Iklan Adalah (Hasil) Perbuatan
Posted: Minggu, 03 November 2013 by R. Anang Tinosaputra in Label: The Meaning of Life
0
Belum lagi jika saya
memerhatikan iklan para calon pemimpin negeri ini. Setiap iklan-iklan itu
tayang, saya selalu ‘ngelus dada’… Saya tidak begitu paham dengan tujuan iklan
yang sangat pribadi tersebut. Ada yang mengatakan bahwa iklan tersebut
merupakan kampanye awal untuk mencalonkan diri sebagai orang nomor satu di
Indonesia. Tapi saya juga tidak terlalu mempedulikan hal tersebut, yang ada di
pikir saya hanya satu, hidup adalah perbuatan. Saya sepakat, iklan itu adalah
hak setiap pengiklan dan pemilik produk. Tapi saya tidak sangat tidak sepakat,
jika iklan itu sarat pembodohan apalagi pembohongan.
Bagi saya, iklan adalah hasil dari perbuatan, bukan rencana dari sebuah perbuatan. Sama dengan hidup, hidup adalah perbuatan!
Saya jadi teringat apa yang
dikatakan oleh Ken Blanchard,
penulis buku The One Minute
Manager. Ia mengatakan hidup mencakup tiga perbuatan. Perbuatan yang pertama
adalah to achieve.
Mencetak prestasi. Sesuai dengan kodratnya, manusia selalu ingin berprestasi.
Mencapai prestasi sesuai dengan potensi dirinya. Manusia merasakan
keberadaannya karena prestasi yang diukirnya. Being
by doing.
Perbuatan yang kedua adalah to connect. Yaitu bagaimana
kita berhubungan dengan sesama. Being
by being with. Kepedulian terhadap sesama. Bagaimana kita berbagi dan
melibatkan orang lain atas apa yang kita kerjakan dan kita capai. Hidup tidak
memiliki arti, manakala hubungan kita dengan sesama tidak harmonis.
Perbuatan yang ketiga adalah to integrate. Yaitu bagaimana
mengintegrasikan kedua perbuatan yang pertama. Hal ini dapat kita lakukan
dengan cara menentukan dan mengkaji kembali tujuan hidup dan nilai-nilai yang
kita yakini. Dan kita menggunakannya sebagai pedoman dalam menjalani kehidupan
kita sehari-hari. Dengan demikian hidup kita menjadi lebih fokus pada hal-hal
yang lebih bermakna dan lebih penting sejalan dengan tujuan dan nilai-nilai
hidup yang kita yakini. ‘The most important thing in life to decide what’s
most important’. Itupun kutipan kata bijak yang dilontarkan oleh Ken Blanchard.
Values-Based Leadership adalah proses
kepemimpinan yang menekankan pada nilai-nilai untuk mendorong agar anggota
organisasi dapat bekerja sama dan berkomitmen untuk mencapai tujuan bersama.
Membangun values-based
leadership, membutuhkan tiga tahapan. Tahap pertama adalah menetapkan visi,
misi dan nilai-nilai organisasi yang disepakati bersama. Selanjutnya tahap yang
kedua mengomunikasikan visi, misi dan nilai-nilai yang disepakati kepada
seluruh jajaran organisasi. Tahap ketiga adalah menyelaraskan tindakan dan
praktek sehari-hari dengan visi, misi, dan nilai-nilai tersebut. Nilai-nilai
inilah yang akan menjadi panduan organisasi.
Proses penerapan values-based leadership bukan pekerjaan mudah dan instan.
Tidak semudah membalikkan tangan. Keseluruhan proses akan memakan waktu
sekurang-kurangnya dua sampai tiga tahun, sebelum menunjukkan hasil yang
positif. Itu pun memerlukan persyaratan berupa komitmen dari seluruh jajaran
organisasi. Dan konsistensi dalam penerapannya. Penyusunan visi, misi, dan
nilai-nilai harus disesuaikan dengan jenis industri yang digeluti, dan
mencerminkan nilai-nilai dan falsafah hidup pendiri, pemimpin dan seluruh jajaran
organisasi.
Baru-baru ini saya membantu KKI
Keuskupan Ruteng untuk menginspirasi dalam sebuah character building training para aktivis gereja, dan penggerak
credit union, menemukan esensi dasar menjadi seorang pemimpin yang heroic. Heroic leadership adalah bentuk kepemimpinan
berbasis totalitas pelayanan penuh cinta kasih.
Ini baru tahap pertama dari
proses penerapan values-based
leadership. Tahap kedua dan ketiga masih membutuhkan waktu yang cukup lama.
Tantangannya juga sangat besar. Keberhasilannya akan sangat tergantung kepada
komitmen seluruh peserta training dan konsistensi pada penerapannya dalam
menggunakan nilai-nilai heroic
leadership sebagai panduan
kegiatan sehari-hari. Semoga berhasil!
Kembali pada kegelisahan saya
di awal tentang iklan-iklan tadi. Saya punya prinsip bahwa ‘Hidup Adalah
Perbuatan’, dan saya punya prinsip ‘Iklan adalah Perbuatan’. Saya berprinsip,
iklan bukanlah sekadar pencitraan. Dosa besar kalau iklan direduksi hanya
sekedar pencitraan. Kalau sekadar pencitraan, bisa dong onggokan sampah dicitrakan (baca. disulap) menjadi gemerlap berlian?
Atau, boleh dong tikus got dicitrakan menjadi
cendrawasih yang bulunya penuh kemilau.
Alih-alih sebagai alat
pencitraan, saya menganggap iklan sebagai media untuk mengomunikasikan
‘perbuatan-perbuatan’ si pemasang iklan: bisa produk, perusahaan, atau orang
yang sedang ikut Pilkada misalnya. Kalau ‘perbuatan-perbuatan’ si pengiklan
baik, tentu iklannya boleh bilang ke khalayak hal yang baik. Tapi kalau
sebaliknya, ‘perbuatan-perbuatan’ si pengiklan penuh kenistaan dan kotor
berlumur darah, apakah kemudian ia boleh bilang ke khalayak mengenai kesucian,
keindahan, kecantikan? Tegas saya bilang: TIDAK!!!
Iklan bukanlah bedak (pupur)
yang menutupi ‘perbuatan’ bopeng-bopeng menjadi sebuah ‘perbuatan’ mulus kinclong, layaknya muka Sandra
Dewi. Iklan bagi saya adalah kejujuran. Iklan adalah ketika nurani berbicara
tanpa kosmetik, tanpa topeng, tanpa bedak.
Dji Sam Soe, rokok legendaris
bikinan HM Sampoerna, tak pernah mengiklankan diri selama 80 tahun lebih. Rokok
ini beriklan pertama kali tahun 1996, sementara ia dibikin dan beredar di pasar
tahun 1913. Bagaimana Dji Sam Soe mengomunikasikan kehebatannya kepada
konsumen? Melalui word of
mouth, orang merasakan dan menikmati kehebatan rasa Dji Sam Soe, lalu
ngomong ke konsumen lain. Omongannya pasti 100% jujur karena tak sepeserpun ia
dibayar Dji Sam Soe. Jadi, Dji Sam Soe beriklan mengomunikasikan kehebatan
dirinya setelah 80 tahun ‘berbuat’ dan mendapatkan pengakuan dari konsumennya.
Karena itu, bagi saya iklan
begitu sarat dengan pertanyaan-pertanyaan eksistensialis, khas Chairil Anwar.
Hanya jika Anda sudah ‘berbuat’, maka Anda boleh beriklan. Dengan begitu,
‘berbuat’ menjadi semacam reason
for being bagi para pengiklan.
Kalau ‘perbuatan’ Anda baik, maka isi iklan Anda akan baik. Sebaliknya, kalau
‘perbuatan’ Anda buruk, maka isi iklan Anda pun akan buruk. ‘Perbuatan’ Anda
akan menjadi warna dasar iklan Anda.
Untuk menutup tulisan ini, saya
punya cerita sedikit mengenai Bung Karno. Bung
Karno tidak pernah mengiklankan dirinya sepanjang hidup. Wajar saja, karena
sepanjang hidupnya, beliau memang tidak begitu mengenal tetek-bengek dunia
periklanan. Tapi poinnya bukan di situ. Poin saya adalah, tanpa iklan beliau
mampu menjadi bapak bangsa yang begitu disegani, dihormati, disanjung dan
dicintai. Namanya begitu harum berkilau, namanya dikenang seluruh generasi
bangsa ini sampai akhir jaman.
Kenapa bisa begitu? Karena Bung
Karno mengiklankan diri melalui ‘perbuatan-perbuatan’-nya. ‘Perbuatan’ beliau
yang begitu keras menentang penindasan penjajah; ‘perbuatan’ beliau yang begitu
kukuh di meja-meja perundingan untuk memerdekakan negeri ini; ‘perbuatan’
beliau yang tegar memikirkan masa depan negeri ini di balik terali besi
pengasingan. Bung Karno ‘beriklan’ melalui begitu banyak ‘perbuatan’ yang sudah
dikontribusikannya kepada negeri ini.
Mahatma Gandi, Aung San Suu Kyi, Nelson
Mandela, Bunda Theresia, Marthen Luther King, Jr. melakukan hal yang persis dilakukan
Bung Karno. Mereka menjadi pemimpin besar sepanjang masa karena ‘mengiklankan
diri’ melalui ‘perbuatan besar’ mereka.
Sekali lagi, saya tidak peduli
dengan misi sebenarnya iklan tentang kondisi NTT yang menggelisahkan hati saya.
Tapi hidden mission iklan ini jelas, dan mestinya
menjadi bahan introspeksi serta refleksi, bahkan tamparan keras bagi para
pemimpin, gereja, para tokoh, dan masyarakat NTT, bahwa ternyata selama ini
mereka belum berbuat apa-apa. Iklan tersebut seolah menguak fakta, bahwa semua
elemen masyarakat NTT harus lebih banyak berbuat dan bekerja.
Iklan adalah hasil perbuatan,
bukan rencana perbuatan…
Think Big Start Small