Bunuh Diri

Posted: Minggu, 17 November 2013 by R. Anang Tinosaputra in Label:
0

Orang-orang yang bunuh diri, rohnya tidak akan pernah sampai ke tujuan. Mereka juga tidak bisa kembali ke tempat darimana mereka datang. Mereka ‘tersangkut’ di tengah jalan tanpa kepastian.

Pernyataan yang disampaikan oleh salah satu tokoh supranatural dalam sebuah acara televisi yang mengungkap dunia lain manusia beberapa waktu lalu, terus melekat dalam ingatan saya. Hal ini mengingatkan saya akan kultwit Komaruddin Hidayat, tentang roh orang-orang yang meninggal karena bunuh diri. Beliau-beliau ini menjelaskan soal roh yang tersesat ini.

Saya termasuk orang yang selama ini kurang percaya pada cerita-cerita semacam itu. Mungkin karena pekerjaan saya sebagai marketer selama beberapa tahun terakhir membuat saya selalu berpikir kritis dan analitik. Nalar saya menjadi lebih dominan. Saya sering sulit percaya pada cerita-cerita yang sulit dibuktikan. Tetapi, kali ini kisah tentang roh orang bunuh diri yang gentayangan itu mengganggu pikiran saya.

Menurut beliau, cerita tentang roh orang-orang yang mati karena bunuh diri dan roh gentayangan itu didasarkan pada keterangan orang-orang yang pernah mati suri yang diwawancarainya. Waktu itu beliau mewawancarai sejumlah orang yang pernah mati suri untuk penulisan bukunya, Psikologi Kematian.

Nah, dari pengakuan sejumlah orang yang diwawancarai itulah Komaruddin Hidayat mengetahui bahwa mereka yang mati karena bunuh diri rohnya akan gentayangan. “Cerita mereka hampir sama. Di dalam perjalanan mereka di alam sana, mereka mengaku bertemu dengan roh-roh yang tersesat itu,” ujar Komaruddin.

Kalau pikiran saya terganggu oleh cerita beliau tersebut, bukan karena pikiran kritis saya menolah menerimanya, melainkan pernyataan beliau ini membuat saya teringat pada sebuah kasus bunuh diri yang pernah dimuat di berbagai media massa.

Salah satu kisah itu adalah tentang seorang pelajar SMP bernama Fifi yang bunuh diri karena setiap hari diejek oleh teman-temannya. Ayah Fifi pedagang bubur. Oleh teman-temannya, Fifi diejek dengan olok-olok, “Fifi anak Jokbur, Joko penjual bubur.” Setelah sekian lama menahan derita karena setiap hari pekerjaan ayahnya dilecehkan, Fifi yang depresi lalu menggantung diri.

Pertanyaannya, apakah roh Fifi tidak akan perna sampai ke ‘tujuan’? Apakah rohnya gentayangan? Kalau jawabannya ya, maka betapa malangnya Fifi. Di alam fana dan alam baka dia menderita.

Begitu juga dengan kisah yang say abaca di koran tentang seorang ibu yang bunuh diri setelah lebih dulu membunuh ketiga anaknya. Sang ibu yang merasa tidak bisa menemukan jalan keluar dari impitan ekonomi, dan merasa tidak sanggup lagi menghidupi anak-anaknya, memilih jalan pintas itu. Setelah membunuh ketiga anaknya, dia bunuh diri. Lagi-lagi pertanyaannya: adakah roh sang ibu juga gentayangan?

Hampir setiap hari kita membaca berita tentang orang bunuh diri. Termasuk seorang bapak yang membunuh anak dan istrinya, kemudian bunuh diri. Tindakan itu dia lakukan karena tidak tahu lagi bagaimana cara mencari uang untuk menghidupi anak dan istrinya.

Adakah mereka yang bunuh diri karena kemiskinan, ketidakberdayaan, penyakit yang tidak tersembuhkan, rohnya akan gentayangan? Sebagian besar dari kita akan dengan mudah mengatakan orang tidak akan bunuh diri jika kuat imannya. Orang tidak akan membunuh dirinya kalau dia dekat dengan Tuhan.

Apalagi kita selalu diyakinkan bahwa Tuhan tidak akan pernah mencobai umat-Nya melebihi batas kemampuan umat-Nya itu. Lalu, mengapa masih ada orang yang tidak sanggup menerima cobaan hidup dan memilih jalan pintas? Saya sering menakar-nakar sampai pada batas manakah seseorang tidak akan sanggup lagi memikul beban berat di pundaknya dan menyerah?

Saya sering membayangkan jika saya menjadi orang-orang yang bunuh diri itu. Apakah saya juga akan melakukan hal yang sama – membunuh anak dan istri saya, misalnya – jika saya tidak lagi melihat ada jalan keluar dari persoalan yang saya hadapi?

Kadang sulit juga untuk memahami mengapa ada orang yang memilih bunuh diri untuk keluar dari problematik hidup yang mengadangnya. Apalagi jika kita meyakini dalam setiap persoalan pasti ada jalan keluar. Tetapi, mengapa sejumlah orang memiliki keyakinan tersebut sementara yang lain tidak?

Faktor latar belakang lalu menjadi alasan. Latar belakang pendidikan dianggap salah satu yang ikut menentukan bagaimana kita bersikap dalam menghadapi persoalan. Apakah itu pendidikan formal, nonformal, maupun pendidikan agama. Selain itu faktor lingkungan juga dianggap berperan. Mereka yang pendidikannya rendah dan hidup dalam lingkungan keluarga yang kurang mendukung dinilai memiliki kecenderungan untuk cepat putus asa. Mereka lebih mudah bunuh diri.

Masalahnya, tidak semua orang beruntung bisa mengenyam pendidikan dengan baik. Tidak semua orang lahir dari keluarga yang mapan. Tidak semua orang lahir dalam keluarga yang taat beragama. Tidak semua orang lahir di lingkungan yang mendukung dia untuk bisa tahan banting dan berpikir positif. Kalau semua faktor tidak mendukung dan dia tidak mampu memecahkan masalah dan merasa mengalami jalan buntu kemudian bunuh diri, apakah roh mereka juga akan gentayangan?

Banyak orang ingin keluar dari persoalan, tetapi tidak tahu caranya. Mereka tidak mampu. Sebagian memilih jalan keluar dengan cara melanggar hukum. Untuk keluar dari impitan ekonomi, misalnya, mereka mencuri, merampok, bahkan membunuh. Sebagian lagi yang tidak berani mencuri, merampok, dan membunuh memilih mengakhiri hidupnya. Dengan begitu, dia menganggap persoalan selesai.

Fifi, dalam usianya yang baru beranjak remaja, tidak mampu mengatasi ejekan teman-temannya yang menderanya setiap hari. Fifi sempat mengeluhkan perlakukan teman-temannya kepada sang ayah. Waktu itu Joko, sang ayah, meminta Fifi bersabar beberapa bulan menunggu kenaikan kelas. Ayah Fifi berjanji akan memindahkan Fifi ke sekolah di kampung agar Fifi terbebas oleh ejekan teman-teman sekolahnya. Tetapi, semuanya terlambat. Fifi sudah tidak mampu menunggu. Dia tidak lagi bisa bertahan lebih lama. Fifi lalu memilih bunuh diri. Apakah roh Fifi sekarang masih melayang-layang di alam sana?

Saya, yang termasuk orang yang tidak terlalu percaya pada cerita-cerita semacam itu, terganggu oleh kultwit Pak Komaruddin dan tayangan televisi itu. Saya merasa sedih membayangkan betapa mereka yang bunuh diri karena impitan ekonomi atau karena tidak mampu melihat jalan keluar, rohnya akan gentayangan. Di dunia mereka sudah susah. Haruskah di alam lain sana mereka juga merana?

Karena itu, saya merasa bahagia jika mengingat ada seorang sahabat saya di Jawa Barat, yang beberapa kali membaca tulisan-tulisan saya, dia mengurungkan niatnya untuk bunuh diri.

Komunikasi melalui komentar-komentarnya tentang tulisan saya selama ini, telah membangkitkan keyakinan diri saya bahwa kita sebenarnya bisa melakukan sesuatu untuk mencegah seseorang bunuh diri. Boleh jadi karena latar belakang lingkungan, pendidikan, atau kejiwaan, seseorang tidak mampu memikul beban yang menderanya. Dia membutuhkan orang lain untuk menolongnya. Orang yang menuntun dia untuk menemukan jalan keluar.

Pertolongan tidak selalu harus berupa materi. Dukungan moral, nasihat, petunjuk, doa, dan empati, bahkan sekadar keinginan untuk mendengar setiap persoalan yang diceritakan, akan mengurangi tekanan yang mereka rasakan. Dengan begitu, mudah-mudahan saudara-saudara kita yang menghadapi persoalan dalam hidupnya tidak mengambil jalan pintas. Agar tidak ada lagi roh-roh yang tidak bisa menemukan jalannya.


Semoga!

0 komentar: