Jika Politisi Membangun Brand-nya!
Posted: Kamis, 23 Februari 2012 by R. Anang Tinosaputra in Label: The Meaning of MarketingBeberapa bulan terakhir ini banyak brand para politisi yang
gonjang-ganjing, flop. Sebabnya kita semua tahu, tidak jauh-jauh dari
urusan korupsi, sogok-menyogok, penyalahgunaan wewenang, hingga politik
uang. Yang sedang hot tentu saja kasus korupsi dan sogok-menyogok Wisma
Atlet Sea Games. Politisi-politisi ternama tersangkut: Nazaruddin, Anas
Urbaningrum, Angelina Sondakh, Andi Malarangeng, I Wayan Koster, dan
lain-lain.
Di antara para politisi selebritas itu ada yang sudah ditetapkan
sebagai tersangka oleh KPK, ada yang belum, tapi oleh publik sudah
dihakimi menjadi “tersangka”, “terdakwa”, bahkan sudah divonis
“bersalah”. Dan celakanya, wisdom of crowd itu sudah dianggap sebagai
kebenaran umum, tanpa si politisi mampu menangkalnya. Siapa bisa
mengalahkan hegemoni opini publik?
#Pekerjaan Berat
Setiap gerak-gerik politisi kini diawasi dan dijadikan “opera sabun”
oleh stasiun TV, dikemas dan disajikan di ruang-ruang keluarga, untuk
kita nikmati sambil makan popcorn plus nyruput Coke. Dalam opera sabun
itu politisi dikupas dan ditelanjangi. Perilaku-perilakunya,
keputusan-keputusannya, pandangan-pandangannya, ngomong ngawur-nya,
keteledoran-keteledorannya, latar belakang keluarganya, urusan-urusan
pribadinya (dari selingkuh hingga adegan mesum di Internet), semuanya
diulas dan dibeberkan ke publik.
Ada beberapa politisi yang cerdik memanfaatkan pentas opera sabun itu
untuk membangun pencitraan. Mereka banyak mengomentari isu-isu
politik-sosial yang aktual, ada yang lumayan isinya, tapi tak sedikit
yang ngawur dan malah membingungkan. Mereka memberikan analisis-analisis kritis di
panggung-panggung talk show agar terlihat pintar. Acapkali mereka tampil
dengan roman muka serius ketika diwawancarai host agar kelihatan bijak
dan peduli kepada rakyat. Celakanya, makin banyak para politisi ini
tampil di media, bukan citra kinclong yang mereka dapat, tapi justru
sebaliknya. Ya, karena kepercayaan masyarakat (public trust) kepada politisi kini sedang berada di titik nadir.
Mereka masih beruntung, lebih celaka lagi adalah politisi yang sudah
terhakimi oleh opini publik yang simpang-siur seperti dialami para
politisi Partai Demokrat di atas. Walaupun sampai detik ini palu hakim belum diketuk, sudah bisa dipastikan reputasi merek (brand reputation)
mereka telah hancur berkeping. Saya masih belum bisa membayangkan
bagaimana reputasi itu bisa dipulihkan, bahkan ketika mereka terbukti
tak bersalah.
Intinya saya ingin mengatakan bahwa membangun brand politisi di
Indonesia bukan pekerjaan gampang. Begitu banyak faktor-faktor tak
menentu (uncertain) dan tak terkontrol (uncontrolable)
yang dihadapi politisi, sehingga aktivitas brand-building menjadi
demikian rumit dan unmanagable. Saya tak ragu mengatakan bahwa membangun
brand politisi itu jauh lebih sulit dibanding dengan produk atau
perusahaan. Pertanyaannya, bagaimana kita bisa membangun brand politisi
yang solid, ampuh, dan sustainable?
#Tingkatan Brand
Saya membagi brand politisi ke dalam tiga tingkatan. Tingkatan pertama adalah brand awareness,
yaitu seberapa besar si politisi dikenal oleh publik dan konstituennya.
Tak sulit membangun brand awareness bagi para politisi apalagi kalau
mereka adalah konglomerat yang bisnisnya meradang dan duitnya tak kenal
seri. Mereka tinggal pasang iklan di TV, radio, atau koran. Mereka bisa
pasang billboard di jalan-jalan protokol kota dan kabupaten di seluruh
Tanah Air. Mereka juga dengan mudah pasang spanduk dan menempel poster
foto mereka di desa-desa dan kampung-kampung.
Pada Pemilu yang lalu politisi PAN Sutrisno Bachir
melakukan ini dengan mengusung kampanye iklan sangat massif di TV,
Radio, dan koran. Fotonya juga terpampang di billboard, spanduk, dan
poster di seluruh pelosok Tanah Air. Hasilnya luar biasa, tak bisa
dipungkiri brand awareness politisi yang kini tenggelam ini meroket luar
biasa waktu itu.
Tingkatan kedua adalah brand association, yaitu asosiasi yang terbentuk di benak audiens ketika mendengar atau melihat sosok si politisi. Politisi Partai Gerindra Prabowo Subianto
misalnya, dalam Pemilu lalu membangun asosiasi sebagai capres yang
peduli pada nasib petani dan nelayan. Brand association ini dibentuk
dengan melakukan strategi pencitraan ke khalayak.
Namanya pencitraan, kalau bisa yang baik-baik diomongkan; yang
jelek-jelek ditutup rapat-rapat. Saya sering menyebut pencitraan sebagai
strategi “pupur dan gincu”. Maksudnya, tidak masalah
borok-borok bertebaran di seluruh tubuh dan muka, asal pupur dan
gincunya tebal, so pasti tubuh dan muka akan tetap kelihatan kinclong.
Pencitraan menghasilkan kecantikan palsu bukan kecantikan alamiah gadis
dusun.
#Character Matter
Tingkatan ketiga adalah brand character, yaitu
keutamaan brand si politisi yang tercipta karena nilai-nilai luhur yang
diyakini dan praktekkan. Keutamaan brand yang terbentuk karena perilaku
arif-bijaksana yang dilakoninya. Dan keutamaan brand yang terpancar
karena akumulasi tindakan-tindakan yang dilandasi moralitas dan etika.
Akumulasi tindakan-tindakan luhur itu membentuk jejak rekam si politisi.
Akumulasi tindakan-tindakan al amin itu menentukan siapa si politisi
itu sesungguhnya (“who he is”).
Brand character tak cukup dibentuk melalui ucapan-ucapan si politisi
di acara talk show TV atau wawancara media. Brand character terbentuk
melalui ucapan, pikiran, dan tindakan riil si politisi. Brand character
tak perlu pupur dan gincu. Brand character tak perlu kecantikan palsu di
layar kaca atau halaman-halaman koran.
Ketika kekuatan brand seorang politisi hanya ditopang oleh awareness
dan association, maka sesungguhnya bangunan brand tersebut rapuh. Brand
seorang politisi akan solid, ampuh, dan sustainable hanya jika bangunan
brand tersebut ditopang oleh karakter luhur si politisi.
Ingat, luhur bukan berarti tanpa cela atau tidak pernah berbuat salah. Saya selalu mengatakan, reputasi seseorang termasuk politisi tidak diukur dari keterpenuhinya janji sesuai waktunya, tapi diukur dari keberanian mereka mengakui kesalahan dan kecepatan mereka melakukan perbaikan, selain tentu upaya tanggung jawab memenuhi janji!
Ketika
brand-building politisi demikian uncertain dan uncontrolable, maka resep
suksesnya hanya satu kata: karakter!!!. Yes… character matters!!!
Dan karakter terbangun bukan dengan mudah dan selalu baik-benar, karakter juga terbangun dari kondisi yang tidak selamanya menguntungkan!!
Think Big Start Small...