Energi Negatif! Energi Positif!
Posted: Rabu, 09 Mei 2012 by R. Anang Tinosaputra in Label: The Meaning of LifeKamis Malam (29/3) saya demam luar biasa, terkena radang tenggorokan.
Sendi-sendi linu bukan main, badan greges-greges. Sekujur tubuh seperti
ditinju bogem mentah Muhammad Ali, sakit semua. Karena
itu hari Jumatnya saya fully bedrest, terkapar tanpa daya. Hari itu
Jakarta, Medan, Yogya, Makasar, dan puluhan kota lain di seantero
Nusantara panas oleh demo BBM. Di tengah keterkaparan, saya khusuk
mengikuti menit demi menit aksi mahasiswa membela rakyat melalui layar
beberapa stasiun TV nasional. Saya gonta-ganti channel untuk memburu
peristiwa-peristiwa demo BBM paling gres.
Tentunya, seperti 240 juta rakyat Indonesia yang lain, momen-momen
mendebarkan yang paling saya tunggu adalah Sidang Paripurna untuk
mengambil keputusan kenaikan BBM. Drama Sidang Paripurna kenaikan BBM
akhirnya bisa saya saksikan lepas Magrib, setelah beberapa stasiun TV
menayangkannya live dari gedung DPR.
#Energi Negatif
Belum seperempat jam menyaksikan Sidang Paripurna, kepala saya yang
sudah pening jadi tambah pening luar biasa. Pelan-pelan perut saya mulai
mual-mual, serasa bubur ayam yang pagi saya santap mau tumpah-ruah di
kasur. Bogem Muhammad Ali pun terasa bertambah kencang dari awalnya 100
pukulan permenit menjadi 1000 pukulan permenit. Menonton tayangan layar
kaca, saya sedih luar biasa, sambil mengelus dada: “Ooow begini ini ya
wakil rakyat kita kalau sedang rapat”.
Terus-terang baru kali ini saya tahu detil isi dan suasana sidang
para wakil rakyat yang super terhormat. Terus-terang saya shock luar
biasa melihat suasana rapat yang lebih pantas saya lihat di Terminal Pulogadung, ketimbang di Gedung DPR
yang terhormat. Bagaimana tidak shock, di rapat yang sangat keramat itu
saya melihat tidak ada yang namanya sopan-santun rapat; tidak ada etika
bermusyawarah, tak ada tenggang-rasa antar peserta, learderless alias
seolah tidak ada pemimpin sidang, sehingga kondisinya chaotic, kacau
balau, sama sekali jauh dari substansi sidang yang diharapkan 240 juta
rakyat Indonesia. Peserta sidang terlihat kekanak-kanakan. Saya tak melihat ada wisdom dan kearifan sosok wakil rakyat di ruangan itu. Saya tidak melihat ada nurani di ruangan maha terhormat itu.
Bagaimana tidak chaos, ketika pimpinan sidang bicara, sekitar
sembilan hingga sepuluh peserta secara bersamaan ngoceh ngelantur sampai
saya susah menangkap apa isi omongan pemimpin sidang. Pemimpin sidang
dilecehkan oleh peserta seperti tak ada harganya sama sekali. Sambil
mengelus dada saya berpikir, “Lha wong debat di warung kopi saja tidak
sekrodit, sekacau, dan seblunder ini”.
Semua peserta saling berebut
untuk bisa bicara, tak bisa dipotong dan dihentikan. Masing-masing mau
menangnya sendiri. Siapa yang omongannya paling keras (“ala preman”), ia
yang menguasai diskusi. Saya tak habis pikir, bagaimana mungkin nasib
240 juta orang ditentukan oleh forum macam ini.
Celakanya, (ini yang membuat saya makin mules) di tengah
serius-seriusnya peserta berdebat untuk membela nasib 240 juta rakyat,
kok masih sempat-sempatnya ada peserta yang gojeg di depan mikropon
menyanyi lagunya mbah Surip: “Tak gendhong,
kemana-mana”. Parah!!! Begitu pula ketika ada fraksi yang memutuskan
untuk walk-out karena merasa aspirasinya tak didengar oleh pimpinan
sidang, yang terjadi seluruh peserta justru girang menyorakinya,
bukannya menyesalkan karena dengan begitu aspirasi rakyat terkebiri.
Sungguh kekanak-kanakan! Sungguh memalukan!
Karena Muhammad Ali makin mengganas meninju-ninju kepala saya, saya
limbung. Di tengah keterlimbungan itulah saya berpikir bahwa saya sedang
menonton sinetron. Sinetron yang sarat dengan intrik, penuh dengan
sandiwara, pekat diwarnai konflik dan perebutan kepentingan, sarat
dengan pembonsaian akal sehat. Tapi akhirnya saya sadar apa yang saya
tonton itu nyata. Sebuah kenyataan yang memalukan. Serta-merta saya pun
kemudian berdoa, semoga CNN atau BBC tidak ikut-ikutan menyuplik tayangan itu untuk diekspor ke seluruh dunia.
#Energi Positif
Menyaksikan sidang paripurna membuat saya semakin terkapar di-KO
Muhammad Ali. Di tengah keterkaparan yang kian meradang, jari-jemari
saya masih menari-nari di ujung remote control. Secepat kilat saya
menemukan channel acara konser musik rock dini hari yang menampilkan
selingan obrolan dengan Harry Van Yogya. Belum 2 menit mendengarkan tuturan inpiratif dari sosok satu ini, tak tahu kenapa otak saya mendadak terang.
Harry (45) adalah tukang becak di Jl. Prawirotaman, Yogyakarta yang menggunakan Friendster (dulu), Facebook, Twitter, bahkan blog di Multiply untuk menarik konsumen dari seantero jagat. Narik becak kemanapun ia selalu membawa laptop untuk bisa stay connect
dengan dunia maya. Ia seorang blogger yang aktif mempromosikan
Yogyakarta sekaligus menarik konsumen menggunakan jasanya. Untuk
membangun loyalitas pelanggan, ia melakukan conversation dan engagement dengan
menggunakan Facebok (facebook.com/harryvanyogya) dan Twitter (#FF
@harryvanyogya). “Kalau malam, Twitter ramai banget. Saya sibuk balas
mention satu persatu,” ujarnya.
Harry pernah kuliah di jurusan Matematika Universitas Sanata Dharma,
tapi kemudian kandas karena bapaknya yang tukang becak tak sanggup
membiayai. Karena itu ia kemudian banting setir menjadi tukang becak
seperti ayahnya. Sampai kini Harry sudah menekuni profesi ini selama
lebih dari 20 tahun dengan penuh keikhlasan, kejujuran, dan kebanggaan.
Berbekal kemauan belajar yang luar biasa, Harry menjadi sosok tukang
becak yang luar biasa. Ia menguasai dua bahasa, Inggris dan Belanda,
karena itu ia konfiden menawarakan jasa ke seluruh dunia dengan
menggunakan media sosial. Tak hanya itu, melalui jagat maya ia juga
menjadi ambasador bagi pariwisata Yogya.
Walaupun kini dia sudah menjadi selebriti karena sudah nongol puluhan
kali di acara TV dan halaman koran-majalah, tapi Harry tetap bersahaja,
“Profesi utama saya tetap tukang becak. Saya nggak mau seperti Briptu
Norman,” ujarnya polos.
Inspirasi, keteladanan, kearifan, kreativitas dan langkah out of the
box Harry Van Yogya mengembalikan optmisme saya mengenai negeri ini,
setelah beberapa jam sebelumnya luluh-lantak oleh ulah dan perilaku
kanak-kanak para wakil rakyat. Harry Van Yogya, si tukang becak hebat,
memberi saya suntikan energi positif yang luar biasa.
Energi positif itu demikian hebatnya, sehingga mendadak pening saya
lenyap, linu-linu persendian sirna, badan greges-greges hilang. Tak
hanya itu, kini gantian Muhammad Ali yang KO karena kecapaian meninju
saya.
Untung ada Harry Van Yogya. Di tengah runyam dan karut-marutnya
negeri ini, kita masih beruntung karena punya orang-orang nyentrik dan
luar biasa seperti tukang becak hebat ini. Viva Indonesia!!!
Kalau saya jadi orang yang ikut rapat paripurna BBM, saya malu sama mas Harry!