Berfokus Pada Kelebihan
Posted: Kamis, 04 Juni 2009 by R. Anang Tinosaputra in Label: The Meaning of Life
0
Selalu ada cerita yang menarik dari dunia anak-anak. Dan selalu pula ada makna dan pelajaran hidup yang dapat kita petik dari setiap perjalanan hidup anak-anak.
Suatu ketika ...
'Anak-anak, coba tuliskan tiga kelebihanmu', kata seorang guru yang hari itu menjadi pembimbing retreat bagi anak-anak sekolah dasar.
Menit demi menit berlalu namun anak-anak itu seakan masih bingung.
Dengan setengah berakting, sang guru kemudian bersuara keras : 'Ayo, tuliskan! Kalau tidak, kertas kalian saya sobek lho.' Anak-anak manis itu seketika menjadi salah tingkah.
Beberapa di antara mereka, memang tampak mulai menulis. Salah seorang di antara mereka menulis di atas kertas, 'Kadang-kadang nurutin kata ibu. Kadang-kadang bantu ibu. Kadang-kadang nyuapin adik makan.'
Penuh rasa penasaran, sang guru bertanya kepadanya : 'Kenapa tulisnya kadang-kadang?'. Dengan wajah penuh keluguan, sang bocah hanya berkata : 'Emang cuma kadang-kadang, Bu Guru.'
Ketika semua anak telah menuliskan kelebihan dirinya, sang guru kemudian melanjutkan instruksi berikutnya: 'Sekarang anak-anak, coba tuliskan tiga kelemahanmu atau hal-hal yang buruk dalam dirimu.'
Seketika ruangan kelas menjadi gaduh. Anak-anak tampak bersemangat. Salah satu dari mereka angkat tangan dan bertanya : 'Tiga saja, Bu Guru?'. 'Ya, tiga saja!' jawab sang guru. Anak tadi langsung menyambung : 'Bu Guru, jangankan tiga, sepuluh juga bisa!'
Ah ... memang selalu menceriakan masa anak-anak itu. Tapi, adakah pelajaran yang bisa kita petik dari sepenggal cerita di atas? Apa pelajaran yang bisa kita petik dari cerita sederhana itu?
Saya menangkap setidaknya ada beberapa hal penting yang bisa kita pelajari. Salah satunya, kita sering tidak menyadari apa kelebihan diri kita karena lingkungan dan orang di sekitar kita jauh lebih sering mengkomunikasikan kepada kita kejelekan dan kekurangan kita.
Baru-baru ini, saya dan istri saya menyaksikan di sebuah televisi swasta pertunjukkan seni dari para penyandang cacat. Kami benar-benar terharu. Ada orang buta yang begitu piawai bermain piano atau kecapi. Pria tanpa lengan dan wanita muda yang tuli dapat menari dengan begitu indahnya. 'Luar biasa, dia bisa menari dengan penuh penghayatan. Yang membuat saya heran, dia kan tuli tapi kok bisa mengikuti irama lagu dengan sangat tepat?', kata istri saya terkagum-kagum.
Dalam hati, saya merasakan mereka 'memainkan' segala keindahan itu dengan keterbatasan yang ada, namun justru memberikan kelebihan yang dimilikinya sebagai 'tontonan utama'. Kelebihan itu adalah ketulusan hati untuk 'berbagi'. Berbagi kebahagiaan kadang tidak harus dengan harga yang mahal. Tidak harus dengan kelimpahan materi. Lihat, bagaimana mereka bisa membahagiakan orang lain justru dengan 'kelemahan' mereka.
Seorang pria buta yang bernyanyi dengan nada merdu sempat berkata, 'Saudaraku, saya memiliki dua mata seperti Anda. Namun yang ada di depan saya hanyalah kegelapan. Ibu saya mengatakan saya bisa bernyanyi, dan ia memberi saya semangat untuk bernyanyi.'
Dalam keseharian, kita juga kadang bahkan terlalu sering hidup dalam segala 'kekurangan' dan keterbatasan. Dan akhirnya, kita menciptakan kemiskinan mental kita dengan mengkerdilkan kelebihan kita.
Bayangkan bila hari ini kita mulai dengan senyuman.
Bayangkan bila hari ini kita mulai dengan kebahagiaan.
Bayangkan bila hari ini kita mulai dengan semangat ketulusan dan berbagi.
Bayangkan bila hari ini kita mulai dengan keinginan untuk memberikan yang terbaik.
Bayangkan bila hari ini kita mulai dengan cinta.
Bayangkan bila hari ini kita mulai dengan memfokuskan diri kita pada kelebihan kita.
Bayangkan apa yang akan terjadi di akhir hari ini ...
Benarlah apa yang dikatakan Alexander Graham Bell ... 'Setelah satu pintu tertutup, pintu lainnya terbuka; tetapi kerap kali kita terlalu lama memandangi dan menyesali pintu yang telah tertutup sehingga kita tidak melihat pintu yang telah dibuka untuk kita.'
Jadi, sahabat sekalian, fokuskan perhatian pada kelebihan kita dan bukan kelemahan kita!
Suatu ketika ...
'Anak-anak, coba tuliskan tiga kelebihanmu', kata seorang guru yang hari itu menjadi pembimbing retreat bagi anak-anak sekolah dasar.
Menit demi menit berlalu namun anak-anak itu seakan masih bingung.
Dengan setengah berakting, sang guru kemudian bersuara keras : 'Ayo, tuliskan! Kalau tidak, kertas kalian saya sobek lho.' Anak-anak manis itu seketika menjadi salah tingkah.
Beberapa di antara mereka, memang tampak mulai menulis. Salah seorang di antara mereka menulis di atas kertas, 'Kadang-kadang nurutin kata ibu. Kadang-kadang bantu ibu. Kadang-kadang nyuapin adik makan.'
Penuh rasa penasaran, sang guru bertanya kepadanya : 'Kenapa tulisnya kadang-kadang?'. Dengan wajah penuh keluguan, sang bocah hanya berkata : 'Emang cuma kadang-kadang, Bu Guru.'
Ketika semua anak telah menuliskan kelebihan dirinya, sang guru kemudian melanjutkan instruksi berikutnya: 'Sekarang anak-anak, coba tuliskan tiga kelemahanmu atau hal-hal yang buruk dalam dirimu.'
Seketika ruangan kelas menjadi gaduh. Anak-anak tampak bersemangat. Salah satu dari mereka angkat tangan dan bertanya : 'Tiga saja, Bu Guru?'. 'Ya, tiga saja!' jawab sang guru. Anak tadi langsung menyambung : 'Bu Guru, jangankan tiga, sepuluh juga bisa!'
Ah ... memang selalu menceriakan masa anak-anak itu. Tapi, adakah pelajaran yang bisa kita petik dari sepenggal cerita di atas? Apa pelajaran yang bisa kita petik dari cerita sederhana itu?
Saya menangkap setidaknya ada beberapa hal penting yang bisa kita pelajari. Salah satunya, kita sering tidak menyadari apa kelebihan diri kita karena lingkungan dan orang di sekitar kita jauh lebih sering mengkomunikasikan kepada kita kejelekan dan kekurangan kita.
Baru-baru ini, saya dan istri saya menyaksikan di sebuah televisi swasta pertunjukkan seni dari para penyandang cacat. Kami benar-benar terharu. Ada orang buta yang begitu piawai bermain piano atau kecapi. Pria tanpa lengan dan wanita muda yang tuli dapat menari dengan begitu indahnya. 'Luar biasa, dia bisa menari dengan penuh penghayatan. Yang membuat saya heran, dia kan tuli tapi kok bisa mengikuti irama lagu dengan sangat tepat?', kata istri saya terkagum-kagum.
Dalam hati, saya merasakan mereka 'memainkan' segala keindahan itu dengan keterbatasan yang ada, namun justru memberikan kelebihan yang dimilikinya sebagai 'tontonan utama'. Kelebihan itu adalah ketulusan hati untuk 'berbagi'. Berbagi kebahagiaan kadang tidak harus dengan harga yang mahal. Tidak harus dengan kelimpahan materi. Lihat, bagaimana mereka bisa membahagiakan orang lain justru dengan 'kelemahan' mereka.
Seorang pria buta yang bernyanyi dengan nada merdu sempat berkata, 'Saudaraku, saya memiliki dua mata seperti Anda. Namun yang ada di depan saya hanyalah kegelapan. Ibu saya mengatakan saya bisa bernyanyi, dan ia memberi saya semangat untuk bernyanyi.'
Dalam keseharian, kita juga kadang bahkan terlalu sering hidup dalam segala 'kekurangan' dan keterbatasan. Dan akhirnya, kita menciptakan kemiskinan mental kita dengan mengkerdilkan kelebihan kita.
Bayangkan bila hari ini kita mulai dengan senyuman.
Bayangkan bila hari ini kita mulai dengan kebahagiaan.
Bayangkan bila hari ini kita mulai dengan semangat ketulusan dan berbagi.
Bayangkan bila hari ini kita mulai dengan keinginan untuk memberikan yang terbaik.
Bayangkan bila hari ini kita mulai dengan cinta.
Bayangkan bila hari ini kita mulai dengan memfokuskan diri kita pada kelebihan kita.
Bayangkan apa yang akan terjadi di akhir hari ini ...
Benarlah apa yang dikatakan Alexander Graham Bell ... 'Setelah satu pintu tertutup, pintu lainnya terbuka; tetapi kerap kali kita terlalu lama memandangi dan menyesali pintu yang telah tertutup sehingga kita tidak melihat pintu yang telah dibuka untuk kita.'
Jadi, sahabat sekalian, fokuskan perhatian pada kelebihan kita dan bukan kelemahan kita!