Principle 2. Love Is Conversations
Posted: Senin, 20 Juni 2011 by R. Anang Tinosaputra in Label: The Meaning of Credit Union
0
Ini adalah hari ketiga saya menulis seri tulisan Credit Union Marketing Is Love Marketing, sebuah konsep mengenai pemasaran di CU. Seperti telah saya uraikan sebelumnya, konsep ini mengandung 8 prinsip cinta yaitu: memberi (giving), ngobrol (conversation), mendengar (listening), berbagi (sharing), peduli (caring), empati (empathy), kepercayaan (trust), pertemanan (friendship). Hari ini giliran saya mengulas prinsip yang kedua yaitu: ‘Love Is Conversation’.
CU bukanlah medium untuk mem-broadcast pesan seperti halnya TV atau Radio. CU adalah medium untuk ngobrol (conversation). Namanya ngobrol, maka arah komunikasinya ‘dua arah’. Itu kalau dua orang, kalau ngobrolnya dengan banyak orang di dalam komunitas maka komunikasinya nggak hanya dua arah, tapi ‘ke segala arah’. Inilah perbedaan mendasar antara ‘broadcasting’ dengan ‘conversation’.
Love Without Conversation Is Impossible
Saya mengatakan ‘Love Is Conversation’ karena tak mungkin cinta terbentuk tanpa adanya ‘conversation’ yang intens, dua arah, dan diliputi saling pengertian. Bagaimana mungkin kita tidak pernah ngobrol bisa saling cinta. ‘Love without conversation is impossible’, ujar Mortimer Adler, filosof kenamaan Amerika.
Itulah sebabnya Sariwangi dalam kampanye iklannya konsisten menekankan pentingnya ‘ngomong’ (dengan teh ngepul di meja tentu saja… hehehe jualan nggak boleh ketinggalan) antara para suami dan istri, agar keharmonisan cinta terus bersemi di dalam keluarga. Tema kampanye Sariwangi bukanlah mengada-ada. Kenapa? Karena ‘krisis ngobrol’ kini menjadi penyakit serius di dalam keluarga-keluarga yang tinggal di kota besar seperti Jakarta, Denpasar, Surabaya, dan sebagainya.
Suami kerja keras tak sempat ngobrol sama istri. Istri kerja keras tak sempat ngobrol sama anak-anak. Kasihan para suami, istri, anak-anak di kota-kota besar karena mereka semakin dihinggapi ‘defisit ngobrol’ yang kemudian berujung pada ‘defisit cinta’. Suami istri punya PIL-WIL dan anak-anak pakai narkoba adalah dampak dari penyakit ‘defisit ngobrol’ dan ‘defisit cinta’ ini.
Ngobrol @ Credit Union Is Amazing
Kalau di atas saya katakan bahwa ngobrol begitu ampuh untuk membangun cinta di dalam keluarga, maka prinsip yang sama juga berlaku di jagad CU. Kalau Anda ingin selalu MENCINTAI dan DICINTAI pelanggan Anda di CU, perbanyaklah ngobrol dengan mereka. Pelanggan Anda di CU bisa pelanggan Anda, orang yang Anda target, atau tokoh-tokoh yang punya pengaruh langsung maupun tidak langsung kepada merek CU Anda.
Ngobrol memiliki dua elemen: bicara (talk) dan mendengar (listen). Dua elemen itu haruslah Anda lakukan secara proporsional dalam melakukan ‘relationship’ dengan pelanggan di CU. Anda tak boleh terlalu banyak bicara tapi kurang mendengar. Tapi sebaliknya, terlalu banyak mendengar kurang bicara juga nggak bagus, karena akan dinilai tidak responsif dan tidak empatik.
Dengan menjadi pendengar yang baik bagi pelanggan di CU maka Anda akan mengerti dan memahami ‘common interest’ dari pelanggan. Sebaliknya jika ‘kurang pendengaran’ maka Anda akan cenderung bicara hal-hal yang tak diingini oleh pelanggan. Anda menjadi membosankan (BORING brand!!!… ujar Seth Godin) bagi pelanggan. Lebih parah lagi, Anda dianggap sebagai ‘spammer’ karena ngobrol dan memberikan konten yang tak relevan. Ingat, dosa dan kemalangan terbesar di Twitter adalah ketika Anda dicap oleh para tweeps sebagai SPAMMER. Begitu juga di CU-land.
Janganlah Jadi Sok Selebriti!
Siapa bilang Anda dan merek Anda tidak boleh menjadi terkenal dan digilai pelanggan. Anda boleh menjadi terkenal dan digilai pelanggan tapi jangan menjadi ‘sok selebriti’. Di jagad CU yang horisontal, Anda haruslah rendah hati, jangan punya ‘mindset’ seperti ‘celebrity tweeps!’ dalam Twitter. Apa cirinya ‘celebrity tweeps’? Ciri yang paling gampang dikenali dalam Twitter atau Facebook adalah: punya ribuan, puluhan, bahkan ratusan ribu follower atau teman, tapi hanya mem-follow atau diajak berteman oleh segelintir orang.
Kalau Anda tidak mem-‘follow’ pelanggan Anda, bagaimana Anda bisa mendengar mereka, mengerti interest mereka, peduli kepada mereka, dan ngobrol dua arah dengan mereka. Dengan mem-‘follow’ pelanggan, kita punya kesempatan emas untuk mengetahui apa yang mereka omongkan, mengerti keseharian mereka, mengerti dunia mereka (yup… ‘netnografi’). Dengan mengerti mereka, kita akan bisa ngobrol yang pas dengan mereka, bukan ‘spam’. Singkatnya, tanpa mem-‘follow’ pelanggan Anda, sulit bagi Anda melakukan ‘conversation’ secara baik dengan mereka.
Tapi harus diingat, mem-‘follow’ banyak orang juga bukan jaminan seseorang/merek melakukan ‘conversation’. Di Amerika ada tradisi, orang yang di-‘follow’ orang lain serta-merta akan mem-‘follow’ balik (seringkali bahkan diotomasi). Karena itu saya sering menjumpai, seseorang punya 100 ribu follower, dia mem-follow 110 ribu orang, tapi menariknya hanya 15 kali nge-twit. Ini tentu juga tidak bagus. Artinya, dia hanya cari follower tanpa melakukan ‘conversation’ apapun.
Kenapa Anda juga tak boleh sok selebritis di CU? Karena cinta seorang fans kepada selebriti atau idolanya adalah ‘cinta pura-pura’. Cinta para ABG kepada Justin Bieber adalah ‘cinta seumur jagung’. Cinta penggemar kepada Lady Gaga adalah ‘cinta kulit’ (baca. permukaan). Cinta mereka bukanlah cinta sesungguhnya, bukan cinta yang langgeng. Kenapa begitu? Karena cinta mereka cuma satu arah; tak pernah ngobrol, tak pernah saling peduli, tak pernah saling empati. Cinta yang sesungguhnya adalah cinta dua arah: ‘conversational love’.
Be Open
Minggu lalu saya ketemu teman yang mempertanyakan hal sederhana tapi menarik mengenai ‘corporate blog’ yang hendak mereka buat. Teman tersebut bertanya kenapa mereka harus membangun blog bukan website. Usut punya usut, rupanya si teman takut kalau membangun blog, maka perusahaan akan kebanjiran komplain dan pendapat miring dari pelanggan. Selama ini memang perusahaan tersebut punya mindset menutup rapat-rapat akses pelanggan, bahkan menghindari ‘persentuhan langsung’ dengan mereka. Mereka alergi untuk berinteraksi dengan pelanggan karena takut dikomplain dan disudutkan pelanggan.
‘Mindset’ semacam itu harus dibuang jauh-jauh jika kita ingin sukses melakukan pemasaran di CU. Untuk bisa melakukan ‘conversation’ maka Anda harus membuka diri. Pelanggan di CU tak akan nyaman ngobrol dengan Anda jika mereka tidak tahu siapa Anda, apa isi perut perusahaan Anda, bagaimana seluk-beluk Anda, bagaimana karakter Anda. ‘Openess is a prerequisite for an honest and genuine conversation’.
Jadi ingat, untuk sukses di jagad CU, pertama-tama Anda harus membuka diri kepada siapapun pelanggan Anda. Lalu Anda harus mendekatkan diri ke pelanggan tersebut dengan sebanyak mungkin ngobrol. Sehari, sebulan, setahun, bertahun-tahun, saya pastikan akhirnya Anda akan menemukan cinta yang sejati. Anda akan setulus hati mencintai pelanggan Anda. Dan ujung-ujungnya Anda juga akan dicintai pelanggan Anda dengan setulus hati pula.
Anda setuju? Terima kasih.
CU bukanlah medium untuk mem-broadcast pesan seperti halnya TV atau Radio. CU adalah medium untuk ngobrol (conversation). Namanya ngobrol, maka arah komunikasinya ‘dua arah’. Itu kalau dua orang, kalau ngobrolnya dengan banyak orang di dalam komunitas maka komunikasinya nggak hanya dua arah, tapi ‘ke segala arah’. Inilah perbedaan mendasar antara ‘broadcasting’ dengan ‘conversation’.
Love Without Conversation Is Impossible
Saya mengatakan ‘Love Is Conversation’ karena tak mungkin cinta terbentuk tanpa adanya ‘conversation’ yang intens, dua arah, dan diliputi saling pengertian. Bagaimana mungkin kita tidak pernah ngobrol bisa saling cinta. ‘Love without conversation is impossible’, ujar Mortimer Adler, filosof kenamaan Amerika.
Itulah sebabnya Sariwangi dalam kampanye iklannya konsisten menekankan pentingnya ‘ngomong’ (dengan teh ngepul di meja tentu saja… hehehe jualan nggak boleh ketinggalan) antara para suami dan istri, agar keharmonisan cinta terus bersemi di dalam keluarga. Tema kampanye Sariwangi bukanlah mengada-ada. Kenapa? Karena ‘krisis ngobrol’ kini menjadi penyakit serius di dalam keluarga-keluarga yang tinggal di kota besar seperti Jakarta, Denpasar, Surabaya, dan sebagainya.
Suami kerja keras tak sempat ngobrol sama istri. Istri kerja keras tak sempat ngobrol sama anak-anak. Kasihan para suami, istri, anak-anak di kota-kota besar karena mereka semakin dihinggapi ‘defisit ngobrol’ yang kemudian berujung pada ‘defisit cinta’. Suami istri punya PIL-WIL dan anak-anak pakai narkoba adalah dampak dari penyakit ‘defisit ngobrol’ dan ‘defisit cinta’ ini.
Ngobrol @ Credit Union Is Amazing
Kalau di atas saya katakan bahwa ngobrol begitu ampuh untuk membangun cinta di dalam keluarga, maka prinsip yang sama juga berlaku di jagad CU. Kalau Anda ingin selalu MENCINTAI dan DICINTAI pelanggan Anda di CU, perbanyaklah ngobrol dengan mereka. Pelanggan Anda di CU bisa pelanggan Anda, orang yang Anda target, atau tokoh-tokoh yang punya pengaruh langsung maupun tidak langsung kepada merek CU Anda.
Ngobrol memiliki dua elemen: bicara (talk) dan mendengar (listen). Dua elemen itu haruslah Anda lakukan secara proporsional dalam melakukan ‘relationship’ dengan pelanggan di CU. Anda tak boleh terlalu banyak bicara tapi kurang mendengar. Tapi sebaliknya, terlalu banyak mendengar kurang bicara juga nggak bagus, karena akan dinilai tidak responsif dan tidak empatik.
Dengan menjadi pendengar yang baik bagi pelanggan di CU maka Anda akan mengerti dan memahami ‘common interest’ dari pelanggan. Sebaliknya jika ‘kurang pendengaran’ maka Anda akan cenderung bicara hal-hal yang tak diingini oleh pelanggan. Anda menjadi membosankan (BORING brand!!!… ujar Seth Godin) bagi pelanggan. Lebih parah lagi, Anda dianggap sebagai ‘spammer’ karena ngobrol dan memberikan konten yang tak relevan. Ingat, dosa dan kemalangan terbesar di Twitter adalah ketika Anda dicap oleh para tweeps sebagai SPAMMER. Begitu juga di CU-land.
Janganlah Jadi Sok Selebriti!
Siapa bilang Anda dan merek Anda tidak boleh menjadi terkenal dan digilai pelanggan. Anda boleh menjadi terkenal dan digilai pelanggan tapi jangan menjadi ‘sok selebriti’. Di jagad CU yang horisontal, Anda haruslah rendah hati, jangan punya ‘mindset’ seperti ‘celebrity tweeps!’ dalam Twitter. Apa cirinya ‘celebrity tweeps’? Ciri yang paling gampang dikenali dalam Twitter atau Facebook adalah: punya ribuan, puluhan, bahkan ratusan ribu follower atau teman, tapi hanya mem-follow atau diajak berteman oleh segelintir orang.
Kalau Anda tidak mem-‘follow’ pelanggan Anda, bagaimana Anda bisa mendengar mereka, mengerti interest mereka, peduli kepada mereka, dan ngobrol dua arah dengan mereka. Dengan mem-‘follow’ pelanggan, kita punya kesempatan emas untuk mengetahui apa yang mereka omongkan, mengerti keseharian mereka, mengerti dunia mereka (yup… ‘netnografi’). Dengan mengerti mereka, kita akan bisa ngobrol yang pas dengan mereka, bukan ‘spam’. Singkatnya, tanpa mem-‘follow’ pelanggan Anda, sulit bagi Anda melakukan ‘conversation’ secara baik dengan mereka.
Tapi harus diingat, mem-‘follow’ banyak orang juga bukan jaminan seseorang/merek melakukan ‘conversation’. Di Amerika ada tradisi, orang yang di-‘follow’ orang lain serta-merta akan mem-‘follow’ balik (seringkali bahkan diotomasi). Karena itu saya sering menjumpai, seseorang punya 100 ribu follower, dia mem-follow 110 ribu orang, tapi menariknya hanya 15 kali nge-twit. Ini tentu juga tidak bagus. Artinya, dia hanya cari follower tanpa melakukan ‘conversation’ apapun.
Kenapa Anda juga tak boleh sok selebritis di CU? Karena cinta seorang fans kepada selebriti atau idolanya adalah ‘cinta pura-pura’. Cinta para ABG kepada Justin Bieber adalah ‘cinta seumur jagung’. Cinta penggemar kepada Lady Gaga adalah ‘cinta kulit’ (baca. permukaan). Cinta mereka bukanlah cinta sesungguhnya, bukan cinta yang langgeng. Kenapa begitu? Karena cinta mereka cuma satu arah; tak pernah ngobrol, tak pernah saling peduli, tak pernah saling empati. Cinta yang sesungguhnya adalah cinta dua arah: ‘conversational love’.
Be Open
Minggu lalu saya ketemu teman yang mempertanyakan hal sederhana tapi menarik mengenai ‘corporate blog’ yang hendak mereka buat. Teman tersebut bertanya kenapa mereka harus membangun blog bukan website. Usut punya usut, rupanya si teman takut kalau membangun blog, maka perusahaan akan kebanjiran komplain dan pendapat miring dari pelanggan. Selama ini memang perusahaan tersebut punya mindset menutup rapat-rapat akses pelanggan, bahkan menghindari ‘persentuhan langsung’ dengan mereka. Mereka alergi untuk berinteraksi dengan pelanggan karena takut dikomplain dan disudutkan pelanggan.
‘Mindset’ semacam itu harus dibuang jauh-jauh jika kita ingin sukses melakukan pemasaran di CU. Untuk bisa melakukan ‘conversation’ maka Anda harus membuka diri. Pelanggan di CU tak akan nyaman ngobrol dengan Anda jika mereka tidak tahu siapa Anda, apa isi perut perusahaan Anda, bagaimana seluk-beluk Anda, bagaimana karakter Anda. ‘Openess is a prerequisite for an honest and genuine conversation’.
Jadi ingat, untuk sukses di jagad CU, pertama-tama Anda harus membuka diri kepada siapapun pelanggan Anda. Lalu Anda harus mendekatkan diri ke pelanggan tersebut dengan sebanyak mungkin ngobrol. Sehari, sebulan, setahun, bertahun-tahun, saya pastikan akhirnya Anda akan menemukan cinta yang sejati. Anda akan setulus hati mencintai pelanggan Anda. Dan ujung-ujungnya Anda juga akan dicintai pelanggan Anda dengan setulus hati pula.
Anda setuju? Terima kasih.