Jika Politisi Membangun Brand-nya!

Posted: Kamis, 23 Februari 2012 by R. Anang Tinosaputra in Label:
0

Beberapa bulan terakhir ini banyak brand para politisi yang gonjang-ganjing, flop. Sebabnya kita semua tahu, tidak jauh-jauh dari urusan korupsi, sogok-menyogok, penyalahgunaan wewenang, hingga politik uang. Yang sedang hot tentu saja kasus korupsi dan sogok-menyogok Wisma Atlet Sea Games. Politisi-politisi ternama tersangkut: Nazaruddin, Anas Urbaningrum, Angelina Sondakh, Andi Malarangeng, I Wayan Koster, dan lain-lain.

Di antara para politisi selebritas itu ada yang sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, ada yang belum, tapi oleh publik sudah dihakimi  menjadi “tersangka”, “terdakwa”, bahkan sudah divonis “bersalah”. Dan celakanya, wisdom of crowd itu sudah dianggap sebagai kebenaran umum, tanpa si politisi mampu menangkalnya. Siapa bisa mengalahkan hegemoni opini publik?

Brand 'Indonesia'

Posted: Minggu, 12 Februari 2012 by R. Anang Tinosaputra in Label:
0

Beberapa tahun silam saya di ajak Mas Siwo ikutan nimbrung menyusun strategi branding Yogyakarta ber-tagline Jogja Never Ending Asia”. Saya masih ingat, waktu itu terjadi diskusi seru menyangkut bagaimana memosisikan Yogya di benak konsumen yaitu trader, tourists, dan investor (TTI). Opsinya adalah apakah Yogya dilekatkan ke Indonesia atau Asia. Setelah melalui perdebatan panjang akhirnya diputuskan Asia, bukan Indonesia. Makanya tagline yang kemudian muncul adalah: “Jogja Never-Ending Asia”, bukan “Jogja Never-Ending Indonesia”.

Kenapa? Karena image Indonesia waktu itu memang masih compang-camping. Begitu mendengar kata “Indonesia”, maka yang muncul di benak nggak jauh-jauh dari kerusuhan, penjarahan, dan korupsi. Ya, memang waktu itu Indonesia sedang marak-maraknya kerusuhan dan penjarahan akibat krisis ekonomi 1998. Kalau image Indonesia amburadul, bagaimana trader, tourist, dan investor mau membanjiri Yogya?

Inilah hebatnya country brand. Merek jam begitu dilekatkan dengan negeri Swiss akan langsung terdongkrak ekuitasnya. Merek mobil begitu dilekatkan dengan negeri Jerman akan terdogkrak ekuitasnya. Produk elektronik begitu dilekatkan dengan negeri Jepang akan terdongkrak ekuitasnya. Waktu itu, kalau Yogya dilekatkan ke Indonesia, maka ekuitasnya akan ikut-ikutan amburadul. Bagi Yogya, Indonesia waktu itu bukanlah asset, tapi liabilities.

Valentine? ... EGP!

Posted: Minggu, 12 Februari 2012 by R. Anang Tinosaputra in Label:
0

Ketika #Consumer3000 basic needs-nya sudah tercukupi, maka kebutuhan mereka pun kemudian naik kelas, tak hanya urusan perut tapi juga kebutuhan-kebutuhan lain yang aneh-aneh. Yang nggak penting-penting kini menjadi penting. Salah satunya adalah mengungkapkan kasih-sayang di hari Valentine.

Kenapa yang nggak penting-penting sekarang menjadi penting? Sekarang untuk mengungkapkan kasih-sayang kepada orang-orang yang kita cintai kita membutuhkan “simbol”; kita membutuhkan “perayaan”; kita butuh “momen mengharukan”. Perasaan dulu nggak gitu-gitu amat!

Dulu mau kasih-kasihan, mau sayang-sayangan, ya spontan saja. Kalau mau pakai omongan ya ngomong begitu saja, selesai. Kalau mau pakai tindakan, ya langsung dijalankan tindakan konkritnya, selesai. Dulu waktu SMA saya mengungkapkan kasih sayang kepada bapak-ibu saya dengan cara tidak menyusahkan mereka. Caranya dengan tindakan konkrit belajar keras agar diterima PMDK, terus kuliah yang bener agar gampang cari kerja. Dulu nggak ada tuh candle-light dinner atau perayaan di diskotik (apalagi pakai narkoba segala). Orang kampung mah nggak kenal valentine-valentinan.