0
Orang-orang yang bunuh diri, rohnya tidak akan pernah sampai ke tujuan.
Mereka juga tidak bisa kembali ke tempat darimana mereka datang. Mereka
‘tersangkut’ di tengah jalan tanpa kepastian.
Pernyataan yang disampaikan oleh salah satu tokoh supranatural dalam
sebuah acara televisi yang mengungkap dunia lain manusia beberapa waktu lalu,
terus melekat dalam ingatan saya. Hal ini mengingatkan saya akan kultwit Komaruddin
Hidayat, tentang roh orang-orang yang meninggal karena bunuh diri. Beliau-beliau
ini menjelaskan soal roh yang tersesat ini.
Saya termasuk orang yang selama ini kurang percaya pada cerita-cerita
semacam itu. Mungkin karena pekerjaan saya sebagai marketer selama beberapa
tahun terakhir membuat saya selalu berpikir kritis dan analitik. Nalar saya
menjadi lebih dominan. Saya sering sulit percaya pada cerita-cerita yang sulit
dibuktikan. Tetapi, kali ini kisah tentang roh orang bunuh diri yang
gentayangan itu mengganggu pikiran saya.
Menurut beliau, cerita tentang roh orang-orang yang mati karena bunuh
diri dan roh gentayangan itu didasarkan pada keterangan orang-orang yang pernah
mati suri yang diwawancarainya. Waktu itu beliau mewawancarai sejumlah orang
yang pernah mati suri untuk penulisan bukunya, Psikologi Kematian.
Nah, dari pengakuan sejumlah orang yang diwawancarai itulah Komaruddin
Hidayat mengetahui bahwa mereka yang mati karena bunuh diri rohnya akan
gentayangan. “Cerita mereka hampir sama. Di dalam perjalanan mereka di alam
sana, mereka mengaku bertemu dengan roh-roh yang tersesat itu,” ujar
Komaruddin.
Kalau pikiran saya terganggu oleh cerita beliau tersebut, bukan karena
pikiran kritis saya menolah menerimanya, melainkan pernyataan beliau ini
membuat saya teringat pada sebuah kasus bunuh diri yang pernah dimuat di
berbagai media massa.
Salah satu kisah itu adalah tentang seorang pelajar SMP bernama Fifi yang
bunuh diri karena setiap hari diejek oleh teman-temannya. Ayah Fifi pedagang
bubur. Oleh teman-temannya, Fifi diejek dengan olok-olok, “Fifi anak Jokbur,
Joko penjual bubur.” Setelah sekian lama menahan derita karena setiap hari
pekerjaan ayahnya dilecehkan, Fifi yang depresi lalu menggantung diri.
Pertanyaannya, apakah roh Fifi tidak akan perna sampai ke ‘tujuan’?
Apakah rohnya gentayangan? Kalau jawabannya ya, maka betapa malangnya Fifi. Di
alam fana dan alam baka dia menderita.
Begitu juga dengan kisah yang say abaca di koran tentang seorang ibu yang
bunuh diri setelah lebih dulu membunuh ketiga anaknya. Sang ibu yang merasa
tidak bisa menemukan jalan keluar dari impitan ekonomi, dan merasa tidak
sanggup lagi menghidupi anak-anaknya, memilih jalan pintas itu. Setelah
membunuh ketiga anaknya, dia bunuh diri. Lagi-lagi pertanyaannya: adakah roh
sang ibu juga gentayangan?
Hampir setiap hari kita membaca berita tentang orang bunuh diri. Termasuk
seorang bapak yang membunuh anak dan istrinya, kemudian bunuh diri. Tindakan
itu dia lakukan karena tidak tahu lagi bagaimana cara mencari uang untuk
menghidupi anak dan istrinya.
Adakah mereka yang bunuh diri karena kemiskinan, ketidakberdayaan,
penyakit yang tidak tersembuhkan, rohnya akan gentayangan? Sebagian besar dari
kita akan dengan mudah mengatakan orang tidak akan bunuh diri jika kuat
imannya. Orang tidak akan membunuh dirinya kalau dia dekat dengan Tuhan.
Apalagi kita selalu diyakinkan bahwa Tuhan tidak akan pernah mencobai
umat-Nya melebihi batas kemampuan umat-Nya itu. Lalu, mengapa masih ada orang
yang tidak sanggup menerima cobaan hidup dan memilih jalan pintas? Saya sering
menakar-nakar sampai pada batas manakah seseorang tidak akan sanggup lagi
memikul beban berat di pundaknya dan menyerah?
Saya sering membayangkan jika saya menjadi orang-orang yang bunuh diri
itu. Apakah saya juga akan melakukan hal yang sama – membunuh anak dan istri
saya, misalnya – jika saya tidak lagi melihat ada jalan keluar dari persoalan
yang saya hadapi?
Kadang sulit juga untuk memahami mengapa ada orang yang memilih bunuh
diri untuk keluar dari problematik hidup yang mengadangnya. Apalagi jika kita
meyakini dalam setiap persoalan pasti ada jalan keluar. Tetapi, mengapa
sejumlah orang memiliki keyakinan tersebut sementara yang lain tidak?
Faktor latar belakang lalu menjadi alasan. Latar belakang pendidikan
dianggap salah satu yang ikut menentukan bagaimana kita bersikap dalam
menghadapi persoalan. Apakah itu pendidikan formal, nonformal, maupun
pendidikan agama. Selain itu faktor lingkungan juga dianggap berperan. Mereka
yang pendidikannya rendah dan hidup dalam lingkungan keluarga yang kurang
mendukung dinilai memiliki kecenderungan untuk cepat putus asa. Mereka lebih
mudah bunuh diri.
Masalahnya, tidak semua orang beruntung bisa mengenyam pendidikan dengan
baik. Tidak semua orang lahir dari keluarga yang mapan. Tidak semua orang lahir
dalam keluarga yang taat beragama. Tidak semua orang lahir di lingkungan yang
mendukung dia untuk bisa tahan banting dan berpikir positif. Kalau semua faktor
tidak mendukung dan dia tidak mampu memecahkan masalah dan merasa mengalami
jalan buntu kemudian bunuh diri, apakah roh mereka juga akan gentayangan?
Banyak orang ingin keluar dari persoalan, tetapi tidak tahu caranya.
Mereka tidak mampu. Sebagian memilih jalan keluar dengan cara melanggar hukum.
Untuk keluar dari impitan ekonomi, misalnya, mereka mencuri, merampok, bahkan
membunuh. Sebagian lagi yang tidak berani mencuri, merampok, dan membunuh
memilih mengakhiri hidupnya. Dengan begitu, dia menganggap persoalan selesai.
Fifi, dalam usianya yang baru beranjak remaja, tidak mampu mengatasi
ejekan teman-temannya yang menderanya setiap hari. Fifi sempat mengeluhkan
perlakukan teman-temannya kepada sang ayah. Waktu itu Joko, sang ayah, meminta
Fifi bersabar beberapa bulan menunggu kenaikan kelas. Ayah Fifi berjanji akan
memindahkan Fifi ke sekolah di kampung agar Fifi terbebas oleh ejekan
teman-teman sekolahnya. Tetapi, semuanya terlambat. Fifi sudah tidak mampu
menunggu. Dia tidak lagi bisa bertahan lebih lama. Fifi lalu memilih bunuh
diri. Apakah roh Fifi sekarang masih melayang-layang di alam sana?
Saya, yang termasuk orang yang tidak terlalu percaya pada cerita-cerita
semacam itu, terganggu oleh kultwit Pak Komaruddin dan tayangan televisi itu.
Saya merasa sedih membayangkan betapa mereka yang bunuh diri karena impitan
ekonomi atau karena tidak mampu melihat jalan keluar, rohnya akan gentayangan.
Di dunia mereka sudah susah. Haruskah di alam lain sana mereka juga merana?
Karena itu, saya merasa bahagia jika mengingat ada seorang sahabat saya
di Jawa Barat, yang beberapa kali membaca tulisan-tulisan saya, dia
mengurungkan niatnya untuk bunuh diri.
Komunikasi melalui komentar-komentarnya tentang tulisan saya selama ini,
telah membangkitkan keyakinan diri saya bahwa kita sebenarnya bisa melakukan
sesuatu untuk mencegah seseorang bunuh diri. Boleh jadi karena latar belakang
lingkungan, pendidikan, atau kejiwaan, seseorang tidak mampu memikul beban yang
menderanya. Dia membutuhkan orang lain untuk menolongnya. Orang yang menuntun
dia untuk menemukan jalan keluar.
Pertolongan tidak selalu harus berupa materi. Dukungan moral, nasihat,
petunjuk, doa, dan empati, bahkan sekadar keinginan untuk mendengar setiap
persoalan yang diceritakan, akan mengurangi tekanan yang mereka rasakan. Dengan
begitu, mudah-mudahan saudara-saudara kita yang menghadapi persoalan dalam
hidupnya tidak mengambil jalan pintas. Agar tidak ada lagi roh-roh yang tidak
bisa menemukan jalannya.
Semoga!