Valentine? ... EGP!
Posted: Minggu, 12 Februari 2012 by R. Anang Tinosaputra in Label: The Meaning of LifeKetika #Consumer3000 basic
needs-nya sudah tercukupi, maka kebutuhan mereka pun kemudian naik
kelas, tak hanya urusan perut tapi juga kebutuhan-kebutuhan lain yang
aneh-aneh. Yang nggak penting-penting kini menjadi penting. Salah
satunya adalah mengungkapkan kasih-sayang di hari Valentine.
Kenapa yang nggak penting-penting sekarang menjadi penting? Sekarang
untuk mengungkapkan kasih-sayang kepada orang-orang yang kita cintai
kita membutuhkan “simbol”; kita membutuhkan “perayaan”; kita butuh “momen mengharukan”. Perasaan dulu nggak gitu-gitu amat!
Dulu mau kasih-kasihan, mau sayang-sayangan, ya spontan saja. Kalau
mau pakai omongan ya ngomong begitu saja, selesai. Kalau mau pakai
tindakan, ya langsung dijalankan tindakan konkritnya, selesai. Dulu
waktu SMA saya mengungkapkan kasih sayang kepada bapak-ibu saya dengan
cara tidak menyusahkan mereka. Caranya dengan tindakan konkrit belajar
keras agar diterima PMDK, terus kuliah yang bener agar gampang cari
kerja. Dulu nggak ada tuh candle-light dinner atau perayaan di diskotik
(apalagi pakai narkoba segala). Orang kampung mah nggak kenal
valentine-valentinan.
#Mahal
Dulu mau kasih-kasihan atau sayang-sayangan murah-meriah, banyak gratisnya. Sekarang mahal minta ampun. Untuk menciptakan “simbol fenomenal”, “perayaan monumental”, atau “momen mengharukan”
di hari Valentine seringkali kita harus menguras kocek. Kalau
mengungkapkan kasih-sayang ala mahasiswa pakai bunga mawar merah yang
dibeli di perempatan bangjo, itu sih murah. Tapi kalau simbol
kasih-sayang itu harus pakai cincin dan kalung berlian; kalau momen
mengharukan itu harus pakai candle-light dinner di hotel bintang lima,
ya jadinya mahal.
Celakanya banyak yang beranggapan, makin mahal perayaan, maka akan
makin monumental dan fenomenal pula ungkapan kasih kita di hari
Valentine. Celakanya lagi, banyak yang beranggapan, makin monumental dan
fenomenal perayaan, maka makin dalam pula cinta kita kepada orang-orang
terkasih. Mengungkapkan kasih pakai puisi di warteg itu mah
sudah jadul, karena murah, karena tidak elit, karena tidak mahal.
#Narsis
Minggu lalu saya mengatakan bahwa era #Consumer3000 dan era media sosial adalah eranya konsumen narsis.
Dulu kita narsis dengan cara pamer tampang. Kini saluran untuk narsis
menjadi bermacam-macam. Salah satunya adalah pamer merayakan Valentine:
bahagianya minta ampun kalau kita merayakan Valentine dilihat tetangga
atau teman. Bagi yang suka ngetwit, sore-sore sudah woro-woro di Twitter
berisi pengumuman bahwa nanti malam mau merayakan ritual candle light
dinner. Selepas ritual dilakukan giliran serunya ber-Valentine di-share
di Twitter atau blog, foto-fotonya di-upload di Facebook.
Memang banyak untungnya kita menggunakan Valentine sebagai obyek
narsis. Ketika semua orang tahu kita merayakan Valentine maka orang akan
melihat kita sebagai sosok penyayang, sosok yang penuh kasih, sosok
yang peduli dengan kekasih kita. Apakah betul kita penyayang dan penuh
kasih, itu tidak penting. Yang penting adalah citra bahwa kita penyayang
dan penuh kasih tersampaikan. Dan dunia narsis makin gampang karena
Twitter, Facebook, atau blog menjadi alat ampuh untuk membetuk citra dan
topeng kita di mata tetangga dan teman-teman.
#Terkorupsi
Siapa bilang saya nggak setuju perayaan Valentine. Saya setuju 1000%
Hari Valentine karena seharusnya perayaan ini mengerek keagungan
kasih-sayang pada posisi terpuncaknya. Namun celaka, seringkali yang
kita dapati perayaan ini justru mereduksi makna kasih sayang yang
substansi dan hakiki. Sebut saja ini “paradoks Valentine”.
Berikut ini fenomena-fenomenanya. Seringkali dengan perayaan
Valentine, keagungan kasih-sayang justru tereduksi hanya sebatas sehari
di saat perayaan. Seringkali dengan perayaan Valentine, keagungan
kasih-sayang justru tereduksi menjadi sebatas bunga mawar merah yang
disemprot parfum mahal. Seringkali dengan perayaan Valentine, keagungan
kasih-sayang justru tereduksi menjadi hanya sebatas candle-light dinner
di hotel berbintang.
Ketika keagungan kasih-sayang terkorupsi, lalu apa yang kemudian
terjadi? Kita jadi kebolak-balik: mengedepankan yang “kulit” dan
mengesampingkan yang “isi”. Kita lebih mengedepankan “simbol-simbol kasih-sayang”, “perayaan kasih-sayang” dan “momen-momen sesaat kasih-sayang”.
Sementara yang prinsip dan substansi, yaitu tindakan kongkrit
sehari-hari yang penuh cinta, penuh kasih, penuh pengertian, penuh
kepedulian, selama 24 jam sehari, 7 hari seminggu, dan 52 minggu
setahun, justru dikesampingkan. Itulah kita, suka yang instan, gampang,
tapi penuh citra.
_________________
Setiap kali datang hari Valentine saya selalu memberikan
tebak-tebakan kepada istri saya. Saya bilang, “Ma, kalau disuruh
memilih satu di antara dua jenis pasangan berikut, mana yang akan Mama pilih? Pertama, pasangan yang sepanjang tahun berantem tak ada saling
sayang sama sekali, hanya satu hari mereka sayang-sayangan yaitu di hari
Valentine, pakai bunga mawar, pakai candle-light dinner di hotel
berbintang atau resto termewah. Sementara yang kedua, pasangan yang sepanjang tahun
sayang-sayangan tanpa sedikitpun berantem, hanya satu hari saja mereka
berantem persis di hari Valentine."
Setiap kali mendapatkan tebak-tebakan itu selalu saja istri saya diam
seribu basa sambil mengernyitkan dahi, kesal!!! Nafsu istri mengajak
saya merayakan Valentine di tempat romantis pun serta-merta meredup.
Saya berandai-andai, mungkin dalam hati istri saya bilang: “hmmmm… ini
suamiku garing amat sih!” Asem ki....!
Have a Great Love, Friends!
Think Big Start Love...