Iklan Adalah (Hasil) Perbuatan

Posted: Minggu, 03 November 2013 by R. Anang Tinosaputra in Label:
0

Akhir-akhir ini, kenyamanan hati saya mulai terusik oleh iklan gerakan cuci tangan, dengan latar belakang tingkat kesehatan hidup masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT) yang 'dikatakan' rendah. Iklan itu seolah menjadi pembenar, bahwa masyarakat NTT adalah masyarakat terbelakang, dengan kehidupan yang sangat sulit. Iklan ini seolah-olah juga menyempurnakan iklan-iklan tentang kondisi NTT lainnya, seperti tentang sulitnya air bersih di NTT. Sebuah generalisasi persoalan, tanpa (maaf) data yang akurat. Saya tidak peduli apa misi di balik iklan ini, apakah murni sebuah gerakan sosial atau ada misi-misi lain yang terselubung. Namanya juga iklan, selalu ada hidden agenda yang ingin disampaikan…



Belum lagi jika saya memerhatikan iklan para calon pemimpin negeri ini. Setiap iklan-iklan itu tayang, saya selalu ‘ngelus dada’… Saya tidak begitu paham dengan tujuan iklan yang sangat pribadi tersebut. Ada yang mengatakan bahwa iklan tersebut merupakan kampanye awal untuk mencalonkan diri sebagai orang nomor satu di Indonesia. Tapi saya juga tidak terlalu mempedulikan hal tersebut, yang ada di pikir saya hanya satu, hidup adalah perbuatan. Saya sepakat, iklan itu adalah hak setiap pengiklan dan pemilik produk. Tapi saya tidak sangat tidak sepakat, jika iklan itu sarat pembodohan apalagi pembohongan.

Bagi saya, iklan adalah hasil dari perbuatan, bukan rencana dari sebuah perbuatan. Sama dengan hidup, hidup adalah perbuatan!

Saya jadi teringat apa yang dikatakan oleh Ken Blanchard, penulis buku The One Minute Manager. Ia mengatakan hidup mencakup tiga perbuatan. Perbuatan yang pertama adalah to achieve. Mencetak prestasi. Sesuai dengan kodratnya, manusia selalu ingin berprestasi. Mencapai prestasi sesuai dengan potensi dirinya. Manusia merasakan keberadaannya karena prestasi yang diukirnya. Being by doing.

Perbuatan yang kedua adalah to connect. Yaitu bagaimana kita berhubungan dengan sesama. Being by being with. Kepedulian terhadap sesama. Bagaimana kita berbagi dan melibatkan orang lain atas apa yang kita kerjakan dan kita capai. Hidup tidak memiliki arti, manakala hubungan kita dengan sesama tidak harmonis.

Perbuatan yang ketiga adalah to integrate. Yaitu bagaimana mengintegrasikan kedua perbuatan yang pertama. Hal ini dapat kita lakukan dengan cara menentukan dan mengkaji kembali tujuan hidup dan nilai-nilai yang kita yakini. Dan kita menggunakannya sebagai pedoman dalam menjalani kehidupan kita sehari-hari. Dengan demikian hidup kita menjadi lebih fokus pada hal-hal yang lebih bermakna dan lebih penting sejalan dengan tujuan dan nilai-nilai hidup yang kita yakini. ‘The most important thing in life to decide what’s most important’. Itupun kutipan kata bijak yang dilontarkan oleh Ken Blanchard.

Values-Based Leadership adalah proses kepemimpinan yang menekankan pada nilai-nilai untuk mendorong agar anggota organisasi dapat bekerja sama dan berkomitmen untuk mencapai tujuan bersama. Membangun values-based leadership, membutuhkan tiga tahapan. Tahap pertama adalah menetapkan visi, misi dan nilai-nilai organisasi yang disepakati bersama. Selanjutnya tahap yang kedua mengomunikasikan visi, misi dan nilai-nilai yang disepakati kepada seluruh jajaran organisasi. Tahap ketiga adalah menyelaraskan tindakan dan praktek sehari-hari dengan visi, misi, dan nilai-nilai tersebut. Nilai-nilai inilah yang akan menjadi panduan organisasi.

Proses penerapan values-based leadership bukan pekerjaan mudah dan instan. Tidak semudah membalikkan tangan. Keseluruhan proses akan memakan waktu sekurang-kurangnya dua sampai tiga tahun, sebelum menunjukkan hasil yang positif. Itu pun memerlukan persyaratan berupa komitmen dari seluruh jajaran organisasi. Dan konsistensi dalam penerapannya. Penyusunan visi, misi, dan nilai-nilai harus disesuaikan dengan jenis industri yang digeluti, dan mencerminkan nilai-nilai dan falsafah hidup pendiri, pemimpin dan seluruh jajaran organisasi.

Baru-baru ini saya membantu KKI Keuskupan Ruteng untuk menginspirasi dalam sebuah character building training para aktivis gereja, dan penggerak credit union, menemukan esensi dasar menjadi seorang pemimpin yang heroic. Heroic leadership adalah bentuk kepemimpinan berbasis totalitas pelayanan penuh cinta kasih.

Ini baru tahap pertama dari proses penerapan values-based leadership. Tahap kedua dan ketiga masih membutuhkan waktu yang cukup lama. Tantangannya juga sangat besar. Keberhasilannya akan sangat tergantung kepada komitmen seluruh peserta training dan konsistensi pada penerapannya dalam menggunakan nilai-nilai heroic leadership sebagai panduan kegiatan sehari-hari. Semoga berhasil!

Kembali pada kegelisahan saya di awal tentang iklan-iklan tadi. Saya punya prinsip bahwa ‘Hidup Adalah Perbuatan’, dan saya punya prinsip ‘Iklan adalah Perbuatan’. Saya berprinsip, iklan bukanlah sekadar pencitraan. Dosa besar kalau iklan direduksi hanya sekedar pencitraan. Kalau sekadar pencitraan, bisa dong onggokan sampah dicitrakan (baca. disulap) menjadi gemerlap berlian? Atau, boleh dong tikus got dicitrakan menjadi cendrawasih yang bulunya penuh kemilau.

Alih-alih sebagai alat pencitraan, saya menganggap iklan sebagai media untuk mengomunikasikan ‘perbuatan-perbuatan’ si pemasang iklan: bisa produk, perusahaan, atau orang yang sedang ikut Pilkada misalnya. Kalau ‘perbuatan-perbuatan’ si pengiklan baik, tentu iklannya boleh bilang ke khalayak hal yang baik. Tapi kalau sebaliknya, ‘perbuatan-perbuatan’ si pengiklan penuh kenistaan dan kotor berlumur darah, apakah kemudian ia boleh bilang ke khalayak mengenai kesucian, keindahan, kecantikan? Tegas saya bilang: TIDAK!!!

Iklan bukanlah bedak (pupur) yang menutupi ‘perbuatan’ bopeng-bopeng menjadi sebuah ‘perbuatan’ mulus kinclong, layaknya muka Sandra Dewi. Iklan bagi saya adalah kejujuran. Iklan adalah ketika nurani berbicara tanpa kosmetik, tanpa topeng, tanpa bedak.

Dji Sam Soe, rokok legendaris bikinan HM Sampoerna, tak pernah mengiklankan diri selama 80 tahun lebih. Rokok ini beriklan pertama kali tahun 1996, sementara ia dibikin dan beredar di pasar tahun 1913. Bagaimana Dji Sam Soe mengomunikasikan kehebatannya kepada konsumen? Melalui word of mouth, orang merasakan dan menikmati kehebatan rasa Dji Sam Soe, lalu ngomong ke konsumen lain. Omongannya pasti 100% jujur karena tak sepeserpun ia dibayar Dji Sam Soe. Jadi, Dji Sam Soe beriklan mengomunikasikan kehebatan dirinya setelah 80 tahun ‘berbuat’ dan mendapatkan pengakuan dari konsumennya.

Karena itu, bagi saya iklan begitu sarat dengan pertanyaan-pertanyaan eksistensialis, khas Chairil Anwar. Hanya jika Anda sudah ‘berbuat’, maka Anda boleh beriklan. Dengan begitu, ‘berbuat’ menjadi semacam reason for being bagi para pengiklan. Kalau ‘perbuatan’ Anda baik, maka isi iklan Anda akan baik. Sebaliknya, kalau ‘perbuatan’ Anda buruk, maka isi iklan Anda pun akan buruk. ‘Perbuatan’ Anda akan menjadi warna dasar iklan Anda.

Untuk menutup tulisan ini, saya punya cerita sedikit mengenai Bung Karno. Bung Karno tidak pernah mengiklankan dirinya sepanjang hidup. Wajar saja, karena sepanjang hidupnya, beliau memang tidak begitu mengenal tetek-bengek dunia periklanan. Tapi poinnya bukan di situ. Poin saya adalah, tanpa iklan beliau mampu menjadi bapak bangsa yang begitu disegani, dihormati, disanjung dan dicintai. Namanya begitu harum berkilau, namanya dikenang seluruh generasi bangsa ini sampai akhir jaman.

Kenapa bisa begitu? Karena Bung Karno mengiklankan diri melalui ‘perbuatan-perbuatan’-nya. ‘Perbuatan’ beliau yang begitu keras menentang penindasan penjajah; ‘perbuatan’ beliau yang begitu kukuh di meja-meja perundingan untuk memerdekakan negeri ini; ‘perbuatan’ beliau yang tegar memikirkan masa depan negeri ini di balik terali besi pengasingan. Bung Karno ‘beriklan’ melalui begitu banyak ‘perbuatan’ yang sudah dikontribusikannya kepada negeri ini.

Mahatma Gandi, Aung San Suu Kyi, Nelson Mandela, Bunda Theresia, Marthen Luther King, Jr. melakukan hal yang persis dilakukan Bung Karno. Mereka menjadi pemimpin besar sepanjang masa karena ‘mengiklankan diri’ melalui ‘perbuatan besar’ mereka.

Sekali lagi, saya tidak peduli dengan misi sebenarnya iklan tentang kondisi NTT yang menggelisahkan hati saya. Tapi hidden mission iklan ini jelas, dan mestinya menjadi bahan introspeksi serta refleksi, bahkan tamparan keras bagi para pemimpin, gereja, para tokoh, dan masyarakat NTT, bahwa ternyata selama ini mereka belum berbuat apa-apa. Iklan tersebut seolah menguak fakta, bahwa semua elemen masyarakat NTT harus lebih banyak berbuat dan bekerja.

Iklan adalah hasil perbuatan, bukan rencana perbuatan…

Think Big Start Small

0 komentar: