Krisis, Saatnya Provocative Selling
Posted: Minggu, 14 Juni 2009 by R. Anang Tinosaputra in Label: The Meaning of Marketing
0
Siapa fungsi yang paling menderita saat krisis melanda? Bukan keuangan, bukan sumber daya manusia, bukan marketing, bukan PR, tapi penjualan (selling). Bagaimana tidak wong reaksinya langsung. Prospek tiba-tiba minta hargnya diturunkan kalau tidak mereka membatalkan transaksi, padahal sudah closing sebelumnya. Manajer pembelian tiba-tiba memberitahu bahwa wewenang keputusan pembelian berubah, karena harus meminta persetujuan direktur utama, padahal order sebelumnya persetujuan cukup sampai manajer pembelian. Teman saya yang jualan produk IT juga terpaksa gigit jari karena prospek bilang: 'Maaf karena krisis kita belum bisa menambah investasi infrastruktur, nanti ya setelah kondisi membaik.' Teman satu lagi yang di media bahkan mengatakan prospek yang sudah oke mau pasang iklan akhirnya minta ditunda, juga dengan alasan yang sama: KRISIS!
Jadi, krisis ini memang musuhnya penjualan. Kalau kemarin rumah sakit jiwa di Indonesia telah menyiapkan kamar khusus untuk politisi yang stress akibat kalah pemilu, barangkali perlu juga disediakan kamar khusus untuk para penjual yang stress akibat krisis. Namun, tidak bagi penjual yang menyimak tulisan ini.
Provocative Selling Membuat Prospek Kuatir Bahkan Mimpi Buruk Jika Tidak Membeli
Dalam situasi krisis seringkali logika menjadi tumpul. Barang bagus menjadi kelihatan jelek, penawaran super menjadi kelihatan biasa saja. Oleh karena itu, penawaran yang sifatnya taktikal, tidak mencoba memengaruhi emosi pelanggan bakal bentrok. Hanya penawaran yang memprovokasi prospek untuk larut dalam 'kekuatiran' yang bakal closing. Terus terang saya mendapat insight ini dari teman saya salesman mobil. Sebut saja namanya Herman.
Herman pintar sekali membuat saya kuatir untuk tidak membeli mobil jualannya. Saya masih ingat teknik jualannya, dan saya golongkan menjadi tiga tahap. Tiga tahap itu setelah saya pikir di rumah, ternyata universal sehingga saya membaginya untuk sahabat sekalian.
Teknik #1. Herman mengajukan pertanyaan dan opini yang sifatnya faktual.
Daftar pertanyaannya adalah sebagai berikut:
'Mobil Bapak sekarang apa?'
'Bapak senang/puas dengan mobil Bapak?'
'Bagaimana anak istri, puaskah?'
'Oo begitu, jadi mobil Bapak sedan, jadi susah dong kalau ada saudara datang dari kampung mau ngajak jalan-jalan?'
'Menurut survei, pembeli mobil keluarga kami adalah eksekutif muda seperti Bapak, yang baru tahu kebutuhan setelah anak kedua lahir?'
'Menurut survei, orang yang membeli mobil ini rata-rata lima tahun tidak ganti mobil, malah tambah mobil kecil karena sayang untuk dijual karena asyiknya buat rame-rame pergi bersama keluarga.'
'Coba Bapak lihat teman kantor, berapa orang yang memakai mobil ini, banyak kan?'
Pertanyaan di atas adalah teknik yang disebut dengan teknik mengunci masalah pelanggan. Tapi jangan main-main dengan metode ini, kalau kita tidak mempunyai pemahaman yang cukup tentang prospek karena kalau salah terka, maka sedetik kredibilitas kita hancur karena sok tahu. Herman mengajukan pertanyaan di atas sebagai prakondisi menuju klimaks.
Di sini prospek dibuat berkata 'iya' dengan tanda-tanda: bahasa tubuh geisah, tangan bersedekap, memegang janggut atau perut, mengelus rambut, mata meleng kanan-kiri, mondar-mandir sana-sini, dan mulai memegang-megang produk berulang kali tanpa alasan yang jelas. Ini tanda sinyal pembeian telah muncul. Perhatikan prospek-prospek kita, apakah mereka juga berperilaku serupa?
Bahas tubuh saya kalau sedang gelisah adalah mengelus rambut dan jalan mondar-mandir. Dan itulah yang terjdi waktu herman selesai mengajukan pertanyaan retorik sebagai penanda teknik pertama.
Herman berhasil menemukan masalah yang membuat saya tidak tenang. Dia juga memberikan contoh 'pesaing' saya yang menggunakan mobil yang sama. Dia berusaha mengubah pola pikir saya tentang sebuah mobil untuk keluarga, bukan sedan namun MPV merek X. Jika Barack Obama mengusung tema change dan menang, maka siapapun penjual yang ingin closing di kala krisis juga harus berusaha mengusung temachange kala memprospek klien. Change selalu membuat orang tidak tenang dengan segala macam keputusan yang telah dilakukan sebelumnya. Change langsung mengarah kepada harapan tentang situasi baru yang lebih memuaskan. Setelah berhasil meyakinkan, barulah masuk ke langkah berikutnya.
Teknik #2. Menceritakan kisah bahagia pengguna MPV brand X Herman bertanya:
'Gimana pendapat teman Bapak tentang MPV brand X ini, mungkin pernah dengar?'
Setelah saya menjawab. Herman menimpali opini saya.
'Oya, itu persis dengan pengalaman orang-orang yang beli mobil ini dari saya, katanya mantap, power-nya besar, bisa muat bahkan sampai delapan orang dewasa, tangguh, dan cocok untuk melindas segala medan, termasuk kala banjir. Meski BBM agak boros sedikit dibandingkan pesaing.'
Ini yang disebut dengan teknik bercerita (story telling) yang menguatkan sinyelemen adanya masalah dalam diri prospek. Menurut hasil riset penjualan, dampaknya besar apalagi jika diperkuat dengan intonasi dan bahasa tubuh yang selaras dengan mengarang cerita. Tapi jangan coba-coba berbohong-tidak jujur apalagi mengarang cerita. Teknik-teknik manipulatif sudah usang karena seringkali pelanggan lebih tahu detail produk dibandingkan penjual. Hindari berbohong soal keunggulan dan kelemahan produk, karena itu bukan tugas kita sebagai penjual melainkan tugas engineer atau manajemen perusahaan kita. Sekarang prospek berhubungan dengan penjual karena ingin mendapatkan hubungan yang hangat dan jujur, bukan lagi sekadar informasi produk.
Teknik #3. Memberikan solusi pembiayaan atau investasi.
Kalau cerita kita berhasil mengaduk kekuatiran dan memberikan solusi atas masalah yang baru saja dipahami klien, maka langkah terakhir adalah memberikan solusi taktis agar prospek bisa mewujudkan impiannya memiliki produk yang kita tawarkan. Ingat, prinsip dalaml mengelola krisis atau bertahan (survival) bukan meningkatkan pangsa pasar (market share) apalagi laba (profit margin). Jadi, buang jauh-jauh pikiran untuk menengguk manisnya bonus seperti sebelum krisis. Bantulah pelanggan dan dapatkan bonus kita secara wajar.
Herman menawarkan saya berbagai kemudahan dari mulai keringanan DP, bunga ringan, sampai berbagai macam hadiah langsung. Ini membuat saya semakin kuatir untuk tidak melewatkan tawaran ini, apalagi dikasih embel-embel hanya untuk bulan ini!
Jika penawaran kita sudah sangat profokatif secara emosional, maka dalam harga dan cara pembayaran kita juga harus profokatif. Tidak selalu harus diskon besar-besaran, melainkan fasilitasilah prospek dengan kredit lunak, pembayaran yang bisa diangsur lebih panjang, kuota yang lebih ringan, dan lain sebagainya asal prospek yang sudah memutuskan tidak membeli akhirnya bisa ditarik lagi menjadi pelanggan (winback).
Upaya fungsi penjualan ini harus mendapat dukungan dari fungsi lain. Bagi manajemen kalau mungkin evaluasilah tahapan bisnis kita, siapa tahu masih ada proses yang bisa kita efisienkan (cost innovation) sehingga kita bisa memberikan 'kemudahan' yang lebih kepada pelanggan. Hindari potong harga yang tidak memerhatikan struktur biara (price reduction).
Bagi seluruh staf perusahaan di semua fungsi, ingatlah krisis adalah saatnya berinvestasi, sabar dulu, pasca krisis bolehlah kita bicara profit margin, bonus, insentif seperti biasanya. Selamat berjuang, sahabat!
Jadi, krisis ini memang musuhnya penjualan. Kalau kemarin rumah sakit jiwa di Indonesia telah menyiapkan kamar khusus untuk politisi yang stress akibat kalah pemilu, barangkali perlu juga disediakan kamar khusus untuk para penjual yang stress akibat krisis. Namun, tidak bagi penjual yang menyimak tulisan ini.
Provocative Selling Membuat Prospek Kuatir Bahkan Mimpi Buruk Jika Tidak Membeli
Dalam situasi krisis seringkali logika menjadi tumpul. Barang bagus menjadi kelihatan jelek, penawaran super menjadi kelihatan biasa saja. Oleh karena itu, penawaran yang sifatnya taktikal, tidak mencoba memengaruhi emosi pelanggan bakal bentrok. Hanya penawaran yang memprovokasi prospek untuk larut dalam 'kekuatiran' yang bakal closing. Terus terang saya mendapat insight ini dari teman saya salesman mobil. Sebut saja namanya Herman.
Herman pintar sekali membuat saya kuatir untuk tidak membeli mobil jualannya. Saya masih ingat teknik jualannya, dan saya golongkan menjadi tiga tahap. Tiga tahap itu setelah saya pikir di rumah, ternyata universal sehingga saya membaginya untuk sahabat sekalian.
Teknik #1. Herman mengajukan pertanyaan dan opini yang sifatnya faktual.
Daftar pertanyaannya adalah sebagai berikut:
'Mobil Bapak sekarang apa?'
'Bapak senang/puas dengan mobil Bapak?'
'Bagaimana anak istri, puaskah?'
'Oo begitu, jadi mobil Bapak sedan, jadi susah dong kalau ada saudara datang dari kampung mau ngajak jalan-jalan?'
'Menurut survei, pembeli mobil keluarga kami adalah eksekutif muda seperti Bapak, yang baru tahu kebutuhan setelah anak kedua lahir?'
'Menurut survei, orang yang membeli mobil ini rata-rata lima tahun tidak ganti mobil, malah tambah mobil kecil karena sayang untuk dijual karena asyiknya buat rame-rame pergi bersama keluarga.'
'Coba Bapak lihat teman kantor, berapa orang yang memakai mobil ini, banyak kan?'
Pertanyaan di atas adalah teknik yang disebut dengan teknik mengunci masalah pelanggan. Tapi jangan main-main dengan metode ini, kalau kita tidak mempunyai pemahaman yang cukup tentang prospek karena kalau salah terka, maka sedetik kredibilitas kita hancur karena sok tahu. Herman mengajukan pertanyaan di atas sebagai prakondisi menuju klimaks.
Di sini prospek dibuat berkata 'iya' dengan tanda-tanda: bahasa tubuh geisah, tangan bersedekap, memegang janggut atau perut, mengelus rambut, mata meleng kanan-kiri, mondar-mandir sana-sini, dan mulai memegang-megang produk berulang kali tanpa alasan yang jelas. Ini tanda sinyal pembeian telah muncul. Perhatikan prospek-prospek kita, apakah mereka juga berperilaku serupa?
Bahas tubuh saya kalau sedang gelisah adalah mengelus rambut dan jalan mondar-mandir. Dan itulah yang terjdi waktu herman selesai mengajukan pertanyaan retorik sebagai penanda teknik pertama.
Herman berhasil menemukan masalah yang membuat saya tidak tenang. Dia juga memberikan contoh 'pesaing' saya yang menggunakan mobil yang sama. Dia berusaha mengubah pola pikir saya tentang sebuah mobil untuk keluarga, bukan sedan namun MPV merek X. Jika Barack Obama mengusung tema change dan menang, maka siapapun penjual yang ingin closing di kala krisis juga harus berusaha mengusung temachange kala memprospek klien. Change selalu membuat orang tidak tenang dengan segala macam keputusan yang telah dilakukan sebelumnya. Change langsung mengarah kepada harapan tentang situasi baru yang lebih memuaskan. Setelah berhasil meyakinkan, barulah masuk ke langkah berikutnya.
Teknik #2. Menceritakan kisah bahagia pengguna MPV brand X Herman bertanya:
'Gimana pendapat teman Bapak tentang MPV brand X ini, mungkin pernah dengar?'
Setelah saya menjawab. Herman menimpali opini saya.
'Oya, itu persis dengan pengalaman orang-orang yang beli mobil ini dari saya, katanya mantap, power-nya besar, bisa muat bahkan sampai delapan orang dewasa, tangguh, dan cocok untuk melindas segala medan, termasuk kala banjir. Meski BBM agak boros sedikit dibandingkan pesaing.'
Ini yang disebut dengan teknik bercerita (story telling) yang menguatkan sinyelemen adanya masalah dalam diri prospek. Menurut hasil riset penjualan, dampaknya besar apalagi jika diperkuat dengan intonasi dan bahasa tubuh yang selaras dengan mengarang cerita. Tapi jangan coba-coba berbohong-tidak jujur apalagi mengarang cerita. Teknik-teknik manipulatif sudah usang karena seringkali pelanggan lebih tahu detail produk dibandingkan penjual. Hindari berbohong soal keunggulan dan kelemahan produk, karena itu bukan tugas kita sebagai penjual melainkan tugas engineer atau manajemen perusahaan kita. Sekarang prospek berhubungan dengan penjual karena ingin mendapatkan hubungan yang hangat dan jujur, bukan lagi sekadar informasi produk.
Teknik #3. Memberikan solusi pembiayaan atau investasi.
Kalau cerita kita berhasil mengaduk kekuatiran dan memberikan solusi atas masalah yang baru saja dipahami klien, maka langkah terakhir adalah memberikan solusi taktis agar prospek bisa mewujudkan impiannya memiliki produk yang kita tawarkan. Ingat, prinsip dalaml mengelola krisis atau bertahan (survival) bukan meningkatkan pangsa pasar (market share) apalagi laba (profit margin). Jadi, buang jauh-jauh pikiran untuk menengguk manisnya bonus seperti sebelum krisis. Bantulah pelanggan dan dapatkan bonus kita secara wajar.
Herman menawarkan saya berbagai kemudahan dari mulai keringanan DP, bunga ringan, sampai berbagai macam hadiah langsung. Ini membuat saya semakin kuatir untuk tidak melewatkan tawaran ini, apalagi dikasih embel-embel hanya untuk bulan ini!
Jika penawaran kita sudah sangat profokatif secara emosional, maka dalam harga dan cara pembayaran kita juga harus profokatif. Tidak selalu harus diskon besar-besaran, melainkan fasilitasilah prospek dengan kredit lunak, pembayaran yang bisa diangsur lebih panjang, kuota yang lebih ringan, dan lain sebagainya asal prospek yang sudah memutuskan tidak membeli akhirnya bisa ditarik lagi menjadi pelanggan (winback).
Upaya fungsi penjualan ini harus mendapat dukungan dari fungsi lain. Bagi manajemen kalau mungkin evaluasilah tahapan bisnis kita, siapa tahu masih ada proses yang bisa kita efisienkan (cost innovation) sehingga kita bisa memberikan 'kemudahan' yang lebih kepada pelanggan. Hindari potong harga yang tidak memerhatikan struktur biara (price reduction).
Bagi seluruh staf perusahaan di semua fungsi, ingatlah krisis adalah saatnya berinvestasi, sabar dulu, pasca krisis bolehlah kita bicara profit margin, bonus, insentif seperti biasanya. Selamat berjuang, sahabat!