Jangan Menjadi Kodak!
Posted: Rabu, 09 Mei 2012 by R. Anang Tinosaputra in Label: The Meaning of MarketingIni tulisan yang terinspirasi oleh buku Handoko Hendroyono berjudul Brand Gardener.
Dengan sangat kritis buku ini memberikan otokritik terhadap dunia
komunikasi pemasaran yang mulai terjebak dalam kungkungan comfort zone.
Buku hebat ini mengajak kita berpikir out of the box untuk menemukan
whitespace di tengah jagat komunikasi pemasaran yang jenuh dan kian
clutered. Tidak percaya? Cek blognya!
Kodak tutup. Bangkrut! Nokia bingung, kehilangan pijakan. Starbucks
jualan bir: “beyond coffee” kilahnya. Operator telco tambun limbung,
digembosi Google atau Skype. Bank kebat-kebit karena tren “The death of
cash”. Long tail champions seperti kanker menggerogoti irrelevant
incumbents. Outliers seperti Zipcar atau Groupon marak layaknya jamur di
musim hujan.
Bisnis kini menjadi kian sulit. Bisnis menjadi kian suram… bagi
mereka-mereka yang picik dan bebal. Sebaliknya, Bisnis begitu moncer
bagi visionaries. Bisnis begitu gilang-gemilang bagi para whitespace
inventor.
Kini kita memasuki era yang luar biasa, “the era of billions of
opportunities”. Landskap bisnis mengalami gempa tektonik yang
memporak-porandakan, persis seperti digambarkan dalam film kiamat: 2012.
Creative destruction terjadi di hampir seluruh industri. Killer apps
bergentayangan terus mengintai mangsanya. Model bisnis lama hancur
dibilas dengan bisnis model baru yang lebih cool. Dalam lanskap yang
baru ini inovasi model bisnis bukan lagi kemewahan, tapi sudah menjadi
mainstream.
Berikut ini adalah 3 creative destruction yang bakal
memporak-porandakan bisnis Anda kini dan seterusnya. Creative
destruction itu akan menjadi asset bagi Anda yang memilih menjadi
pemenang, tapi menjadi liabilities bagi Anda yang memilih menjadi
pecundang.
#Customers Are Connected
Untuk pertama kalinya dalam sejarah umat manusia, setelah ditemukannya
social technologies, konsumen menjadi terhubung satu sama lain membentuk
jejaring (customer network). Jejaring konsumen ini berelaborasi menjadi
cluster-cluster konsumen karena adanya satu minat atau tujuan yang sama
(common interest) sehingga membentuk komunitas. Dengan medium jejaring
sosial (social network) komunitas ini tumbuh demikian subur di mana
antar anggota komunitas berinteraksi satu sama lain (melakukan
conversation, engagement, cocreation).
Kalau sudah begini, maka internet akan berisi jutaan bahkan miliaran
komunitas konsumen yang saling terkoneksi dan berinteraksi satu sama
lain secara natural tanpa satu pun instiusi yang bisa mengatur dan
mengontrolnya. Mereka akan menjadi sebuah kekuatan massif yang sangat
powerful dalam berhadapan dengan pemilik merek. Kasus “Dell Hell”, “Koin
Untuk Prita”, hastag #25Jan atau #Suez dalam revolusi rakyat di Mesir,
adalah sinyal-sinyal awal betapa konsumen menjadi demikian digdaya
karena adanya social technologies.
Karena customer metamorphosis ini, saya confident mengatakan bahwa:
“the future of marketing is community marketing”. Ketika kita berbicara
community marketing maka rumus-rumus marketing secara fundamental akan
berubah:
dari “vertical” ke “horizontal”;
dari “one to many” ke “many to
many”;
dari “selling” ke “facilitating”;
dari “broadcasting” ke
“participating”;
dari “exploitative” ke “cocreative”;
dari “selfish” ke
“giving”.
#Consumption Becomes Collaborative
Jakarta macet karena setiap orang membeli mobil. Jakarta pekat asap
hitam karena setiap orang memiliki mobil. Kenapa tidak memiliki hanya
satu mobil yang dipakai secara beramai-ramai (sharing) di antara katakan
10 atau 15 warga Jakarta secara bergantian. Kalau ini bisa dilakukan,
maka populasi mobil di Jakarta akan kecil, kepulan asap yang disemburkan
knalpot akan kecil, jalanan Jakarta lebih tidak macet. Dan kalau
kemacetan dan polusi bisa dipangkas, maka manfaat sosial yang dihasilkan
akan luar biasa.
Itulah ide dasar di balik apa yang disebut collaborative consumption.
Ketika konsumen terkoneksi satu sama lain dan social technologies telah
tersedia, maka “konsumsi berjamaah” yang dijalankan dalam peer-to-peer
platform ini dimungkinkan. Model bisnis inilah yang melandasi operasi
perusahaan-perusahaan masa depan seperti Zipcar, Zilok, atau Freecycle.
Dengan collaborative consumption kita tak perlu memiliki produk yang
kita konsumsi: “What’s mine is ours”. Itu sebabnya model bisnis ini
sangat menghemat sumber daya. Dan karena hemat sumber daya, ia menjadi
solusi luar biasa bagi bumi yang kian pucat dan kurus. Collaborative
consumption tak hanya berlaku untuk mobil, tapi berlaku produk dan
layanan apapun. Saya meramalkan bisnis-bisnis dengan platform
collaborative consumption akan menjadi deadly business model yang akan
meruntuhkan banyak model bisnis tradisional yang usang dan tak relevan.
#Bits Is the Killer App
Transformasi terbesar yang dihadapi umat manusia di abad 21 ini adalah
revolusi dari “atoms” ke “bits”. Revolusi itu seperti tornado yang
menyapu bersih apapun yang dilewati. Tornado itu membumihanguskan
pecundang, sekaligus menyisakan pemenang. Google dan Facebook menjadi
raksasa baru dalam waktu superkilat karena kesigapannya melalui revolusi
atoms ke bits. Sebaliknya, Kodak terpaksa tutup karena tak berdaya
melewati revolusi atoms ke bits. Kodak tak mulus menjalani transisi dari
fotografi analog ke fotografi digital.
Bits is the killer app. Banyak korban berjatuhan karenanya. Borders
“dibunuh” oleh Amazon. Toko CD “dibunuh” oleh iTunes. Penerbit “dibunuh”
oleh Lulu.com. Layanan interlokal “dibunuh” oleh Skype. Ensiklopedia
Britanica “dibunuh” oleh Wikipedia. Koran dan majalah “dibunuh” oleh
blog.
Ketika informasi dipaket dalam bentuk bits, maka informasi kemudian
tersedia secara berlimpah (abundant), begitu mudah didapatkan dan dicari
(findable/searchable), dan yang terpenting ia menjadi grastis (free).
Ketika pengetahuan dipaket dalam bentuk bits, maka ia kemudian menjadi
seperti O2 yang tersedia secara berlimpah dan gratis. “Once something
becomes bits, it inevitably becomes free.” Ini memicu terciptanya model
bisnis paling mematikan saat ini yaitu “free business model”.
Saya melihat, tiga fenomena di atas merupakan persoalan besar di
depan mata yang harus dibereskan setiap marketer. Tiga pertanyaan
tersebut tak gampang dicari jawabannya karena melibatkan perubahan rule
of the game pemasaran yang begitu fundamental. Untuk melakukannya
marketer harus menciptakan inner sense of urgency. Ia harus berani
keluar dari zona nyaman dan berani membalas creative destruction yang
menimpa industri dengan creative destruction dalam paradigma dan
pendekatan pemasaran yang digunakan.
Persoalan pelik yang selalu mengiringi sebuah perubahan paradigma
adalah begitu perkasanya legacy masa lampau dalam mengungkung pikiran
kita. Legacy inilah yang membuat otak kita beku. Dengan beku otak kita
akan menganggap resep-resep mujarap masa lalu sebagai yang terbaik dan
terbenar; sementara paradigma dan pendekatan baru adalah teroris yang
sedari dini harus ditumpas. Di tengah kebekuan, otak kita memerlukan
rebooting untuk menjadi kanvas putih-bersih.
Hanya dengan terus belajar dan paranoid terhadap setiap perubahan
kita akan menjadi brand gardener yang hebat. Kuncinya sederhana:
“Janganlah menjadi Kodak!!!”