Ekspansi, Kepercayaan, dan Inspirasi

Posted: Senin, 04 November 2013 by R. Anang Tinosaputra in Label:
0

‘Capacity expansion is one of the most significant strategic decisions faced by firms, measured both in terms of the amount of capital involved and the complexity of the decision-making problem... Capacity decisions require the firm to commit resources based on expectations about conditions far into the future’. (Michael E. Porter, Competitive Strategy: Techniques for Analyzing Industries and Competitors, 1980)

Ironis, ketika banyak negara mengecam AS dengan mengklaim diri sebagai anti-imperialis, anti-hegemoni, anti-monopoli, Christianto Wibisono (The Global Nexus, 2007) melaporkan, orang yang berteriak anti AS ternyata duitnya malah di taruh di Wall Street. Malah, negara-negara yang secara politik mengecam AS, mendukung dan membenarkan ‘teror’, dalam hati kecil juga masih merasa aman menaruh duit di AS. Mereka masih percaya bahwa gubernur bank sentral AS tidak akan korupsi atau KKN. Terlebih dari itu, mereka percaya bahwa lembaga hukum di AS berfungsi secara imparsial dan independen. Sehingga, biarpun bank sentral AS cuma memasang tarif suku bunga yang kecil (2 – 4%, bahkan 1% di tahun 2003) ada sekitar US$ 4 triliunan harta milik dunia disimpan di AS.

Jika mengacu pada teori Capacity Expansion-nya Michael Porter, maka salah satu syarat untuk berkembang telah terpenuhi, yaitu akumulasi amount of capital. Dilengkapi dengan kompetensi bangsa dalam metodologi pemecahan masalah (problem-solving methodology) yang dilandasi sikap rasional, asas keadilan dan kematangan berdemokrasi, bakal menumbuhkembangkan saling percaya ke tingkat yang lebih tinggi lagi. Akibatnya, dinamika wacana intelektual dan praksis sosialnya terus berputar ke atas (spiral-up movement).

Di tataran makro maupun mikro pada galibnya esensi pembangunannya tak jauh berbeda. Manakala pertumbuhan bisnis dilandasi pembangunan kultur yang pada ujungnya membuat perusahaan jadi layak dipercaya (trustworthy), dan bisa jadi model serta inspirasi yang membuat banyak pihak ingin mengemulasinya, maka organisasi ini sesungguhnya sudah menjadi asset bangsa. Pada gilirannya bangsa yang bisa menginspirasi bangsa lain adalah asset internasional.

… that a nation’s well being, as well as its ability to compete, is conditioned by a single, pervasive cultural chararacteristic: the level of trust inherent in society’. (Francis Fukuyama, Trust: The Social Virtues and The Creation of Prosperity, 1995).


Bangsa yang tingkat saling percayanya tinggi akan sangat efisien. Untuk hal yang sepele saja, berapa penghematan yang bisa dilakukan perusahaan operator jalan tol, jika di tiap pintu masuk tol tidak perlu ada petugas yang membagi-bagi kartu tol, setiap pengendara bisa dipercaya hanya mengambil satu kartu saja (yang diletakkan di pintu masuk tol tanpa petugas jaga). Contoh yang lebih besar, negara tidak perlu menghamburkan dana demi membentuk komisi-komisi khusus yang mengawasi dan menangani kasus-kasus korupsi, pelanggaran HAM, dan lain-lain. Pastilah biaya yang bisa dihemat sangat signifikan. Benar kata sahabat saya, bangsa ini paling gemar membuat panitia, bahkan ketika krisis sudah melanda. 

Kita boleh bermimpi, seperti Luther King Jr. bermimpi. Asalkan mimpi (dream) itu merupakan gambaran (pictorial) yang jernih tentang masa depan yang indah dan mulia. 

‘… I have a dream that one day this nation will raise up and live out the true meaning of its creed: We hold these truth to be self-evident that all men are created equal … I have a dream that my four little children will one day live in a nation where they will not be judged by the color of their skin but by the content of their character. I have a dream today! …’ (at Lincoln Memorial, Washington DC, August 28th, 1963).

Tampaknya, kita krisis dengan pemimpin visioner yang bisa menginspirasi dengan gambaran jernih masa depan organisasi. Alih-alih visioner dan inspirasional, mereka malah sibuk memperbaiki citra diri serta menebar pesona kian kemari tanpa pernah menjadikan dirinya sendiri sebagai role-model yang bisa meniupkan roh kehidupan (to inspire) kepada orang lain. 

Inspirasi sendiri awalnya adalah sebuah kata yang sakral. Kata inspirasi dalam bahasa Yunani, disebut Theopneustos, yang arti harafiahnya adalah ‘tiupan nafas Tuhan’ (God-breathed). Jadi, orang yang inspirasional adalah orang yang sebetulnya ‘meniupkan nafas/semangat/spirit kehidupan’ kepada orang lain. Dan dahsyatnya, itu semua berasal dari Tuhan!

Terhadap sistem yang sewenang-wenang, kita merenung lewat teguran Vaclav Havel (Presidential Speech, 1989), ‘When I talk about contaminated moral atmosphere, I am talking just about the gentlemen who eat organic vegetables and do not look out of the plane windows. I am talking about all of us. We had all become used to totalitarian system and accepted it is an unchangeable fact and thus helped to perpetuate it. In other words, we are all – though naturally to differing extents – responsible for the operation of the totalitarian machinery; none of us is just its victim: we are all also its co-creators.

Kalau dunia sekarang jatuh secara moral-spiritual, kita sebagai profesional juga ikut bertanggung jawab di dalamnya. Apalagi jika generasi muda bangsa ini juga hancur secara moral-spiritual, kita sebagai bagian dari masyarakat juga punya andil tanggung jawab secara moral-spiritual pula.

Kita mau terus ignorance, atau bangkit membangun kapasitas lewat kepercayaan sehingga bisa ikut meniupkan kembali roh kehidupan. Paling tidak, saya bersama teman-teman di Ruteng beberapa minggu lalu telah mencoba berbagi inspirasi kehidupan yang sesungguhnya. 

Mulai dari diri sendiri...
Mulai dari sekarang...
Mulai dari yang kecil...

Apa inspirasi Anda? 
Think Big Start Small...

0 komentar: