Lentera Jiwa (2)

Posted: Senin, 22 Juni 2009 by R. Anang Tinosaputra in Label:
0

Banyak yang bertanya mengapa saya mengundurkan diri sebagai salah satu kepala bagian di salah satu pusat credit union di Bali. Memang sulit bagi saya untuk meyakinkan setiap orang yang bertanya bahwa saya keluar bukan karena 'pecah kongsi' dengan manajer saya dulu, bukan karena sedang marah atau bukan dalam situasi yang tidak menyenangkan. Mungkin terasa aneh pada posisi yang cukup bagus, dengan power yang luar biasa, dengan karya yang sudah terberi selama ini, tiba-tiba saya mengundurkan diri.

Dalam perjalanan hidup dan karir, dua kali saya mengambil keputusan sulit. Pertama, ketika saya tamat SMU. Saya tidak mengambil keputusan untuk bekerja, meskipun saya tahu kemampuan orang tua saya sangat amat terbatas. Saya lebih memilih melanjutkan ke Universitas Udayana walau harus menanggung sendiri beban uang kuliah dan 'memaksa' orang tua saya untuk menjual televisi 14 inchi satu-satunya yang ada di rumah saya waktu itu.
Kedua, ya itu tadi, ketika saya memutuskan untuk mengundurkan diri dari hingar bingar credit union.

Dalam satu seminar, Rhenald Khasali, penulis buku Change yang saya kagumi, sembari bergurau di depan ratusan hadirin mencoba menganalisis orang-orang yang keluar dari pekerjaannya atau kondisi apapun yang sebenarnya menurut kacamata orang luar sudah lebih dari mapan. 'Mereka ini ibarat ikan di dalam kolam. Ikannya terus membesar sehingga kolamnya menjadi kekecilan. Ikan tersebut terpaksa harus mencari kolam yang lebih besar.'

Saya tidak tahu apakah pandangan Rhenald benar atau tidak. Tetapi, jujur saja, sejak lama saya memang sudah ingin mengundurkan diri dari credit union. Persisnya ketika saya membaca sebuah buku kecil berjudul Who Move My Cheese, yang diberi oleh Suster Linda, SPM dari Magelang.



Bagi sahabat sekalian yang belum membacanya, buku ini bercerita tentang dua kurcaci. Mereka hidup dalam sebuah labirin yang sarat dengan keju. Kurcaci yang satu selalu berpikiran suatu hari kelak keju di tempat mereka tinggal akan habis. Karena itu, dia selalu menjaga stamina dan kesadarannya agar jika keju di situ habis, dia dalam kondisi siap mencari keju di tempat lain. Sebaliknya, kurcaci yang kedua, begitu yakin sampai kiamatpun persediaan keju tidak akan pernah habis.

Singkat cerita, suatu hari keju habis. Kurcaci pertama mengajak sahabatnya untuk meninggalkan tempat itu guna mencari keju di tempat lain. Sang sahabat menolak. Dia yakin keju itu hanya 'dipindahkan' oleh seseorang dan nanti suatu hari pasti akan dikembalikan. Karena itu tidak perlu mencari keju di tempat lain. Dia sudah merasa nyaman. Maka dia memutuskan menunggu terus di tempat itu sampai suatu hari keju yang dia yakini hilang itu akan kembali. Apa yang terjadi, kurcaci itu menunggu dan menunggu sampai kemudian dia mati kelaparan. Sedangkan kurcaci yang selalu siap tadi sudah menemukan labirin lain yang penuh dengan keju. Bahkan, jauh lebih banyak dibandingkan di tempat lama.

Pesan moral buku sederhana ini sangat jelas: jangan sekali-kali kita merasa nyaman di suatu tempat sehingga lupa mengembankan diri guna menghadapi perubahan dan tantangan yang lebih besar. Mereka yang tidak mau berubah, dan merasa sudah nyaman di suatu posisi, biasanya akan mati digilas waktu.

Setelah membaca buku itu, entah mengapa ada dorongan luar biasa yang mengentak-entak di dalam dada. Ada gairah yang luar biasa yang mendorong saya untuk keluar dari credit union. Keluar dari labirin yang selama ini membuat saya sangat nyaman karena setiap hari 'keju' itu sudah tersedia di depan mata. Saya juga ingin mengikuti 'lentera jiwa' saya. Memilih arah sesuai panggilan hati. Saya ingin berdiri sendiri.

Maka ketika mendengar sebuah lagu berjudul Lentera Jiwa yang dinyanyikan Nugie, hati saya melonjak-lonjak. Selain syair dan pesan yang ingin disampaikan Nugie dalam lagunya itu sesuai dengan kata hati saya, sudah sejak lama saya ingin membagi kerisauan saya kepada banyak orang.

Dalam perjalan hidup saya, banyak saya jumpai orang-orang yang merasa tidak bahagia dengan pekerjaan mereka. Bahkan seorang kenalan saya, yang sudah menduduki posisi puncak di suatu perusahaan asuransi asing, mengaku tidak bahagia dengan pekerjaannya. Uang dan jabatan ternyata tidak membuatnya bahagia. Dia merasa lentera jiwanya ada di ajang pertunjukan musik. Tetapi dia takut untuk melompat. Takut untuk memulai dari bawah. Dia merasa tidak siap jika kehidupan ekonominya yang sudah mapan berantakan. Maka dia menjalani sisa hidupnya dalam dilema itu. Dia tidak bahagia.

Ketika diminta menjadi pembicara untuk beberapa kegiatan kampus, saya menemukan banyak mahasiswa yang tidak happy dengan jurusan yang mereka tekuni sekarang. Ada yang mengaku waktu itu belum tahu ingin menjadi apa, ada yang jujur bilang ikut-ikutan pacar (yang belakangan ternyata putus juga) atau ada yang karena solider dengan teman. Tetapi yang paling banyak mengaku jurusan yang mereka tekuni sekarang - dan membuat mereka tidak bahagia - adalah karena mengikuti keinginan orang tua.

Dalam episode 'Lentera Jiwa' Kick Andy (tayang Jumat, 29 Agustus 2008), kita dapat melihat orang-orang yang berani mengambil keputusan besar dalam hidup mereka. Ada Bara Pattirajawane, anak diplomat dan lulusan Hubungan Internasional, yang pada satu titik mengambil keputusan drastis untuk berbelok arah dan menekuni dunia masak-memasak. Dia memilih menjadi koki. Pekerjaan yang sangat dia dukai dan menghantarkannya sebagai salah seorang pemandu acara masak-memasak di televisi dan kini memiliki restoran sendiri. 'Saya sangat bahagia dengan apa yang saya kerjakan saat ini', ujarnya. Padahal, orang tuanya menghendaki Bara mengikuti jejak sang ayah sebagai diplomat.

Juga ada Wahyu Aditya yang sangat bahagia dengan pilihan hatinya untuk menggeluti bidang animasi. Bidang yang menghantarkannya mendapat beasiswa dari British Council. Kini Adit bahkan membuka sekolah animasi. Padahal, ayah dan ibunya lebih menghendaki anak tercinta mereka ini mengikuti jejak sang ayah sebagai dokter.

Simak juga bagaimana Gede Prama memutuskan meninggalkan posisi puncak sebuah perusahaan jamu dan jabatan komisaris di beberapa perusahaan. Konsultan manajemen dan penulis buku ini memilih tinggal di Bali dan bekerja untuk dirinya sendiri sebagai pablic speaker.

Pertanyaan yang paling hakiki adalah apa yang kita cari dalam kehidupan yang singkat ini? Semua orang ingin bahagia. Tetapi banyak yang tidak tahu bagaimana cara mencapainya.

Karena itu, beruntunglah mereka yang saat ini bekerja di bidang yang dicintainya. Bidang yang membuat mereka begitu bersemangat, begitu bergembira dalam menikmati hidup. 'Bagi saya, bekerja itu seperti rekreasi. Gembira terus, nggak ada capeknya.', ujar YOn Koeswoyo, salah seorang personel Koes Plus. Dalam usianya menjelang 68 tahun, Yon tampak penuh energi. Dinamis. Tak heran jika ia masih mampu melantunkan sepuluh lagu tanpa henti. Sungguh luar biasa. 'Semua karena saya mencintai pekerjaan saya. Musik adalah dunia saya. Cinta saya. Hidup saya.', katanya.

Kini, saya pun bisa dengan bangga mengatakan bahwa credit union adalah hidup saya, cinta saya, dan nafas saya. Saya memang mengundurkan diri dari credit union tapi itu sebagai profesionalitas saya. Namun, hati ini tetap menghidupkan dan berkarya bersama credit union.

Berbahagialah mereka yang menikmati pekerjaannya.
Berbahagialah mereka yang sudah mencapai taraf bekerja sebagai rekreasi.
Sebab mereka sudah menemukan lentera jiwa mereka.

Get your choice ... and love it.

0 komentar: