0
Tidak selamanya sesuatu yang memenuhi azas legal, otomatis juga bisa diteria dan dibenarkan secara etis atau moral...
Suatu ketika dalam satu seminarnya, seorang motivator mengisahkan pengalaman pribadinya saat pertama kali datang ke Singapura. Waktu itu, setiba di Canghi Airport, sang motivator segera bergegas menumpang taksi dan minta untuk diantar ke suatu alamat. Entah bagaimana ceritanya, kebetulan pada waktu itu baik sang motivator maupun si sopir taksi sama-sama tidak tahu persis lokasi yang dimaksud. Maka singkat cerita, setelah sempat beberapa kali berputar arah dan salah jalan, akhirnya taksi itupun sampai ke tujuan dengan selamat. Saat itu, argo menunjukkan angka $50. Ia pun segera menyerahkan lembaran uang lima puluh Dollar Singapura kepada si sopir taksi. Tiba-tiba si sopir taksi memberikan uang kembalian sebesar $10, yang tak pelak membuat bingung si penumpang. 'Loh, Bapak berhak atas bayaran sebesar lima puluh Sing Dollar!', begitu kira-kira terjemahan bebas, ungkapan sang motivator dengan heran. Si sopir taksi pun langsung menimpali, 'Iya... secara legal saya memang berhak atas 50 dolar, tapi secara etis, sebagai sopir taksi, mestinya saya berkewajiban mengantar penumpang dari satu tempat ke tempat tujuan secara langsung. Tetapi karena saya tadi kurang tahu persis lokasi alamat yang dituju, maka saya tadi sempat berputar-putar dulu, sehingga argonya menjadi lebih mahal dari yang seharusnya.'
Peristiwa itu memang 'kecil', begitu sederhana, bahkan tampak biasa-biasa saja. Akan tetapi spirit di baliknya, terlalu berharga untuk kita lewatkan begitu saja. Spirit yang mudah-mudahan dapat mengingatkan kita kembali, tentang adanya 'sesuatu' yang jauh lebih tinggi dan lebih mulia, melampaui persoalan legalitas, ketentuan hukum, atau peraturan-peraturan formal lainnya. Sesuatu yang secara tak kasat mata sering menjaid pengawas sekaligus penuntun langkah kita. Pada praktiknya, ia membatasi perilaku kita agar jangan sampai melakukan hal-hal yang tidak boleh atau salah, dan sebaliknya, ia mendorong kita untuk melakukan hal-hal yang patut, baik, dan benar! Sesuatu yang kita kenal dengan nama etika!
Kita bisa melihat perbedaan antara seseorang yang melakukan sesuatu berdasarkan etis, dibanding yang meakukannya berdasarkan legalitas atau aturan hukum. Pada perilaku atau tindakan seseorang yang di-drive oleh hukum, ia tidak melakukan sesuatu yang salah atau buruk, bisa jadi karena ia takur ketahuan, takut berurusan dengan aparat penegak hukum dan lain sebagainya. Dengan begitu ia telah melakukan perbuatan benar dengan alasan yang salah. Sedangkan seseorang yang segala tindakannya didasari oleh etika moral, ia tidak mau melakukan perbuatan buruk bukan karena takut ketahuan, melainkan karena dirinya tidak bisa 'membiarkan' atau 'menerima' perbuatan itu. Ia memilih perbuatan baik tanpa keterlibata pihak eksternal, dengan begitu ia melakukan perbuatan benar dengan alasan yang benar. Orang-orang seperti ini, dapat membedakan yang legal dengan yang etis. Bagi mereka, tidak selamanya sesuatu yang memenuhi asas legal, otomatis juga bisa diterima dan dibenarkan secara etis atau moral.
Etika Moral
Tepat dari titik inilah kita dapat dengan jelas membedakan antara seseorang yang skillful dengan orang yang disebut kompeten. Yang disebut skillful adalah seseorang yang terampil atau ahli secara teknis dalam mengerjakan sesuatu, sedangkan yang disebut kompeten, di samping orang tersebut terampil atau ahli secara teknis, secara mental orang tersebut juga pasti depenable dan reliable. Artinya, ia memiliki sikap mental yang bisa diandalkan, bisa digantungi harapan, mempunyai komitmen, dan memegang teguh janji, sehingga pihak yang menggantungkan harapan kepadanya, merasa senang dan 'aman'. Seseorang yang skillful bisa saja seorang yang terampil bahkan sangat ahli di bidangnya, akan tetapi selama orang tersebut tidak pernah bisa menepati janji, atau agak sedikit 'curang' misalnya, maka orang lain tidak akan pernah merasa aman dan nyaman bekerja sama, lebih-lebih berhubungan bisnis dengannya. Perbedaan kedua contoh di atas terleta pada, karakter. Yang satu memilikinya, karena setiap perbuatan dan tindakannya senantiasa didasarkan pada etika moral, dan itu terus dilakukannya secara berulang-ulang, konsisten dan terus-menerus, hingga menjadi habit atau kebiasaan, sedangkan yang kedua memerlukan pihak lain di luar dirinya sebagai pengawas dan pengontrol setiap tindakannya.
Suatu kali Presiden Amerika Serikat, Theodore Roosevelt mengatakan, To educate a person in mind and not in morals is to educate a manace to society! Dan beberapa waktu lalu, Rektor ITB, Prof. Dr. Djoko Santoso juga mengingatkan bahwa, 'Manusia bisa saja menguasai teknologi sampai setinggi langi, akan tetapi tanpa dilandasi oleh fondasi moral yang kokoh, maka suatu negara bakal runtuh.'
Modal Sosial
Kalau begitu vitalnya peran etika moral dalam membentuk karakter bahkan menjadi kunci bagi kegagalan atau keberhasilan seseorang, kira-kira apa jadinya kalau nilai-nilai dan etika moral itu menjadi dasar bagi kehidupan suatu bangsa? Karena bukankah unit terkecil dari suatu bangsa adalah individu? Sudah pasti, bangsa tersebut akan menjadi suatu bangsa yang kuat, produktif, dan makmur. Karena bisa kita bayangkan, rasa saling percaya di antara anak bangsa, akan membuat segala bentuk usaha bersama mereka bisa dilakukan dengan jauh lebih efisien, tidak ada rasa was-was, sehingga biaya security bisa dikurangi, tidak akan ada kecemasan apakah produk yang akan dibeli palsu atau asli. Tidak akan pernah ada pemalakan atau pemerasan. Dan tentunya tidak perlu ada lagi, seksi keamanan dalam setiap kegiatan yang dilakukan!
Singkatnya, dengan individu-individu yang memegang teguh etika moral, dan masing-masing mempunyai karakter baik serta rasa saling percaya, maka semua biasa produksi akan jauh lebih efisien, dan menjadi sangat 'murah'. Lalu dengan murahya biaya produksi suatu produk atau jasa, maka ujung-ujungnya sudah pasti harga-harga semua produk dan jasa akan ikut murah. Dengan kondisi seperti ini, tentu negeri tersebut akan memiliki posisi yang sangat bagus dalam peta persaingan global, karena memiliki competitive advantage yang sangat besar. Inilah barangkali gambaran tentang high trust society keadaan yang oleh Francis Fukuyama digolongkan sebagai social capital atau modal sosial yang sangat menentukan daya saing suatu bangsa.
Sampai di sini kita mungkin akan menjadi bertanya-tanya: biasakah kita menangkarkan dan menyemai benih nilai-nilai tersebut bagi pembangunan karakter bangsa kita? Secara teoritis, jawabannya Pasti Bisa! Akan tetapi secara praktik, kita membutuhkan bukan saja political will dari pemerintah, melainkan juga komitmen dan cita-cita bersama dari segenap warga bangsa.
Di sinilah tantangannya!
Kalau saja kita segenap warga bangsa, bersedia secara bersama-sama membangun, menegakkan dan memelihara pendidikan berbasis etika moral secara hand in hand.
Serta kalau saja semua warga mau menyadari bahwa yang dimaksud dengan pendidikan di sini bukan hanya menyangkut pendidikan formal sekolahan, melainkan juga menyangkut keterlibatan milieu atau lingkungan, sehingga ada tanggung jawab keluarga di dalamnya, ada pula pengaruh masyarakat, dan bahkan media massa.
Dan kalau saja kita semua tergerak untuk menjadikan 'pembangunan karakter bangsa' ini sebagai 'misi suci' atau perjuangan bersama secara nasional, maka yakinlah bahwa tidak ada yang mustahil.
Terdengar terlalu utopis atau seperti mimpi? Bisa jadi memang iya! Tetapi dengan komitmen dan usaha yang sungguh-sungguh dari segenap anak bangsa, maka bahkan mimpi sekalipun akan menjelma menjadi kenyataan. Karena, bukankah 10 windu yang lalu pemuda kita juga hanya bermimpi, ketika mereka mengikrarkan satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa, Indonesia?
Tulisan ini saya apresiasikan bagi bangsa beradab bernama Indonesia, yang tengah mencoba bangkit dari keterpurukan. Dan terima kasih bagi mereka yang turut 'menciptakan fondasi' Indonesia Unite...