Statemanship
Posted: Kamis, 18 Juni 2009 by R. Anang Tinosaputra in Label: The Meaning of Management
0
Politisi belum menjadi negarawan ...
Demikian judul berita utama Kompas, Senink 4 April 2009. Kompas mensitir komentar dari tiga guru besar terhadap kondisi politik Indonesia saat ini. Yang pertama dari Ahmad Syafii Ma'arif, guru besar bidang filsafat dan ilmu sejarah Universitas Negeri Yogyakarta dan Mantan Ketua PP Muhammadiyah. Yang kedua dari Franz Magnis Suseno, guru besar filsafat Sekolah TInggi Filsafat Driyakarya. Terakhir dari Satjipto Rahardjo, guru besar Universitas Diponegoro.
Menurut kesimpulan Kompas, dari komentar 3 guru besar di atas, negarawan menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi dan golongan. Negarawan memiliki moralitas tinggi. Mereka melakukan politik yang bermartabat dan bermoral. Negarawan akan menunjukkan wawasan, integritas, kapasitas intelektual dan emosional di atas rata-rata. Negarawan mampu melancarkan kritik yang jujur, rasional, tanpa sentimen, dan sikap emosional. Indonesia pernah memiliki negarawan yang teruji, yaitu Dr. Muhammad Hatta. Ketika beliau berselisih pendapat dengan Bung Karno dalam mengurus bangsa ini, Hatta memilih mengundurkan diri dan mempersilakan Bung Karno untuk memimpin pemerintahan. Demikian pula Sukarno, ketika dihadapkan pada pilihan untuk melawan Suharto dan menggerakkan pengikut setianya, ia memilih untuk tidak melakukannya. Nelson Mandela memilih melakukan rekonsiliasi dengan kelompok apartheid, ketimbang melakukan balas dendam ketika ia berhasil memenangkan pemilu.
Kondisi perpolitikan kita saat ini menunjukkan para politisi kita masih belum berjiwa sebagai seorang negarawan. Saya merasa bersyukur membaca majalah Times edisi tanggal 11 Mei 2009 yang menampilkan seratus pemimpin dunia yang memiliki pengaruh paling besar terhadap perkembangan dunia. Salah satunya adalah presiden kita, Susilo Bambang Yudhoyono. Dalam ulasan yang ditulis oleh Anwar Ibrahim, mantan Wakil Perdana Menteri Malaysia, dikemukakan perubahan-perubahan besar yang telah dicapai Indonesia sebagai negara muslim terbesar di dunia. Indonesia berhasil melaksanakan transisi dari negara otoriter menjadi negara demokrasi. SBY yang terpilih sebagai presiden dalam pemilihan langsung yang pertama secara demokratis berhasil membawa Indonesia tetap eksis walaupun ditempa berbagai krisis dan tantangan yang luar biasa.
Saya juga cukup terkagum-kagum membaca bukunya Dino Patti Djalal dengan judul Harus Bisa, Seni Memimpin ala SBY. Buku ini memberikan gambaran yang lebih utuh kepada saya tentang betapa besar tuntutan dan tantangan yang harus dihadapi oleh seorang Presiden Indonesia. Seorang presiden harus yang harus memimpin negara berpenduduk ke-4 terbesar di dunia. Negara yang sedang menghadapi berbagai permasalahan yang begitu kompleks. Negara yang sedang menghadapi arus transformasi internal dan sekaligus menghadapi era abad 21 yang semakin cepat berputar dan berubah.
Melalui buku ini saya menjadi lebih berempati kepada SBY. Selama ini saya hanya mendengar banyak keluhan tentang SBY sebagai sosok indecisive, peragu, dan lambat dalam mengambil keputusan. Setelah membaca buku ini saya dapat memahami untuk menjadi presiden yang baik diperlukan kualitas yang luar biasa. Kualitas sebagai negarawan. Kenyataan bahwa SBY berhasil menjalankan kepemimpinannya sebagai presiden sampai saat ini, setidak-tidaknya menguatkan kesan SBY memiliki kualitas sebagai negarawan. Apalagi kemenangan Partai Demokrat secara mencengangkan pada pemilu legislatif tanggal 9 April 2009 lalu, makin menguatkan opini atas kualitasnya sebagia negarawan. Namun untuk benar-benar tercatat sebagai negarawan dalam sejarah Indonesia, SBY, masih harus membuktikan pada masa jabatan yang kedua. Yaitu apabila ia terpilih lagi dalam pilpres mendatang.
Saya teringat kepada apa yang dikatakan oleh Muhctar Riady pada salah satu Leadership Forum yang diselenggarakan oleh Center for Coorporate Leadership (CCL) di Jakarta. Seorang pemimpin hanya akan terbukti sebagai pemimpin setelah paku terakhir dari peti matinya ditancapkan. Artinya, selama seorang pemimpin masih hidup, maka masih terbuka kemungkinan terjatuh. Saya hanya berdoa semoga SBY akan mampu mewujudkan dirinya sebagai negarawan yang tercatat dengan tinta emas dalam sejarah Indonesia. Demikian juga dengan para pemimpin yang lain di negeri ini. Semoga mereka dijauohkan dari '3 Ta' sebagai musuh yang dapat menjatuhkan seorang pemimpin. Harta, Tahta, dan Wanita.
Waspadalah !!