Saya semakin hari semakin "muak" dengan tagline saya, baik di facebook maupun twitter. Maaf, dunia yang tadinya penuh cinta, kini menjadi seolah-olah layar sampah yang terus terupdate dengan berita-berita atau iklan-iklan yang bertubi-tubi datang tanpa ampun. Bagi saya ini sudah melebihi sampah, bahkan saya hampir setiap hari selalu block teman-teman Facebook atau follower saya yang "hobby beriklan"! Maaf!
Ini adalah awal dari "cyber crime"! Blunder Social Media!
#It’s Another Vertical Media
Blunder pertama adalah, mereka menganggap Facebook dan Twitter adalah
sama dengan media vertikal lain seperti TV, radio, atau surat kabar.
Karena itu, yang mereka lakukan adalah nge-blast iklan ke teman Facebook
atau follower di Twitter. Mereka berpikir, ketika mereka memiliki
puluhan ribu teman/followers maka dengan seenaknya mereka bisa
“menjejali” teman/followers itu dengan pesan-pesan iklan yang memuakkan.
Mereka tidak sadar bahwa platform pemasaran melalui socmed adalah horizontal yang bersifat permission-based, bukan interuption-based seperti halnya iklan TV atau radio (cek buku Yuswohady: CROWD: Marketing Becomes Horizontal).
Ketika seseorang sudah memutuskan untuk menjadi teman/followers sebuah
brand, maka itu sebuah kepercayaan dan amanah yang harus dijaga oleh
brand. Jangan sampai amanah itu “disalahgunakan” dengan memanfaatkan
mereka sebagai “obyek penderita” sasaran pasar brand Anda. Dan karena
itu, kemudian dengan seenaknya Anda bisa membombardir mereka dengan spam
dan pesan-pesan iklan.
Apa “hukuman” yang mereka jatuhkan karena penyalahgunaan amanah tersebut? Yang agak ringan mereka akan menganggap brand Anda selfish dan mencap sebagai spammer. Yang paling fatal Anda di-unfollow atau tak lagi dijadikan teman (di-block).
#It’s One Way
Blunder kedua adalah, mereka menganggap Facebook dan Twitter adalah
media satu arah (one way). Kekuatan utama socmed adalah karena media
baru ini memungkinkan brand dan konsumennya melakukan komunikasi dua
arah (two way) atau istilah kerennya, conversation dan engagement.
Inilah keunggulan utama yang dimiliki socmed dibandingkan TV, radio,
atau koran. Karena media dua arah, maka marketer harus memanfaatkannya
secara proper untuk menjalin hubungan dua arah: Tak hanya brand yang
nerocos jualan produk, tapi si brand juga harus mendengarkan (listen)
dan memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada konsumen untuk curhat ke
brand.
Saya banyak menemui brand yang kerjaannya hanya nerocos kepada
teman/followers-nya tapi tidak pernah mau mendengarkan dan merespons
ocehan mereka. Alasannya macam-macam. Ada yang bilang, sudah kebanyakan
teman/followers sehingga kerepotan kalau menanggapinya satu-persatu. Ada
yang bilang tidak punya waktu karena kesibukan. Ada yang bilang, jaim
alias sok selebriti, karena kalau terlalu dekat dan banyak hal diketahui
mereka, koreng-koreng kelihatan, citra jadi jatuh.
Dengan tidak melakukan conversation dengan konsumen di Facebook dan
Twitter, maka sesungguhnya Anda kehilangan sebuah kesempatan emas.
Kesempatan emas untuk membuka diri Anda kepada mereka. Kesempatan emas
untuk mengetahui lebih banyak dunia mereka. Kesempatan emas untuk
membuka saling pengertian (understanding) dan saling percaya (trust).
Socmed adalah media yang memungkinkan Anda telanjang bulat di depan
konsumen; dan sebaliknya konsumen telanjang bulat di depan Anda. Dengan
saling bertelanjang bulat brand bisa siap “bersetubuh” dengan
konsumennya… hmmm!
#We Can Buy Friends
Blunder ketiga adalah, mereka menganggap teman/followers itu bisa
dibeli. Sekarang ini lagi tren jual beli akun Twitter. Konon satu akun
bisa dihargai ratusan juta perak. Seorang mahasiswa lontang-lanting
punya konten yang sangat kreatif, lucu, nyleneh di Twitter, karena itu
kemudian akunnya di-follow hingga ratusan ribu tweeps. Karena sedang
butuh uang untuk bayar kuliah, maka akun itu dijual ratusan juta rupiah
ke sebuah brand. Lalu oleh si pembeli, akun itu “dibalik nama”
menggunakan nama brand tersebut.
Saya tak habis mengerti bagaimana hal ini bisa terjadi. Esensi sebuah
brand melakukan social media marketing di Facebook atau Twitter adalah
untuk membangun hubungan intim dua arah dengan konsumen yang dilandasi
saling pengertian, saling kepedulian, dan saling trust. Hubungan itu
kalau dipupuk terus-menerus sebulan, setahun, bertahun-tahun, akan
menghasilkan jalinan pertemanan penuh cinta.
Yang saya heran, bagaimana proses membentuk saling pengertian, saling
kepedulian, saling trust, dan saling cinta itu bisa dengan gampang “dipotong kompas”
hanya dengan lembar-lembar rupiah? Proses membangun hubungan dengan
konsumen itu tidak ada yang instan. Hubungan pertemanan penuh
cinta-kasih dengan konsumen itu terbentuk bertahun-tahun, melalui
satunya kata dengan perbuatan, melalui layanan yang penuh kepedulian,
melalui penyelesaiaan masalah-masalah konsumen, melalui komunikasi yang
menyejukkan, dst.
Pertemanan dengan konsumen itu tidak bisa dibeli. Kalau Anda
menganggap konsumen di Facebook atau Twitter bisa dibeli maka itu
artinya Anda menganggap konsumen Anda sebagai PSK… upssss!!!
Bagaimana dengan Anda?
0
0 komentar: