0
Setiap pemimpin adalah orang nomor satu ...
Sebagaimana tak ada kecap nomor dua, pemimpin pun adalah orang paling unggul dalam sebuah komunitas. Dengan memakai paradigma inilah, seorang presiden kemudian dielu-elukan, dijaga dan dikawal kemana-mana, mendapatkan prioritas, dan seterusnya. Bahkan itu berlaku dalam era demokrasi seperti sekarang, dimana orang banyak seharusnya yang menjadi juragan.
Dan demokrasi menerbitkan sebuah tradisi lain yang membuat anek nilai-nilainya sendiri: menjadikan nomor dua menjadi amat penting. Kini para calon presiden sibuk mencari orang nomor dua, saling menunggu lawan memilih orang nomor dua, agar pas memilih strategi dan kelak menang dalam pemilihan. Artinya, orang nomor dualah yang menentukan kemenangan atau kekalahan. Sudah sedemikian pentingkah orang nomor dua?
Ini perkembangan yang menarik. Demokrasi kian menjadi urusan hidup sehari-hari. Menjadikan penting orang nomor dua bisa menjadi seseorang terhindar menjadi tiran. Sebab ia akan punya sparing partner dalam menentukan pelbagai kebijakan. Dalam otoritarianisme, demokrasi akan menjadi perlu dan harus. Dan bagaimana kita melihat orang nomor dua?
Nomor dua memang terdengar tidak penting dan utama. Nomor dua seolah hanya pendamping. Di zaman Orde Baru, orang nomor dua hanyalah seorang pengganti tidak tetap. Jika orang nomor satu berhalangan kondangan, orang nomor dua akan menggantikannya. Dengan menjadikan penting orang nomor dua, soal wakil-mewakilkan ini akan bisa diatasi. Wakil bukan hanya sebatas ban serep. Wakil juga adalah pemimpin dalam lingkup kekuasaannya.
Zaman memang sering tidak terduga-duga. Nassim Nicholas Thaleb menyebutnya 'teori angsa hitam'. Sebelum 1697, orang tidak berpikir ada angsa berwarna hitam polos di dunia ini. Sampai Willem de Vlamingh menekukannya di Australia bagian barat. Satu-satunya di dunia, hewan ini menjadi lambang Provinsi Australia Barat. Artinya, memang, jangan pernah berpikir tak ada angsa hitam meski kita belum pernah melihatnya.
Nassim, dalam The Black Swan, sebetulnya sedang mengajak kita merenungkan paradigma dan keyakinan bahwa yang pasti itu tidak ketidakpastian itu sendiri. Kita tidak bisa meramalkan hal-hal di depan kita, tapi kita bisa menduganya. Keterbukaan pikiran di dini menjadi penting. Ketika tumor ditemukan, orang tahu dan berpikir bahwa ternyata ada penyakit semacam itu. Tapi, seandainya dulu tumor tidak ada dan ditemukan, jangan pernah berpikir kita terbebas dari penyakit ini.
Begitu juga dengan paradigma. Jangan-jangan orang nomor dua itu memang lebih penting ketimbang orang nomor satu. Paradigma lama kita tentu menolaknya karena nomor dua selalu lebih belakang dari nomor satu. Jika nomor dua lebih penting dibanding nomor dua, tentu nomor dua sudah bukan lagi kedua, tapi nomor satu. Tapi biarkanlah paradigma kuno ini melekat dalam kepala kita. Biarkanlah nomor wahid itu selalu nomor satu.
Tapi mari kita ubah paradigma itu, bahwa nomor dua pun bisa menyaingi nomor satu. Artinya, kita anggap penting nomor dua, seperti dalam pemilihan presiden sekarang. Nomor dua, wakil presiden, itu penting karena ia akan mengimbangi kekuasaan nomor satu. Ada saling mengisi di sana. Saling berbagi. Bukankah, hidup yang baik adalah hidup yang seimbang?
Demokrasi ingin mencapai soal keseimbangan itu. Dan demokrasi adalah jalan paling mungkin untuk mengerem orang mengumbar kekuasaannya. Demokrasi adalah kontrol oleh nomor-nomor lain terhadap nomor satu. Artinya, nomor-nomor lain itu menjadi penting sekarang. Tentu saja tidak ada nomor satu jika tak ada nomor dua dan nomor lain. Kita tidak bisa bertanding sendirian. Pertandingan akan seru justru jika diikuti oleh banyak peserta.
Setelah nomor dua menjadi pentig, maka yang terjadi adalah pemberdayaan. Ini tidak berarti seseorang tidak bisa berdaya jika tidak menjadi penting. Ini soal berdaya akan lebih kuat jika menjadi penting.
Dalam politik - sebagai ajang menjaring pemimpin formal - menjadi berdaya itu penting. Dan berdaya, harus ditopang oleh kecakapan dan tabiat. Kompetensi tak akan jalan jika tidak ditopang dengan baik oleh tabiat. Tabiat tidak akan berguna jika tidak memiliki kompetensi.
Seorang wakil pemimpin akan menjadi penyeimbang - dan menjalankan - kekuasaan yang tak mungkin direngkuh pemimpin. Kekuasaan dan manusia itu terbatas, apalagi dalam politik yang banyak segi kepentingannya. Begitulah politik yang indah, berbagi kekuasaan agar seimbang lalu memanfaatkan kekuasaan dalam keseimbangan itu untuk kepentingan orang banyak.
Jadi, mari kita fokus memilih orang nomor dua!