13 Kesalahan Mematikan Merek
Posted: Minggu, 14 Juni 2009 by R. Anang Tinosaputra in Label: The Meaning of Marketing
0
Zaman katanya sudah serba teknologi. Internet makin merajalela. Setiap marketer tentu harus memiliki jurus-jurus baru. Namun, jurus apa yang baik dilakukan dan jurus apa yang justru bisa mematikan diri sendiri?
April lalu, General Motor (kembali) mengumumkan kematian salah satu merek mobil mereka, yakni Pontiac. Seperti dikatakan oleh Fritz Henderson, CEO General Motor, perusahaan ini akan berfokus pada core brand mereka, yakni Chevrolet, Cadillac, Buick, dan GMC.
Keputusan ini melengkapi rangkaian dari cerita-cerita sedih di GM seteah perusahaan ini diterpa badai krisis di AS. Setelah 80 tahun lebih hadir, merek ini pun akhirnya harus dikubur. Penyegaran merek tua ini dengan berbagai tampilan mobil muthakirnya tampanya tidak bisa lagi menaikkan penjualan merek ini. Mungkin krisis menjadi penyebabnya. Namun, kalau merek ini masih memiliki potensi, tentunya GM tidak akan menguburnya.
Kematian memang menyedijkan. Demikian halnya dengan merek. Padahal, meluncurkan dan membangun merek menghabiskan biaya, tenaga, dan pikiran yang tidak sedikit.
Memang, sampai hari ini, tidak ada data akurat menyebutkan bahwa ada beberapa merek yang telah gagal di pasar setiap tahunnya. Namun, di Amerika, salah satu lembaga survei pernah merilis data yang cukup mencengangkan. Di sana disebutkan bahwa dari sekian banyak merek yang diluncurkan, 5%-nya berhasil dan 95%-nya gagal. Sebuah angka yang cukup 'mengerikan'. Jadi, kalau ada 100 merek yang diluncurkan, hanya lima merek yang akan sukses, selebihnya gagal.
Membangun merek memang semakin tidak mudah di masa sekarang. Keterbukaan informasi, konsumen yang semakin berdaulat dan cerdas, serta kehadiran teknologi informasi yang semakin canggih, membuat merek harus berhati-hati melangkah. Kalau tidak merek tersebut akan terjungkal.
Umumnya, kegagalan itu bermula dari kesalahan menerka jalan pikiran pelanggan (menganalisis pasar). Apa yang dianggap sudah baik oleh pemasar ternyata dipersepsikan sebaliknya oleh pelanggan. Persepsi pelanggan tersebut yang sulit dimengerti oleh pemasar, meski telah melakukan riset konsumen. Itulah mengapa banyak merek yang harus menyingkir dari perhelatan pasar.
Tetapi, mengapa harus gagal, tersingkir, dan mati? Beberapa waktu lalu saya sudah menyampaikan mengenai 10 penyebab kematian marketing beserta solusinya. Nah, sekarang bagaimana dengan merek? Sesuai dengan angka yang sering dianggap 'angker dan sial', setidaknya ada 13 tren penyebab kegagalan merek. Ketigabelas penyebab itu, antara lain kegagalan dalam elemen merek, kegagalan STP (segmentation, targeting, positioning), kegagalan di tahapan ide, kegagalan menganalisis pasarm kegagalan eksistensi merek, kegagalan memanfaatkan public relations, kegagalan komunikasi merek, kegagalan rebranding, kegagalan teknologi, kegagalan terhadap budaya pasar, kegagalan layanan merek, kegagalan sebagai pemain tunggal, dan kegagalan sebagai merek renta.
Kalau diamati, ketigabelas faktor tersebut memang bukan istilah baru bagi para marketer. Namun, jika ditarik pada kondisi sekarang dan di masa mendatang, bagaimana kematian tersebut terjadi akan berbeda. Ini disebabkan karakter dan perilaku konsumen yang memang sudah jauh berbeda dibandingkan beberapa tahun yang lalu.
Konsumen sekarang lebih kritis. Wajar saja, karena mereka sudah lebih terinformasi oleh hal-hal baru yang mereka dapatkan dengan mudah. Oleh karena itu, kematian merek pun bisa berlangsung lebih cepat, siklus hidup merek menjadi lebih pendek, karena infrastruktur penunjang seperti internet memudahkan untuk mematikan sebuah merek. Lihat saja kasus Adam Air. Isu-isu negatif yang tersebar melalui berbagai media, termasuk blog dan milis, mengakhiri masa keemasan merek ini. Para investornya tidak mau lagi menyetorkan modal karena citra maskapai yang sudah demikian buruk. Ingat, dalam branding, image adalah segala-galanya.
Perusahaan modifikasi otomotif, baru-baru ini juga terkena kasus masalah merek. Avus Performance, perusahaan dari Jerman ini me-launching Audi S6 terbaru yang dinamakan White Power. Hanya dalam hitungan jam, muncul komentar-komentar negatif soal penggunaan kata 'white power'. Terlalu rasis, kata kelompok ras kulit hitam. Apalagi yang mengeluarkan perusahaan dari negara Jerman yang mempunyai sejarah panjang akan rasisme.
Dalam beberapa jam kemudian, Avus Performance segera melakukan press conference dan meminta maaf atas kesalah-penamaan ini.
Reaksi konsumen memang semakin cepat dan marketer harus mewaspadai lebih dalam akan soal-soal ini karena juga bisa membuat merek terdongkel dengan cepat.
Namun, tidak selamanya revolusi dunia yang canggih disikapi oleh marketing yang canggih. Kadangkala ada banyak hal yang tdiak bisa mengikuti kecanggihan teknologi. Konsumen yang semakin terbuka terhadap produk canggih bukan diartikan bahwa mereka senang dengan keruwetan teknologi. Justru mereka membutuhkan teknologi yang lebih simpel dan mengerti mereka. Demikian halnya dengan rebranding, bukan berarti menghilangkan semua identitas merek. Bagaimanapun persepsi konsumen akan sebuah merek tidak mudah diubah hanya dengan mengganti identitas.
Artinya, perkembangan dan daur hidup merek sangat dipengaruhi oleh faktor eksternal (sesuatu yang tidak bisa dikontrol oleh pemasar, seperti budaya pasar) dan internal (hal-hal yang menyangkut kapabilitas dan sinergi yang ada dalam perusahaan). Dan, berhasil tidaknya merek itu bergantung pada penggabungan kedua faktor tersebut.
Kegagalan-kegalaan Itu ...
Jelas tidak ada seorang pun yang sudi melakukan kesalahan. Sebab, kesalahan membuahkan kerugian, bahkan malapetaka. Begitu pula dengan marketer, tentu tidak menginginkan kegagalan dalam mengembangkan merek itu merenggutnya. Apalagi, biaya, tenaga, waktu, dan pikiran, sudah dicurahkan untuk hal tersebut. So, waspadailah kesalahan-kesalahan ini, yang akan membuat merek kita terhindar dari kematian!
1. Kesalahan Elemen Merek
Apa saja yang tercakup dalam elemen merek? Mereka adalah nama, logo, simbol, slogan, kemasan, dan sejenisnya. Kesalahan memberikan nama, logo, slogan, simbol, kemasan, atau bahkan warna perusahaan (corporate color) pun bisa mematikan sebuah merek. Setidaknya merek itu akan sulit tumbuh dan berkembang jika elemen-elemen merek itu tidak bersinergi. Lihat, bagaiman Manchester United mampu menampilkan logo warna merah, dan kemudian 'dikemas' dengan julukan The Reds Devil, kemudian menamakan stadiun mereka, Old Trafford, sebagai 'Theater of Dream'. Ini merupakan kunci kenapa mereka bisa eksis dan menjadi brand paling laris di dunia.
2. Kesalahan Segmentation-Targeting-Positioning
Kesalahan segmentation juga sering dilakukan oleh perusahaan kelas bawah hingga menengah. Ingat, simpul utama dari marketing adalah segmentasi pasar. Kalau kita tidak tahu siapa yang akan mengenal dan kemudian membeli produk kita, maka untuk apa lagi kita memasarkan dan menjual produk. Banyak perusahaan yang sebenarnya mempunyai peluang meraih segmen premium, karena mempunyai produk berkualitas bagus, namun mereka malah memilih bermain di segmen bawah dengan pertimbangan volume pasar yang cukup besar, yang sebenarnya justru sangat kompetitif, dan akhirnya justru tidak berkembang.
Banyak pua perusahaan-perusahaan tidak berani untuk memperjelas target pasar dan positioning-nya, hal ini tentu akan berdampak pada hasil selling produk yang dipasarkannya.
3. Kegagalan Ide
Originalitas ide semakin sulit dipertahankan dewasa ini. Oleh karena itu, jangan pernah berpikir untuk bertahan pada satu ide saja. Inovasi harus selalu dilanjutkan karena kompetitor akan selalu mengopi setiap ide kita. Selain itu, jangan mengaplikasikan ide yang tidak diterima oleh pasar, dengan harapan bahwa pasar akan teredukasi dengan mudah. Pepsi pernah mengeluarkan kola untuk makan pagi. Aqua mengeluarkan air kemasan dengan aroma buah. Semuanya akhirnya hilang di pasaran.
4. Kegagalan Menganalisa Pasar
Bagi saya kesalahan ini merupakan kesalahan paling mendasar dan vital yang harus dihindari. Kejelian marketer dalam menganalisis pasar amat penting. Kesalahan dalam menganalisis pasar membuat merek tersebut akan ikut terpuruk. British Airways salah menganalisis kebutuhan pasar sehingga maskapai ini pernah ketinggalan para pesaingnya. Dari ribuan pesawat yang melintasi Eropa dan Amerika Serikat semuanya sudah memiliki colokan listrik di kursi penumpang eksekutif. Hanya British Airways yang belum memakainya. Padahal, colokan listrik ini sekarang menjadi hal yang penting bagi pebisnis untuk tetap bisa bekerja di pesawat selama penerbangan.
5. Kegagalan Eksistensi Merek
Apa yang dilakukan para marketer di era yang semakin kompetitif ini? Terkadang mereka tergoda untuk melakukan eksistensi dari merek yang sudah ada. Pertimbangannya, membangun merek terlalu lama dan mahal. Tapi apa jadinya jika eksistensinya terlalu jauh? Eksistensi yang berlebihan masih akan menjadi tren kegagalan merek masa kini.
6. Kegagalan dalam Memanfaatkan Public Relations
Persepsi perusahaan terhadap public relations akan menentukan bagaimana peran itu berpartisipasi dalam krisis yang dialami oleh perusahaan. Namun, ada perusahaan yang masih menganggap PR hanyalah sarana untuk berhubungan dengan media atau media relations. Salah satu contoh yang bisa dilihat ketika Adam Air mengalami kecelakaan. Manajemen Adam Air memilih diam dan bersembunyi dari media. Akibatnya, media justru semakin bersemangat mencari informasi dari narasumber lain. Dampak selanjutnya, pemberitaan yang keluar semakin menyudutkan maskapai penerbangan itu.
7. Kegagalan Komunikasi Merek
Apa yang membuat merek berhasil atau tidak dalam hal komunikasi, adalah bagaimana mereka membangun komunikasi yang intim dengan konsumen. Iklan masih akan menjadi engine dalam marketing-mix, namun kekuatan baru ada dalam kegiatan bellow the line, aktivitas online, dan penciptaan media baru lewat konsumen. Di masa sekarang, kekuatan media ada di tangan konsumen dan konsumenlah yang menjadi media tersebut. Tidak bersentuhan dengan konsumen langsung dalam strategi komunikasi bisa mematikan merek dalam jangka panjang.
8. Kegagalan Proses Rebranding
Mirip dengan kegagalan di dalam menyusun elemen merek, proses rebranding lebih berfokus pada perbaikan brand yang memiliki problem. Alih-alih memperbaiki merek, yang terjadi justru kesalahan fatal. Tropicana Jus di Amerika baru-baru ini dilaporkan membuat blunder dalam hal rebranding. Perubahan packaging-nya ternyata justru menurunkan value Tropicana di mata konsumen. Pepsi sebalai pemilik baru akhirnya kembali pada kemasan lama.
9. Kegagalan Teknologi
Bisa diterima atau tidaknya sebuah teknologi dapat dilihat dari aspek psikografis. Dalam hal ini, terbagi lagi menjadi dua kelompok, yakni aspek materialisme dan adaptasi sosial. Aspek materialisme lebih mengarah pada gaya hidup dan prestise. Sedangkan, aspek adaptasi sosial didasarkan pada fungsi dari penerapan teknologi itu digunakan, misalnya mempercepat pekerjaan atau mempermudah dalam sosialisasi dengan lingkungan. Hidup di zaman yang serba teknologi, bukannya justru membuat ruwet pikiran konsumen. Era teknologi justru harus membuat konsumen lebih mudah beradaptasi tidak saja dengan lingkungan, tapi juga dengan teknologi itu sendiri.
10. Kegagalan Budaya Pasar
Setidaknya ada tiga penyebab utama kegagalan merek terkait dengan budaya pasar. Ketiga penyebab itu adalah kesiapan pasar dalam menerima produk baru, edukasi pasar yang berkelanjutan, dan ketidaksesuaian benefit yang ditawarkan dengan ekspektasi pasar atau permintaan laten. Pasar yang terbuka bukan kemudian membuat pasar menjadi homogen. Bagaimanapun budaya suatu tempat masih menjadi sesuatu yang penting. Lihat bagaimana Google membuat Google versi Indonesia. Namun tidak halnya dengan Tara Nasiku yang mencoba mengubah budaya masyarakat supaya senang makan nasi goreng instan. Produk inipun tidak diterima pasar.
11. Kegagalan dalam After Sales Service
Prasales, during sales, and after sales service bukan 'harga' yang bisa ditawar-tawar lagi. Jadi, jika itu diabaikan, maka bersiaplah untuk 'gugur dalam medan perang'. Artinya merek harus menjamin layanan dengan baik. Hampir semua merek sepeda motor China mati, salah satu gara-garanya adalah tidak jelasnya layanan servis dan purnajual (after sales service)-nya.
12. Kegagalan Merek Tunggal
Tidak ada pemain yang bisa sukses dengan mencoba memonopol dan menguasai standar teknologi sendirian. Hal ini sebenarnya sudah pernah terjadi tahun 70-an, ketika Sony Betamax akhirnya tenggelam oleh produsen video ain yang memakai format VHS. 3G berkembang karena pemainnya banyak dan berlomba-lomba untuk memasarkannya.
Ingat, merek kita tidak akan pernah jadi juara jika tidak ada persaingan dan kompetisi.
13. Kegagalan Merek yang Renta
Terakhir, merek yang terlalu tua alias renta pun akhirnya harus mati. Polaroid dan Pontiac adalah merek yang terpaksa ditinggalkan konsumen karena sudah loyo. Padahal, seiring dinamisasi pasar, merek tua harus terus direjuvenasi. Merek-merek yang sudah terkenal di waktu lama dapat kehilangan pamornya karena beberapa faktor, seperti kehilangan relevansinya, pencitraan yang sudah usang, dan positioning pesaing yang lebih baik.
So, integritaskan merek kita dengan commitment and consistency kita. Karena itu yang akan membangun karakter merek kita. Siklus merek sangat ditentukan oleh kemampuan kita mengintegrasikan setiap elemen marketing mulai dari simpul awal, segmentation, hingga ujung dari marketing, service.
Think big, start small ...
April lalu, General Motor (kembali) mengumumkan kematian salah satu merek mobil mereka, yakni Pontiac. Seperti dikatakan oleh Fritz Henderson, CEO General Motor, perusahaan ini akan berfokus pada core brand mereka, yakni Chevrolet, Cadillac, Buick, dan GMC.
Keputusan ini melengkapi rangkaian dari cerita-cerita sedih di GM seteah perusahaan ini diterpa badai krisis di AS. Setelah 80 tahun lebih hadir, merek ini pun akhirnya harus dikubur. Penyegaran merek tua ini dengan berbagai tampilan mobil muthakirnya tampanya tidak bisa lagi menaikkan penjualan merek ini. Mungkin krisis menjadi penyebabnya. Namun, kalau merek ini masih memiliki potensi, tentunya GM tidak akan menguburnya.
Kematian memang menyedijkan. Demikian halnya dengan merek. Padahal, meluncurkan dan membangun merek menghabiskan biaya, tenaga, dan pikiran yang tidak sedikit.
Memang, sampai hari ini, tidak ada data akurat menyebutkan bahwa ada beberapa merek yang telah gagal di pasar setiap tahunnya. Namun, di Amerika, salah satu lembaga survei pernah merilis data yang cukup mencengangkan. Di sana disebutkan bahwa dari sekian banyak merek yang diluncurkan, 5%-nya berhasil dan 95%-nya gagal. Sebuah angka yang cukup 'mengerikan'. Jadi, kalau ada 100 merek yang diluncurkan, hanya lima merek yang akan sukses, selebihnya gagal.
Membangun merek memang semakin tidak mudah di masa sekarang. Keterbukaan informasi, konsumen yang semakin berdaulat dan cerdas, serta kehadiran teknologi informasi yang semakin canggih, membuat merek harus berhati-hati melangkah. Kalau tidak merek tersebut akan terjungkal.
Umumnya, kegagalan itu bermula dari kesalahan menerka jalan pikiran pelanggan (menganalisis pasar). Apa yang dianggap sudah baik oleh pemasar ternyata dipersepsikan sebaliknya oleh pelanggan. Persepsi pelanggan tersebut yang sulit dimengerti oleh pemasar, meski telah melakukan riset konsumen. Itulah mengapa banyak merek yang harus menyingkir dari perhelatan pasar.
Tetapi, mengapa harus gagal, tersingkir, dan mati? Beberapa waktu lalu saya sudah menyampaikan mengenai 10 penyebab kematian marketing beserta solusinya. Nah, sekarang bagaimana dengan merek? Sesuai dengan angka yang sering dianggap 'angker dan sial', setidaknya ada 13 tren penyebab kegagalan merek. Ketigabelas penyebab itu, antara lain kegagalan dalam elemen merek, kegagalan STP (segmentation, targeting, positioning), kegagalan di tahapan ide, kegagalan menganalisis pasarm kegagalan eksistensi merek, kegagalan memanfaatkan public relations, kegagalan komunikasi merek, kegagalan rebranding, kegagalan teknologi, kegagalan terhadap budaya pasar, kegagalan layanan merek, kegagalan sebagai pemain tunggal, dan kegagalan sebagai merek renta.
Kalau diamati, ketigabelas faktor tersebut memang bukan istilah baru bagi para marketer. Namun, jika ditarik pada kondisi sekarang dan di masa mendatang, bagaimana kematian tersebut terjadi akan berbeda. Ini disebabkan karakter dan perilaku konsumen yang memang sudah jauh berbeda dibandingkan beberapa tahun yang lalu.
Konsumen sekarang lebih kritis. Wajar saja, karena mereka sudah lebih terinformasi oleh hal-hal baru yang mereka dapatkan dengan mudah. Oleh karena itu, kematian merek pun bisa berlangsung lebih cepat, siklus hidup merek menjadi lebih pendek, karena infrastruktur penunjang seperti internet memudahkan untuk mematikan sebuah merek. Lihat saja kasus Adam Air. Isu-isu negatif yang tersebar melalui berbagai media, termasuk blog dan milis, mengakhiri masa keemasan merek ini. Para investornya tidak mau lagi menyetorkan modal karena citra maskapai yang sudah demikian buruk. Ingat, dalam branding, image adalah segala-galanya.
Perusahaan modifikasi otomotif, baru-baru ini juga terkena kasus masalah merek. Avus Performance, perusahaan dari Jerman ini me-launching Audi S6 terbaru yang dinamakan White Power. Hanya dalam hitungan jam, muncul komentar-komentar negatif soal penggunaan kata 'white power'. Terlalu rasis, kata kelompok ras kulit hitam. Apalagi yang mengeluarkan perusahaan dari negara Jerman yang mempunyai sejarah panjang akan rasisme.
Dalam beberapa jam kemudian, Avus Performance segera melakukan press conference dan meminta maaf atas kesalah-penamaan ini.
Reaksi konsumen memang semakin cepat dan marketer harus mewaspadai lebih dalam akan soal-soal ini karena juga bisa membuat merek terdongkel dengan cepat.
Namun, tidak selamanya revolusi dunia yang canggih disikapi oleh marketing yang canggih. Kadangkala ada banyak hal yang tdiak bisa mengikuti kecanggihan teknologi. Konsumen yang semakin terbuka terhadap produk canggih bukan diartikan bahwa mereka senang dengan keruwetan teknologi. Justru mereka membutuhkan teknologi yang lebih simpel dan mengerti mereka. Demikian halnya dengan rebranding, bukan berarti menghilangkan semua identitas merek. Bagaimanapun persepsi konsumen akan sebuah merek tidak mudah diubah hanya dengan mengganti identitas.
Artinya, perkembangan dan daur hidup merek sangat dipengaruhi oleh faktor eksternal (sesuatu yang tidak bisa dikontrol oleh pemasar, seperti budaya pasar) dan internal (hal-hal yang menyangkut kapabilitas dan sinergi yang ada dalam perusahaan). Dan, berhasil tidaknya merek itu bergantung pada penggabungan kedua faktor tersebut.
Kegagalan-kegalaan Itu ...
Jelas tidak ada seorang pun yang sudi melakukan kesalahan. Sebab, kesalahan membuahkan kerugian, bahkan malapetaka. Begitu pula dengan marketer, tentu tidak menginginkan kegagalan dalam mengembangkan merek itu merenggutnya. Apalagi, biaya, tenaga, waktu, dan pikiran, sudah dicurahkan untuk hal tersebut. So, waspadailah kesalahan-kesalahan ini, yang akan membuat merek kita terhindar dari kematian!
1. Kesalahan Elemen Merek
Apa saja yang tercakup dalam elemen merek? Mereka adalah nama, logo, simbol, slogan, kemasan, dan sejenisnya. Kesalahan memberikan nama, logo, slogan, simbol, kemasan, atau bahkan warna perusahaan (corporate color) pun bisa mematikan sebuah merek. Setidaknya merek itu akan sulit tumbuh dan berkembang jika elemen-elemen merek itu tidak bersinergi. Lihat, bagaiman Manchester United mampu menampilkan logo warna merah, dan kemudian 'dikemas' dengan julukan The Reds Devil, kemudian menamakan stadiun mereka, Old Trafford, sebagai 'Theater of Dream'. Ini merupakan kunci kenapa mereka bisa eksis dan menjadi brand paling laris di dunia.
2. Kesalahan Segmentation-Targeting-Positioning
Kesalahan segmentation juga sering dilakukan oleh perusahaan kelas bawah hingga menengah. Ingat, simpul utama dari marketing adalah segmentasi pasar. Kalau kita tidak tahu siapa yang akan mengenal dan kemudian membeli produk kita, maka untuk apa lagi kita memasarkan dan menjual produk. Banyak perusahaan yang sebenarnya mempunyai peluang meraih segmen premium, karena mempunyai produk berkualitas bagus, namun mereka malah memilih bermain di segmen bawah dengan pertimbangan volume pasar yang cukup besar, yang sebenarnya justru sangat kompetitif, dan akhirnya justru tidak berkembang.
Banyak pua perusahaan-perusahaan tidak berani untuk memperjelas target pasar dan positioning-nya, hal ini tentu akan berdampak pada hasil selling produk yang dipasarkannya.
3. Kegagalan Ide
Originalitas ide semakin sulit dipertahankan dewasa ini. Oleh karena itu, jangan pernah berpikir untuk bertahan pada satu ide saja. Inovasi harus selalu dilanjutkan karena kompetitor akan selalu mengopi setiap ide kita. Selain itu, jangan mengaplikasikan ide yang tidak diterima oleh pasar, dengan harapan bahwa pasar akan teredukasi dengan mudah. Pepsi pernah mengeluarkan kola untuk makan pagi. Aqua mengeluarkan air kemasan dengan aroma buah. Semuanya akhirnya hilang di pasaran.
4. Kegagalan Menganalisa Pasar
Bagi saya kesalahan ini merupakan kesalahan paling mendasar dan vital yang harus dihindari. Kejelian marketer dalam menganalisis pasar amat penting. Kesalahan dalam menganalisis pasar membuat merek tersebut akan ikut terpuruk. British Airways salah menganalisis kebutuhan pasar sehingga maskapai ini pernah ketinggalan para pesaingnya. Dari ribuan pesawat yang melintasi Eropa dan Amerika Serikat semuanya sudah memiliki colokan listrik di kursi penumpang eksekutif. Hanya British Airways yang belum memakainya. Padahal, colokan listrik ini sekarang menjadi hal yang penting bagi pebisnis untuk tetap bisa bekerja di pesawat selama penerbangan.
5. Kegagalan Eksistensi Merek
Apa yang dilakukan para marketer di era yang semakin kompetitif ini? Terkadang mereka tergoda untuk melakukan eksistensi dari merek yang sudah ada. Pertimbangannya, membangun merek terlalu lama dan mahal. Tapi apa jadinya jika eksistensinya terlalu jauh? Eksistensi yang berlebihan masih akan menjadi tren kegagalan merek masa kini.
6. Kegagalan dalam Memanfaatkan Public Relations
Persepsi perusahaan terhadap public relations akan menentukan bagaimana peran itu berpartisipasi dalam krisis yang dialami oleh perusahaan. Namun, ada perusahaan yang masih menganggap PR hanyalah sarana untuk berhubungan dengan media atau media relations. Salah satu contoh yang bisa dilihat ketika Adam Air mengalami kecelakaan. Manajemen Adam Air memilih diam dan bersembunyi dari media. Akibatnya, media justru semakin bersemangat mencari informasi dari narasumber lain. Dampak selanjutnya, pemberitaan yang keluar semakin menyudutkan maskapai penerbangan itu.
7. Kegagalan Komunikasi Merek
Apa yang membuat merek berhasil atau tidak dalam hal komunikasi, adalah bagaimana mereka membangun komunikasi yang intim dengan konsumen. Iklan masih akan menjadi engine dalam marketing-mix, namun kekuatan baru ada dalam kegiatan bellow the line, aktivitas online, dan penciptaan media baru lewat konsumen. Di masa sekarang, kekuatan media ada di tangan konsumen dan konsumenlah yang menjadi media tersebut. Tidak bersentuhan dengan konsumen langsung dalam strategi komunikasi bisa mematikan merek dalam jangka panjang.
8. Kegagalan Proses Rebranding
Mirip dengan kegagalan di dalam menyusun elemen merek, proses rebranding lebih berfokus pada perbaikan brand yang memiliki problem. Alih-alih memperbaiki merek, yang terjadi justru kesalahan fatal. Tropicana Jus di Amerika baru-baru ini dilaporkan membuat blunder dalam hal rebranding. Perubahan packaging-nya ternyata justru menurunkan value Tropicana di mata konsumen. Pepsi sebalai pemilik baru akhirnya kembali pada kemasan lama.
9. Kegagalan Teknologi
Bisa diterima atau tidaknya sebuah teknologi dapat dilihat dari aspek psikografis. Dalam hal ini, terbagi lagi menjadi dua kelompok, yakni aspek materialisme dan adaptasi sosial. Aspek materialisme lebih mengarah pada gaya hidup dan prestise. Sedangkan, aspek adaptasi sosial didasarkan pada fungsi dari penerapan teknologi itu digunakan, misalnya mempercepat pekerjaan atau mempermudah dalam sosialisasi dengan lingkungan. Hidup di zaman yang serba teknologi, bukannya justru membuat ruwet pikiran konsumen. Era teknologi justru harus membuat konsumen lebih mudah beradaptasi tidak saja dengan lingkungan, tapi juga dengan teknologi itu sendiri.
10. Kegagalan Budaya Pasar
Setidaknya ada tiga penyebab utama kegagalan merek terkait dengan budaya pasar. Ketiga penyebab itu adalah kesiapan pasar dalam menerima produk baru, edukasi pasar yang berkelanjutan, dan ketidaksesuaian benefit yang ditawarkan dengan ekspektasi pasar atau permintaan laten. Pasar yang terbuka bukan kemudian membuat pasar menjadi homogen. Bagaimanapun budaya suatu tempat masih menjadi sesuatu yang penting. Lihat bagaimana Google membuat Google versi Indonesia. Namun tidak halnya dengan Tara Nasiku yang mencoba mengubah budaya masyarakat supaya senang makan nasi goreng instan. Produk inipun tidak diterima pasar.
11. Kegagalan dalam After Sales Service
Prasales, during sales, and after sales service bukan 'harga' yang bisa ditawar-tawar lagi. Jadi, jika itu diabaikan, maka bersiaplah untuk 'gugur dalam medan perang'. Artinya merek harus menjamin layanan dengan baik. Hampir semua merek sepeda motor China mati, salah satu gara-garanya adalah tidak jelasnya layanan servis dan purnajual (after sales service)-nya.
12. Kegagalan Merek Tunggal
Tidak ada pemain yang bisa sukses dengan mencoba memonopol dan menguasai standar teknologi sendirian. Hal ini sebenarnya sudah pernah terjadi tahun 70-an, ketika Sony Betamax akhirnya tenggelam oleh produsen video ain yang memakai format VHS. 3G berkembang karena pemainnya banyak dan berlomba-lomba untuk memasarkannya.
Ingat, merek kita tidak akan pernah jadi juara jika tidak ada persaingan dan kompetisi.
13. Kegagalan Merek yang Renta
Terakhir, merek yang terlalu tua alias renta pun akhirnya harus mati. Polaroid dan Pontiac adalah merek yang terpaksa ditinggalkan konsumen karena sudah loyo. Padahal, seiring dinamisasi pasar, merek tua harus terus direjuvenasi. Merek-merek yang sudah terkenal di waktu lama dapat kehilangan pamornya karena beberapa faktor, seperti kehilangan relevansinya, pencitraan yang sudah usang, dan positioning pesaing yang lebih baik.
So, integritaskan merek kita dengan commitment and consistency kita. Karena itu yang akan membangun karakter merek kita. Siklus merek sangat ditentukan oleh kemampuan kita mengintegrasikan setiap elemen marketing mulai dari simpul awal, segmentation, hingga ujung dari marketing, service.
Think big, start small ...