Jika Kelas Menengah Rapuh...

Posted: Rabu, 09 Mei 2012 by R. Anang Tinosaputra in Label:
0

Anda tentu tahu krisis subprime mortgage di AS tahun 2008. Saya beberapa kali berdiskusi dengan mereka-mereka yang mengerti betul akan hal tersebut. Pemicunya, kebetulan kami sama-sama nonton film dokumenter Capitalism: A Love Story arahan sutradara nyentrik Michael Moore. Moore dikenal sebagai “sutradara pemberontak” yang tanpa ampun sering mengritik pemerintah AS melalui film-film kontroversialnya.

Kalau Anda menonton film ini, isinya sarat dengan otokritik terhadap kapitalisme AS yang tak beretika dan tak bermoral. Praktek kapitalisme menghisap ala Wal Street (kata Gordon Gekko: “greed is good”) tersebut kemudian berakhir tragis dengan rontoknya sektor keuangan AS karena kasus subprime mortgage. Seperti kita tahu, krisis parah ini sekaligus menandai goyahnya kelas menengah AS. Dalam film tersebut digambarkan bagaimana begitu banyak warga kelas menengah AS bangkrut dan kehilangan rumahnya karena disita bank.

Entah kenapa, obrolan-obrolan singkat itu kemudian membuat saya cemas. Ya, karena apa yang terjadi di AS tersebut bisa saja dialami oleh kelas menengah di negeri ini. Kombinasi dari “budaya konsumtif” dan “budaya mengutang” yang mulai menghinggapi konsumen kelas menengah kita, kalau tidak hati-hati akan membawa mereka terjerembab pada krisis seperti yang terjadi di AS. Hebatnya... saya berbicara dan menulis ini, karena saya pernah mengalami sendiri!



#Budaya Konsumtif, Budaya Mengutang
Salah satu ciri masyarakat kelas menengah adalah mereka memiliki disposable income (dana sisa di luar untuk kebutuhan sandang, pangan, papan dasar) yang cukup besar. Rule of thumb-nya, 1/3 total pendapatan kelas menengah adalah disposable income. Dengan disposable income yang memadai mereka memiliki keleluasaan untuk memenuhi kebutuhan di luar kebutuhan dasar (basic needs) seperti membeli motor, TV, AC, lemari es, weekend makan-makan sekeluarga di restoran, membawa anak-anak main di Timezone, hingga membeli mobil.

Disposable income ini seperti pisau bermata dua, di satu sisi menjadikan kelas menengah memiliki keleluasaan memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, termasuk kebutuhan di luar basic needs. Tapi di sisi lain adanya disposable income juga mendorong mereka mulai memiliki gaya hidup konsumtif. Mereka mulai peka terhadap godaan-godaan iklan di TV. Mereka mulai gampang terpengaruh oleh rayuan diskon dan sale di mal. Ya wajar saja, karena mereka mulai punya duit untuk membelinya.

Celakanya, budaya konsumtif ini kemudian “difasilitasi” oleh beragam fasilitas kredit konsumsi dari bank atau lembaga pembiayaan. Beli rumah menggunakan KPR dari bank. Beli mobil dan motor menggunakan fasilitas kredit dari lembaga pembiayaan cukup bayar DP Rp 500 ribu. Beli TV flat terbaru atau furnitur di Index dicicil 12 bulan pakai kartu kredit. Kondisi inilah yang pelan tapi pasti kemudian membentuk budaya mengutang di kalangan konsumen kelas menengah. Istilah keren-nya, budaya “buy now pay later”.

#Madu dan Racun
Saya menggambarkan beragam bentuk fasilitas kredit yang didapatkan konsumen kelas menengah itu ibarat madu sekaligus racun. Saya sebut madu karena fasilitas tersebut memungkinkan mereka “potong kompas” dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Maksud saya, berkat fasilitas kredit, kebutuhan-kebutuhan yang sesungguhnya tidak mampu mereka penuhi karena berada di luar batas kemampuan beli mereka, kini bisa diwujudkan. Persis seperti dikatakan tagline Adira Finance salah satu perusahaan pembiayaan konsumsi terkemuka: “Bring Tomorrow Today”.

Apa akibatnya jika mereka “terbebaskan” dalam menuruti kebutuhan-kebutuhannya, termasuk kebutuhan yang sesungguhnya tak terjangkau kocek mereka? Bahayanya luar biasa. Budaya “buy now pay later” cenderung membawa konsumen untuk “hantam kromo” dalam membeli. Ungkapan yang pas, kira-kira berbunyi demikian: “Pokoknya beli sekarang, urusan bayar dipikir belakangan.” Inilah kondisi yang sering kita alami (termasuk saya hehe…) ketika di mal kita mendapati gadget terbaru, TV flat terbaru, lemari es terbaru, furnitur terbaru dengan brandrol harga diskon 70%. Ketika kartu kredit terus melambai-lambai di dompet, maka tak terhindarkan lagi aksi hantam kromo pun tak terelakkan.

Coba lihat kasus berikut ini. Ada seorang karyawan perusahaan swasta terkemuka dengan gaji lumayan. Dengan gaji tetap tiap bulan ia mengambil KPR selama 10 tahun dan kredit mobil selama 3 tahun. Di samping itu ia juga menyicil motor, sofa ruang tamu, dan TV flat masing-masing 1 tahun menggunakan kartu kredit. Dengan beragam kewajiban cicilan tersebut sesungguhnya gaji si karyawan ini sudah “pas-pasan”. Sisa uang yang ia miliki tiap bulan menipis sehingga mau tak mau ia harus mengerem pakem nafsu belanjanya.

Tapi suatu hari ia mengunjungi pameran komputer akbar di JHCC yang menawarkan diskon 70%. “Wah rugi nih kalau tidak membeli,” pikirnya. Maka otak berputar keras dan ide cespleng pun keluar: hutang via kartu kredit. Dengan kredit baru itu praktis anggaran si karyawan sudah defisit alias besar pasak daripada tiang. Bayangkan kalau rayuan iklan, diskon, dan hadiah terus membombardir dan si karyawan tak berdaya untuk mengerem konsumsinya, pada suatu titik tertentu ia akan default bahkan bangkrut seperti yang terjadi di AS. Itu sebabnya fasilitas kredit saya sebut racun, karena kalau tak hati-hati menggunakannya bisa menyebabkan anggaran keluarga gonjang-ganjing.

#Rapuh
Kenapa konsumen kelas menengah saya sebut rapuh? Karena konsumen kelas menengah rentan terjebak dalam lingkaran budaya konsumtif-mengutang seperti saya gambarkan di atas. Kalau kita miskin dan tak memiliki banyak disposable income, maka kita akan terbiasa hidup prihatin dengan mengerem konsumsi. Kita juga cenderung imun terhadap rayuan iklan dan diskon. Hal ini berbeda kalau kita sudah memiliki lumayan duit dan mulai mampu membeli barang-barang yang diiklankan di TV atau dipajang di mal.
Ketika duit mulai cukup di kocek, maka godaan untuk mengumbar gaya hidup konsumtif sulit terhindarkan. Ketika gaya hidup konsumtif sudah begitu mendarah daging, maka membeli dengan cara mengutang menjadi solusi cespleng. Dan ketika kombinasi budaya konsumtif-mengutang ini sudah menjadi kanker yang sulit dijinakkan, maka bahaya default dan kebangkrutan akan mengintai setiap saat.

Saya berdoa semoga kelas menengah kita tetap prihatin dan cerdas membelanjakan uangnya, jangan sampai besar pasak daripada tiang. Pesan moralnya jelas... Jangan ikuti langkah saya beberapa tahun lalu! Amin.

0 komentar: