Entrepreneur

Posted: Selasa, 28 Juli 2009 by R. Anang Tinosaputra in Label:
0

Ketika zaman tak mudah ditebak, ketika setiap orang bisa segera tenar karena menjual rahasia dan kesedihan pribadi, ketika risiko menjadi sebuah keniscayaan, konon, kita membutuhkan lebih banyak entrepreneur. Ini sebuah kata Perancis yang di-Inggris-kan lalu dipadankan dengan kata wirausaha di Indonesia, yang mengandung makna keberanian dan kepahlawanan.

Wirausaha bisa segera terdengar tak jah beda dengan wiracarita, cerita-cerita heroik, dongeng-dongeng yang kita dengar sebelum tidur sewaktu kecil dulu.

Barangkali karena seorang entreprenuer memang seseorang yang pada dasarnya berani mengambil risiko, seorang yang bergelut dan menapaki hidup dari bawah lalu merangkak naik dan menjulang dengan apa yang disebut dengan kesuksesan. Merekalah yang kaum Schumpeterian. Mereka yang berusaha dan bekerja dengan kemampuan dan keyakinan diri sendiri.

Joseph Schumpeter, seorang Moravia yang menulis teori bisnis, menyebutkan bahwa sebuah perniagaan pada mulanya adalah keberanian, kejelian menghitung, dan menempuh risiko. Rumus bisnisnya BANDROL = Berani Ambil Risiko dengan Duit Orang Lain.



Seorang teman meminjam uang Rp 1 juta ketika 'kekayaannya' bahkan tidak sampai nominal itu. Ia membuka warung mie, memutarkan modal itu, setapak demi setapak ia menyisihkan untuk untuk dijadikan modal kembali, membuka warung lain. Seperti umumnya cerita-cerita sukses dengan kepedihan, kini warungnya tersebar di hampir setiap universitas.

Saya ketemu lagi dengan dia beberapa pekan lalu. Dandanan dan guyonannya masih seperti dulu. Dia memang seorang sederhana yang ringan hati memandang segala hal. Bagi dia tidak ada rasa takut sebelum mencoba. Kita baru menyimpulkan dan mengetahui batas takut kita, katanya, ketika kita sudah terbanting karenanya. Tentu saja ini bukan sebuah rumusan baru. Tapi ia mempraktekkannya sendiri, menjadikan dirinya kelinci percobaan untuk segala hal yang membuatnya penasaran.

Saya tanya, apakah dia tidak menghitung risiko dari setiap rencananya. Misalnya, ketika pertama kali buka warung mie 10 tahun lalu itu, apakah ia tidak khawatir warungnya tdiak laku sehingga ia tidak bisa membayar hutang? Teman saya ini tertawa. Dia bilang khawatir itu pasti, tapi setiap kecemasan itu datang, ia melawannya dengan selalu mengingat kembali perhitungan-perhitungannya sejak mula bahwa warungnya akan untuk jika dalam sehari pembelinya ada sekian.

Faktanya ia berhasil. Perhitungannya tak selalu tepat, memang. Tapi dari ketidaktepatan itu ia belajar bagaimana menjadi lebih tepat esok harinya. Sebab, kata dia, jika kekhawatiran itu terus menerus dipikirkan, kita akan tenggelam dalam kecemasan itu. Kerja menjadi malas, melayani pembeli pun menjadi muram - sesuatu yang diharamkan dalam berdagang. Ketika ia memikirkan soal keberhasilan, aura yang ia bawa pun menjadi cerah. Pembeli senang dan kembali lagi ke warungnya, meskipun, mungkin juga karena racikan mie gorengnya yang memang maknyusss...
Dan maknyus, katanya, adalah hasil racikan dari tangan yang bahagia.

Saya setuju sepenuhnya. Kawan saya ini kini tak lagi pusing memikirkan soal uang. Tabungannya sudah cukup untuk menyekolahkan dua anaknya sampai kuliah nanti. Ia sendiri merencanakan pensiun sebelum usia 50 tahun, menyerahkan pengelolaan warung-warungnya ke anak-anaknya atau sejumlah anak buahnya. Ia akan pulang kampung, berkebun. Sebelum kami berpisah, ia bilang, dalam usaha apapun segalanya membutuhkan uang, namun uang bukan segala-galanya. Yang utama adalah ketekunan dan kesabaran.

Lagi-lagi saya setuju. Saya, seorang fasilitator manajemen dan marketing, hari itu mendapatkan pelajaran terpenting dari seorang yang tak pernah membaca buku marketing atau manajemen sekalipun. Ia mendapat pelajaran langsung dari hidupnya dengan mempraktekkan sendiri, menempuh risiko, melawan kecemasan yang sewaktu-waktu dapat merontokkan usahanya, dan membawa hidupnya dalam kebangkrutan.

Dia bilang uang bukan segalanya. Sehingga ketika uang itu sudah ia dapat lebih banyak, teman saya ini tidak menghambur-hamburkan untuk sesuatu yang tidak penting. Sesungguhnya ia sedang berbicara soal sikap dan jiwa entrepreneur. Schumpeter sendiri mengimbangi rumusnya dengan segera bilang '...hati-hati kapitalisme akan menerkammu jika kamu serakah!'

Dan zaman ini membutuhkannya, para entrepreneur yang arif.

0 komentar: