Pemimpin dan (Pre) seden

Posted: Rabu, 03 Juni 2009 by R. Anang Tinosaputra in Label:
0

Tiba-tiba saya teringat wajah Pak Bambang, guru yang mengajar ilmu fisika sewaktu saya di kelas tiga SMP dulu ...

Segelas Kebijaksanaan
Begitu duduk di kursi, Pak Bambang mengeluarkan tujuh gelas kosong dari kantong dan meletakkan sebuah kendi di tanah liat berisi air yang ditentengnya. Kemudian, ia menuangkan air kendi ke dalam salah satu gelas. Seraya mengangkat gelas yang hampir penuh terisi air itu, ia bertanya kepada seluruh siswa, 'Perhatikan, berapa kira-kira berat gelas berisi air ini?'

Sebagian dari kami, para siswa, menjawab 'lima puluh gram'; sebagian lagi menjawab 'seratus gram'; dan sebagian sisanya menjawab 'seratus dua puluh lima gram'.

'Saya sendiri sama sekali tidak yakin berapa beratnya, kecuali saya menimbangnya', kata Pak Bambang. 'Benar juga dia', kata saya dalam hati. 'Nah, lantas apa yang bakal terjadi jika saya memegangnya terus seperti ini selama beberapa menit?' Sampai beberapa detik tidak ada yang menjawab pertanyaan Pak Bambang.

'Tidak terjadi apa-apa?', hampir kami semua menjawab.

'Baiklah. Sekarang, apa yang akan terjadi jika saya memeganginya terus seperti ini selama satu jam?', tanya Pak Bambang.

'Tangan Bapak akan terasa pegal', salah satu teman saya menjawab sekenanya. Terdengar tawa kecil dari beberapa teman.

'Bagus, bagus, bagus. Lantas, apa yang dapat terjadi jika saya memegangnya seperti ini hampir sehari penuh?' tanya Pak Bambang lagi.

'Lengan Bapak akan kram. Sejauh saya tahu dari keterangan Bu Aniati, guru Biologi kita, Bapak akan mengalami stres otot dan paralysis (ketidakberdayaan atau ketidakmampuan menggerakkan otot); bahkan mungkin Bapak harus dibawa ke rumah sakit untuk memastikannya!' saya menjawab, diikuti ketawa kompak terbahak teman-teman sekelas saya.

'Bagus, bagus, bagus ... Tapi, selama waktu sehari itu, apakah berat dari gelas ini akan berubah?' tanya Pak Bambang.

'Tidaaaak!', kami kompak menjawab.

'Lantas apa yang menjadi penyebab lengan pegal, stres otot, dan paralysis, dan bagaimana kalian mengira saya akan mengalami seperti itu?' tanya Pak Bambang lagi.

Kami saling memandang dan melempar kilatan mata, seolah mau menyingkap jawaban tersembunyi di balik mata kami masing-masing. 'Pak, taruh saya gelas itu!', kata YF Ika Adriani Putri, teman saya yang selama itu selalu menjadi juara umum setiap kali pengumuman kenaikan kelas.

'Ya, tepat sekali!' kata Pak Bambang.
'Persoalan-persoalan hidup, entah politik, ekonomi, sosial, lingkungan, budaya, teknologi adalah sesuatu yang sama dengan gelas berisi air ini, bukan?'

Ia menoleh ke arah Ika, sembari melanjutkan kata-katanya, 'Ika, benar sekali jawabanmu tadi. Kalau kau memegang gelas berisi air itu selama beberapa menit saja, gelas itu beres-beres saja.'

kemudian pandangan mata Pak Bambang beralih menjelajah ke seluruh siswa. 'Bayangkan seperti yang tadi saya lakukan. Coba kalian pikirkan gelas berisi air itu terus menerus dan selama mungkin. Maka, jangkan tangan kalian, pikiran kalian pun akan mulai pegal, stress, dan paralysis; dan kalian tidak akan dapat melakukan apa-apa.'



Preseden, Anteseden, dan Konsekuen
Dari Pak Bambang yang secara formal mengajar Fisika, saya tidak hanya belajar tentang materi pelajaran, tetapi juga esensi kebijakan di balik pelajaran Fisika. Dari beliau, saya memahami bukan saja struktur dan dimensi konkret-bendawi dari suatu kenyataan amatan, yang gilirannya membuat saya mencintai Fisika, tetapi juga tentang struktur dan dimensi pikiran dan kejiwaan manusia yang berhubungan baik dengan kenyataan bendawi maupun manusiawi.

Peragaan Pak Bambang membawa saya ke pemahaman bahwa sangatlah penting untuk menjawab tantangan (persoalan) hidup, namun jauh lebih penting untuk 'menaruh persoalan' itu pada saatnya, yakni di setiap akhir dari momen kehidupan; di saat sebelum saya 'berbaring untuk beristirahat'. Setelah lebih dari 10 tahun peristiwa peragaan itu berlalu, dan seolah mengeram saja di alam bawah sadar saya, mulai menetaslah insight saya untuk memahami gejala klinis kejiwaan seperti: kesulitan kerja, belajar, makan, tidur, dan having fun. Dengan 'menaruh pada saatnya' kita terhindar dari rundungan stres dan mampu bangun di pagi hari dengan perasaan segar, lega, siapa; selanjutnya mampu menangani setiap masalah, tantangan, ancaman, dan peluang yang merekah bersama terbitnya fajar pagi.

Tampaknya, apa yang kita temukan dan temukan kembali selama siklus musim kehidupan adalah fakta bahwa kepemimpinan (diri sendiri) bukanlah sesuatu yang hanya dimiliki oleh para pemimpin berkharisma. Kepemimpinan adalah persoalan proses luar biasa pada orang-orang biasa yang memungkinkan mereka mengarahkan diri secara tepat, baik tertuju ke diri sendiri maupun ke orang lain.

Sekurangnya hal ini diyakinkan oleh hasil refleksi Barry Z. Posner, James M. Kouzes, dan Thomas J. Peters (2003) dalam buku mereka, The Leadership Challenge: How to Keep Getting Extraordinary Things Done in Organizations. Dengan 'menaruh persoalan pada saatnya', kita membebaskan diri kita dan membangun kepemimpinan diri sendiri. Dengan membebaskan diri, dan segala yang luar biasa akan terjadi.

Kosa kata 'kepemimpinan' adalah suatu kata kerja (verb), bukan kata benda (noun). Kepemimpinan adalah tindakan, bukan suatu posisi. Kepemimpinan perlu didefinisikan menurut apa yang kita lakukan, bukan menurut peran yang kita mainkan. Jika dicermati, banyak orang nampak cemerlang ketika memainkan 'peran kepemimpinan' (leadership roles), yakni sebagai pengemban kursi pemimpin. Sebagian besar dari mereka terdiri dari para bos, snoopervisor, teknokrat, birokrat, manajer, komandan, kepala, dan semacamnya.

Sebaliknya, banyak orang tidak menyandang menyandang peran kepemimpinan formal, tetapi mereka adalah para pemimpin cemerlang sejati di tengah dunia yang berubah serba cepat ini. Inilah para pemimpin perubahan, pemimpin 'presedensial' bukan 'presidensial'. Mereka tidak menghiraukan tentang peran formal yang sedang mereka bawakan, tetapi sadar penuh terhadap anteseden diri, lingkungan dan kejadian-kejadiannya; sadar penuh terhadap konsekuensi masa depan tindakan yang mereka kerjakan dan - yang paling signifikan - mereka senantiasa menciptakan preseden kebaikan.

Kepemimpinan Presedensial
Memimpin adalah menunjukkan arah jalan sembari tetap berjalan, memandu langkah sembari tetap menuju, memengaruhi namun tetap mengendalikan diri untuk tidak menggiring pendapat orang lain. Dengan lain ungkapan, memimpin adalah membuat presedensi dengan menyadari antesedensi dan mengantisipasi konsekuensi sekaligus.

Pemahaman ini membuka keniscayaan bahwa kita semua tidak hanya mungkin, tetapi butuh menjadi pemimpin, terlepas dari ada-tidaknya judul atau peran formal bagi kita. Proses menjadi pemimpin sama dengan proses menjadi manusia efektif. Perkembangan kepemimpinan adalah juga perkembangan personal.

Leadership ultimately shows itself in what we do 'out there', but it starts 'in here' ...

Di tengah kita sibuk mendamba pemimpin baru, pemahaman ini hendaknya menjadi kriteria keputusan kita. Kita tidak sedang menentukan pribadi mana yang akan menjadi presiden negeri ini, tetapi kita menentukan siapa mitra yang paling sinergik untuk membuat preseden-preseden kebaikan bagi pencerdasan kehidupan bangsa ini dengan mempertaruhkan keseluruhan kapasitas kepemimpinan kita.

Semoga, dan terima kasih.

0 komentar: