dan istrinya bisa membuka usaha warung di sekitaran kota Jember. Tidak hanya itu, ia pun terselamatkan dari usiran pemilik kontrakan karena mulai bisa menyicil biaya kontrakan yang tertunggak, dengan kelebihan uang yang saya berikan. “Puji Tuhan, saya masih punya sahabat yang memerhatikan…” ujarnya dari seberang telepon.

Ingin sekali saya bertemu lagi dengan sahabat saya itu, kali ini saya akan memeluknya lebih lama dan lebih erat meski saya tahu aroma mataharinya lebih menyengat dari yang saya reguk sekitar delapan tahun lalu. Hati ini jelas berbunga-bunga, ada haru yang terus menyelimuti dinding-dinding jiwa ini selepas pembicaraan di telepon itu. Masih terngiang di telinga saya, ketika ia hanya ingin meminjam seratus ribu rupiah, jauh dari dugaan saya sebelumnya. Namun, seratus ribu yang ingin ia pinjam itu adalah sebuah nilai kehidupan bagi seorang Cipto dan keluarganya.

Seratus ribu rupiah, seringkali bagi sebagian kita hanyalah senilai makan siang di rumah makan, saat istirahat kerja. Tetapi bagi orang seperti Cipto, itu adalah kehidupan panjang bagi ia, isteri dan dua anaknya. Seratus ribu bagi sebagian kita tidak cukup untuk uang jajan sehari anak-anak kita, namun bagi Cipto berarti senyum panjang isteri dan anak-anaknya. Seratus ribu rupiah yang bagi sebagian kita sering dianggap recehan, namun bagi seorang Cipto adalah nilai kehidupan yang sangat berarti.

Sahabat, tahukah arti seratus ribu rupiah miliki Anda?

0 komentar: