#Konsumen Narsis
Posted: Selasa, 31 Januari 2012 by R. Anang Tinosaputra in Label: The Meaning of MarketingAkhir 2010 saat guru marketing saya, Mas Siwo, mengintroduksi terminologi #Consumer3000, dan dalam beberapa kali diskusi, kami pun sudah sering mengatakan bahwa salah satu ciri dari konsumen gaya baru Indonesia ini adalah terhubung satu sama lain (connected). Dua ciri yang lain adalah, mereka berdaya beli tinggi (high buying power) dan berpengetahuan (knowledgable).
Bagi yang belum tahu, Consumer 3000 adalah istilah yang dipakai untuk menyebut konsumen kelas menengah (middle-class consumers) di Indonesia yang memiliki nilai-nilai (values), perilaku (behavior) dan sikap (attitude) yang unik dan berbeda dengan segmen konsumen lain. Mereka bisa terhubung satu sama lain dan gampang berkomunitas karena hadirnya social technologies
seperti SMS, BBM, Facebook, Twitter, atau blog.
Fenomena connected
customers adalah fenomena pemasaran baru yang begitu marak
perkembangannya bak luapan tsunami sejak 5 tahun terakhir. Terhubungnya
konsumen merubah secara fundamental keseluruhan nilai-nilai, perilaku,
dan sikap konsumen Indonesia. Fenomena baru ini (menggunakan terminologi Rhenald Kasali) menjadikan “DNA” konsumen Indonesia berubah total. Fenomena baru ini membuat “isi otak” konsumen Indonesia mengalami “rebooting”, memori lama terhapus, kemudian terisi dengan hal-hal yang sama sekali baru.
# Connected Means Narcissism
Ketika satu konsumen terhubung satu sama lain, maka secara otomatis
exposure mereka ke konsumen yang lain juga akan terbuka luas. Selama ini
kita memerlukan media massal (broadcasting media)
seperti TV, radio atau koran untuk bisa mendapatkan exposure, dilihat,
dan diperhatikan oleh audiens yang luas. Celakanya media-media itu
berbayar dan karena mahal, tak semua orang mampu mendapatkannya.
Kini, ketika SMS, BBM, Facebook, Twitter, YouTube, atau blog
memungkinkan kita mendapatkan exposure itu dengan murah dan mudah, maka
keinginan kita untuk dilihat dan diperhatikan (saya sebut: “naluri narsis”)
pun menjadi terbebaskan dan terlampiaskan. Tagline YouTube menjadi
semacam “pekik kemerdekaan” yang menandai terbebasnya konsumen untuk
memuaskan kebutuhan narsisnya: “Broadcast Yourself!!!”
Kita percaya dan meyakini bahwa naluri narsis sudah ada sejak jaman purbakala. Kita juga percaya bahwa narsis adalah kebutuhan elementer anak manusia.
Namun karena teknologi tidak memungkinkan kebutuhan narsis itu tercukupi
secara mudah, murah, dan layak, maka kita terpaksa mengekangnya. Sudah
cukup lama kita berpuasa mengekang kebutuhan dan naluri kenarsisan kita.
Ketika social technologies memungkinkan kita menjangkau audiens yang
begitu luas, maka kinilah saatnya kita mengumbar kenarsisan kita. Sebut
saja jaman ini adalah era “democartization of narcissism”. Era dimana siapapun mendapatkan hak penuh untuk narsis, nggak cuma monopoli Depe dan Jupe. Budaya “see and to be seen” pun menjadi wabah yang merajalela.
# Me Personality
Ketika kebutuhan untuk narsis menjadi kian gampang terpenuhi dan
terlampiaskan, maka tren perilaku konsumen ke depan gampang ditebak.
Kepribadian yang mengagungkan keakuan (sebut saja: “me personality”)
bakal marak dan begitu gampang menular dari satu konsumen ke konsumen
lain melalui medium BBM, Facebook, Twitter, atau YouTube.
Persis kata Jean Twenge (penulis dua buku hebat: “The Narcissism Epidemic” dan “Generation Me”) bahwa narsis itu menular: “narcissism is contagious!!!”. Twenge bahkan sudah melakukan survei menelusuri tren Narcissistic Personality Inventory Score (NPI
score) di kalangan mahasiswa di Amerika selama kurun waktu 1982-2006.
Hasilnya, tingkat narsisme mereka naik tajam. Bagaimana dengan di
Indonesia?
“Me personality” menempatkan diri kita (“aku”) sebagai pusat dari hal-hal di luar kita (self-centered). Orang yang memiliki kepribadian semacam ini akan menganggap diri mereka sebagai “aktor utama” dan orang lain sebagai “figuran”.
Mereka akan menganggap diri mereka sebagai mahluk yang paling spesial,
paling cantik-ganteng, paling pintar, paling kreatif, paling peduli,
paling superior, dan segudang “paling” yang lain. Di sisi lain mereka
juga menganggap orang di luar dirinya sebagai medioker, rata-rata,
pecundang, atau inferior.
# Pribadi Tak Utuh
Sudah menjadi naluri kita semua, bahwa kalau kita ingin menunjukkan diri
kita ke orang banyak, maka yang kita tampilkan adalah yang baik-baik
saja. Keluarkan yang baik-baik, sembunyikan rapat-rapat yang
jelek-jelek. Tak heran jika yang muncul kemudian adalah “mentalitas selebriti”,
tampil prima, sempurna, tanpa cacat di depan audiens, walaupun di balik
itu banyak sampah-sampah dan borok-borok bertebaran. Menjadi celaka
kalau sampah dan borok itu membusuk… ups!!!
Contoh gampangnya adalah foto profil kita di BBM, Facebook, atau
Twitter. Pasti kita ambil foto-foto itu adalah foto-foto tercantik dan
terganteng kita. (hehehe… foto profil saya di Twitter keren bukan main,
jauh dari wajah aslinya). Pasti tak ada yang “bunuh diri” dengan
memasang foto profil jelek.
Omongan kita di blog, Facebook, atau Twitter juga kita atur
sedemikian rupa sehingga terbentuk citra bahwa kita adalah orang
terhebat di dunia, terbijak di dunia, dan teralim di dunia. Sisi
jeleknya kita sembunyikan rapat-rapat, jangan sampai audiens kita tahu.
Tak heran jika artikel atau ebook bertopik: “effective personal
branding” atau “how to build personal image” menjadi laris manis di
internet.
Kalau sudah begitu, maka kita menjadi mahluk dengan jiwa yang tereduksi. Kita menjadi pribadi yang tak utuh, pekat dilumuri pencitraan dan kepura-puraan, lebih parah lagi tindak-tanduk dan perilaku kita diwarnai kemunafikan.
Lepas dari kontroversi yang melingkupinya, rasanya kita makin
comfortable dengan kenarsisan kita. Buktinya, banyak teman Facebook atau
Twitter saya berkomentar enteng mengenai narsisme. Kata mereka: “Narsis… siapa takuuuut!!!” atau "Hari gini ga Narsis, ga Eksis!!!"
Bagaimana dengan Anda?