Dicari: CEO yang Nge-twit!
Posted: Rabu, 09 Mei 2012 by R. Anang Tinosaputra in Label: The Meaning of LeadershipBeberapa hari lalu saya berkesempatan ngobrol dengan CEO
(chief executive officer) salah satu perusahaan keuangan nasional
terkemuka. Entah kenapa saya iseng tanya: “Bapak punya akun Twitter?”
Jawab si CEO straight forward: “tidak!” Mendengar jawaban yang konfiden
itu saya langsung menimpali: “Kenapa tidak?” Sejurus kemudian si CEO
menjawab: “Wah, kita-kita ini banyak urusan, nggak ada waktu untuk
twitteran.”
Ungkapan di atas adalah jawaban tipikal yang diberikan oleh kalangan
CEO perusahaan besar ketika ditanya apakah mereka menggunakan media
sosial untuk berinteraksi dan menjalin hubungan baik dengan
stakeholders. Memang saya tak punya datanya, namun dari pengamatan umum
yang saya lakukan, sangat sedikit kalangan CEO perusahaan besar yang
memanfaatkan Twitter untuk menjalin relationship dengan seluruh kalangan
satkeholders perusahaan: pelanggan, karyawan, partner, pers, LSM, dsb.
Tapi selang beberapa hari kemudian, saya dikejutkan ketika akun twitter saya di-follow sama orang terkontroversial di negeri ini, Dahlan Iskan. Wow... Pak Dahlan akhirnya nge-twit!
#Too Busy to Tweet
Segudang alasan dikemukakan oleh CEO mengenai kenapa mereka tidak menggunakan Twitter untuk kepentingan strategis perusahaan. Pertama,
seperti dikemukakan CEO teman saya di atas, karena mereka terlalu sibuk
untuk ngetwit. Mereka merasakan kerepotan luar biasa kalau harus
merespons tweet, mention, pertanyaan, atau komentar dari para followers.
Sementara, memang jadual rapat-rapat mereka begitu padat. Resistensi
terhadap Twitter ini makin komplit kalau si CEO juga gaptek, alias gagap
teknologi.
Kedua, karena para CEO ini menganggap Twitter adalah “mainan anak-anak”
yang hanya cocok untuk ABG dan anak SMA/mahasiswa (dan orang tua yang
sok muda seperti saya, hehehe…). Mereka menganggap Twitter bukanlah
strategic tools untuk mereka. Celakanya, mereka menganggap isi
conversation di Twitter hanyalah sebatas obrolan remeh-temeh yang tidak perlu dan tak jelas juntrungan-nya. Karena itu mereka menganggap ngetwit
adalah pekerjaan buang-buang waktu yang tidak menghasilkan sales bagi
perusahaan.
Ketiga, mereka merasa informasi pribadi atau
informasi perusahaan bisa terekspos ke luar jika mereka tiap hari
ngetwit. Memang, jika seorang dengan posisi strategis seperti CEO aktif
melakukan conversation di Twitter, maka ada kemungkinan informasi
perusahaan terekspos ke publik. Informasi-informasi itu bisa menjadi
obyek intelijen bagi para pesaingnya, sehingga twit-twit yang
dikeluarkan oleh si CEO harus dikelola secara hati-hati. Tak hanya itu,
ketika seorang CEO aktif di Twitter, maka dengan sendirinya ia akan
terbuka terhadap masukan dan kritik dari followers baik yang membangun
maupun yang destruktif.
#Hilang Peluang
Apa dampaknya jika CEO dari begitu banyak perusahaan besar di Indonesia
tidak menggunakan Twitter? Dampaknya selintas sepele, namun kalau kita
telusur lebih lanjut, luar biasa besarnya. Dengan tidak mengadopsi
Twitter, Facebook, atau blog, ia akan kehilangan peluang yang luar biasa
untuk bisa berinteraksi dan membangun koneksi (emotional connection) dengan pelanggan, karyawan, partner bisnis, dan anggota stakeholders perusahaan lainnya.
Si CEO juga melewatkan peluang untuk menjadi advocator dan evangelist bagi perusahaan yang ia pimpin. Seperti dilakukan Tony Hsieh, CEO Zappos,
kehadiran CEO di media sosial bisa mendongkrak corporate brand dari
organisasi yang dipimpinnya. Dengan cerdas Tony Hsieh menggunakan
Twitter untuk mengomunikasikan nilai-nilai budaya perusahaan (disebut Core Values Frog,
CVF) baik secara internal ke seluruh karyawan, maupun secara eksternal
ke pelanggan dan stakeholders terkait. Hasilnya luar biasa, reputasi
Zappos terdongkrak naik dan ujung-ujungnya sales meroket tajam.
Media sosial seperti Twitter adalah medium yang ampuh untuk mendengar
suara konsumen. Karena itu, dengan berinteraksi intens dengan konsumen
melalui Twitter, CEO juga bisa mendapatkan insight-insight sangat
berharga mengenai produk dan layanan langsung dari tangan pertama di
pasar. CEO bisa mendapatkan masukan-masukan bermanfaat dari karyawan
mengenai berbagai isu organisasi mulai dari budaya perusahaan,
kebijakan-kebijakan yang ia ambil, atau sistem-sistem yang sedang
dijalankan. Dengan tidak hadir di jagat media sosial, sekali lagi CEO
kehilangan peluang sangat berharga.
#Lambat
Beberapa tahun terakhir ini saya intens mengamati penerapan media sosial
sebagai strategic tools untuk membangun daya saing perusahaan di
Indonesia. Kesimpulan saya, adopsi dan penerapan media sosial ini,
khususnya untuk perusahaan besar, berjalan lambat. Memang banyak
perusahaan yang sudah punya akun Twitter dan Facebook. Banyak juga yang
sudah memiliki corporate blog. Tapi sangat sedikit yang mengelolanya
secara benar dan dilandasi pertimbangan-pertimbangan strategis.
Salah satu sebab kuncinya, menurut saya, adalah tak adanya sponsorship dari
CEO sebagai pucuk pimpinan perusahaan. Banyak inisiatif penerapan media
sosial di perusahaan diprakarsai oleh kalangan manajer di level tengah.
Kalangan manajer ini umumnya masih muda dan sangat “social media freak”
sehingga mereka sangat exciting dan bersemangat melakukannya. Masalah
muncul karena ia tak cukup mendapatkan dukungan dari CEO disebabkan
berbagai alasan seperti saya sebutkan di atas.
Kalau sponsorship dari CEO lemah, maka bisa diduga insiatif
seambisius apapun akan melempem di tengah jalan. Inisiatif itu kurang
mendapatkan resources memadai karena tidak menjadi prioritas perusahaan.
Inisiatif itu juga terlokalisir menjadi program taktikal yang punya
efek minimal bagi kinerja perusahaan. Kalau sudah begitu maka peran
media sosial sebagai strategic tools untuk mendongkrak daya saing
perusahaan pun menjadi tak berarti. Tak heran jika kasus-kasus penerapan
strategi media sosial yang breakthrough tak kunjung kita dapati di
negeri ini.
Indonesia membutuhkan CEO-CEO yang visionary dan berwawasan media
sosial. Karena itu melalui artikel ini saya mau curi-curi pasang iklan
baris. Bunyinya: “Dicari: CEO Yang Ngetwit!”
Monggo bergabung!