0
Rekreasi di waktu senggang, sering bukan dimaknakan sebagai 'penciptaan-kembali' (Rekreasi), melaionkan justru menenggelamkan diri dalam aktivitas profan untuk sekadar lari dari kenyataan hidup yang mungkin begitu berat.
Apa yang terbayang di benak Anda ketika mendengar kata 'Waktu Senggang'? Jika Anda adalah seorang dengan kesibukan kerja yang luar biasa, barangkali waktu senggang adalah saat bersantai, shopping atau ke tempat hiburan melepaskan diri dari kepenatan beraktivitas. Namun, sebuah renungan bisa kita lakukan di sini, bahwa dalam pemaknaan waktu senggang seperti itu, umumnya manusia mengisi waktu senggang dengan melarikan dirinya ke perangkap-perangkap eksterior ketimbang melakukan kontemplasi atau menata interioritas dirinya.
Rekreasi di waktu senggang, sering bukan dimaknakan sebagai 'Penciptaan-Kembali' (Re-Kreasi) melainkan justru menenggelamkan diri dalam aktivitas profan untuk sekadar lari dari kenyataan hidup yang mungkin begitu berat. Barangkali akan menarik jika kita menelisik bahwa pada masa Yunani kuno, waktu senggang ternyata justru memiliki makna berbeda dari apa yang umum dipahami sekarang.
Pada masa itu, waktu senggang justru saat yang tepat untuk eksistensi diri, mengisi kepenuhan dirinya agar kemanusiaan semakin utuh.
Skole dalam bahsa Yunani bermakna waktu senggang. Sementara dalam bahasa Latin adalah scala atau otium, yang berarti 'luang' atau 'rileks'. Kata skale ionilah yang diserap ke dalam Bahasa Inggris menjadi school dan leisure. Karenanya, sekolah sebagai tempat pendidikan dan pengajaran semila memiliki konotasi 'waktu senggang'. Melalui 'sekolah' inilah manusia mengembangkan dirinya, yaitu dengan cara melihat ke dalam diri dan merefleksikan perjalanan hidup sebagai bekal langkah selanjutnya.
Pada masa Yunani kuno, masyarakat polisnya terbagi menjadi dua lapisan, yaitu para budak dan orang bebas. Para budak adalah orang-orang yang tenggelam dalam aktivitas fisik berbentuk kerja kasar di ranah praksis. Perbudakan membuat mereka tidak bida mengelaborasi waktu senggangnya seperti orang bebas. Sementara orang bebas mempunyai banyak waktu senggang. Dalam waktu senggang mereka mengeksplorasi berbagai dimensi kehidupan manusia hingga tingkatan yang mendalam dan mendasar. Dengan merenungkan filosofi waktu senggang tersebut, dan kenyataan bahwa banyak orang memaknakan waktu senggang sebagai saat belanja, 'leha-leha', bersenang-senang, dan berbagai pelarian yang menjauhkan dari diri dan persoalannya, maka sebenarnya orang-orang tersebut sudah terjebak masuk ke dalam kehidupan manusia kualitas budak. Mereka terjebak dalam ranah praksis dan tak bisa mengelaborasi waktu senggangnya menjadi ruang kontemplasi yang menumbuhkan dirinya.
Pada zaman Helenik dan Helenistik, juga Abad Pertengahan, dikenal istilah artes liberales yang bermakna 'keterampilan bagi orang bebas', serta mengandung pengertian bahwa suatu aktivitas dihargai dengan kehormatan. Konsep ini dipertentangkan dengan artes serviles yang bermakna 'keterampilan bagi budak', dan mengandung pengertian bahwa suatu aktivitas dihargai dengan upah material.
Artes liberales biasanya hanya diperuntukkan bagi kaum aristokrat dan klerik, karena merekalah yang memiliki banyak waktu senggang untuk melakukan kegiatan refleksi diri. Kegiatan kontemplatif bertujuan menumbuhkan kehormatan diri. Inilah mengapa waktu senggang juga berkonotasi sebagai skole atau pendidikan dan pendidikan semestinya juga dipahami sebagai upaya menumbuhkan kehormatan diri yang ukurannya tidak semata upah material. Namun, di dunia kita saat ini, pengertian pendidikan sebagai bagian dari 'waktu senggang', telah diarahkan agar manusia mampu mencapai level upah material tertentu semata.
Jika mau lebih dalam merenungkan makna waktu senggang, kita bisa menengok Alkitab dimana waktu senggang dipahami sebagai human action on holiday (holy day alias hari kudus). Hal ini mengingatkan kembali kepada tradisi hari Sabat; manusia harus beristirahat di hari ketujuh. Namun, beristirahat di waktu senggang bukanlah diam pasif bermalas-malasan, tetapi mengkuduskan hari Tuhan yang juga merupakan hari manusia.
Inilah makna terdalam dari waktu senggang, yaitu saat kembali ke diri dan menumbuhkan diri adalah juga saat untuk menemukan Tuhan dalam diri kita. Tuhan yang berkarya dalam keseharian (lewat) kita. Pepatah Sufi mengatakan Aku mencari Tuhan dan hanya menemukan diriku. Aku mencari diriku dan hanya menemukan Tuhan. Pepatah tersebut tampaknya simetri dengan cerita mengenai penciptaan dimana waktu senggang adalah hari ketujuh, saat manusia mengkuduskan Tuhan.
Tradisi mistisisme (Sufisme dan Kristen) telah menunjukkan cara membuat hidup lebih bahagia dan bermakna. Sayang, orang sering lebih tertarik pada hal-hal di luar diri, sehingga sentuhan bersifat meditatif dan cinta kasih yang tumbuh dari dalam sering terlewatkan dan terabaikan. Manusia kontemporer banyak yang telah kehilangan waktu senggang. Akibatnya mereka semakin jarang bersentuhan dengan 'totalitas diri'-nya. Dalam waktu senggang, manusia punya banyak kesempatan berkontlememplasi tentang sublim, yaitu, pengalaman eksistensial penting yang menjadi akar makna hidup.
Melalui tulisan ini, saya mengajak kita semua untuk merenungkan waktu senggang. Sudahkah kita melakukannya untuk kembali pada diri kita sendiri? Sudahkah sejenak berkontemplasi merenungkan diri, menjawab pertanyaan 'mengapa' dalam tiap pernik peristiwa hidup sebelum kita melanjutkan beraktivitas?
Sebuah kalimat menarik saya ambilkan dari Nietsche bisa kita jadikan penutup tulisan ini.
Barangsiapa memiliki jawaban dari 'mengapa', maka ia akan tahu hampir seluruh jawaban 'bagaimana' ...
Apa yang terbayang di benak Anda ketika mendengar kata 'Waktu Senggang'? Jika Anda adalah seorang dengan kesibukan kerja yang luar biasa, barangkali waktu senggang adalah saat bersantai, shopping atau ke tempat hiburan melepaskan diri dari kepenatan beraktivitas. Namun, sebuah renungan bisa kita lakukan di sini, bahwa dalam pemaknaan waktu senggang seperti itu, umumnya manusia mengisi waktu senggang dengan melarikan dirinya ke perangkap-perangkap eksterior ketimbang melakukan kontemplasi atau menata interioritas dirinya.
Rekreasi di waktu senggang, sering bukan dimaknakan sebagai 'Penciptaan-Kembali' (Re-Kreasi) melainkan justru menenggelamkan diri dalam aktivitas profan untuk sekadar lari dari kenyataan hidup yang mungkin begitu berat. Barangkali akan menarik jika kita menelisik bahwa pada masa Yunani kuno, waktu senggang ternyata justru memiliki makna berbeda dari apa yang umum dipahami sekarang.
Pada masa itu, waktu senggang justru saat yang tepat untuk eksistensi diri, mengisi kepenuhan dirinya agar kemanusiaan semakin utuh.
Skole dalam bahsa Yunani bermakna waktu senggang. Sementara dalam bahasa Latin adalah scala atau otium, yang berarti 'luang' atau 'rileks'. Kata skale ionilah yang diserap ke dalam Bahasa Inggris menjadi school dan leisure. Karenanya, sekolah sebagai tempat pendidikan dan pengajaran semila memiliki konotasi 'waktu senggang'. Melalui 'sekolah' inilah manusia mengembangkan dirinya, yaitu dengan cara melihat ke dalam diri dan merefleksikan perjalanan hidup sebagai bekal langkah selanjutnya.
Pada masa Yunani kuno, masyarakat polisnya terbagi menjadi dua lapisan, yaitu para budak dan orang bebas. Para budak adalah orang-orang yang tenggelam dalam aktivitas fisik berbentuk kerja kasar di ranah praksis. Perbudakan membuat mereka tidak bida mengelaborasi waktu senggangnya seperti orang bebas. Sementara orang bebas mempunyai banyak waktu senggang. Dalam waktu senggang mereka mengeksplorasi berbagai dimensi kehidupan manusia hingga tingkatan yang mendalam dan mendasar. Dengan merenungkan filosofi waktu senggang tersebut, dan kenyataan bahwa banyak orang memaknakan waktu senggang sebagai saat belanja, 'leha-leha', bersenang-senang, dan berbagai pelarian yang menjauhkan dari diri dan persoalannya, maka sebenarnya orang-orang tersebut sudah terjebak masuk ke dalam kehidupan manusia kualitas budak. Mereka terjebak dalam ranah praksis dan tak bisa mengelaborasi waktu senggangnya menjadi ruang kontemplasi yang menumbuhkan dirinya.
Pada zaman Helenik dan Helenistik, juga Abad Pertengahan, dikenal istilah artes liberales yang bermakna 'keterampilan bagi orang bebas', serta mengandung pengertian bahwa suatu aktivitas dihargai dengan kehormatan. Konsep ini dipertentangkan dengan artes serviles yang bermakna 'keterampilan bagi budak', dan mengandung pengertian bahwa suatu aktivitas dihargai dengan upah material.
Artes liberales biasanya hanya diperuntukkan bagi kaum aristokrat dan klerik, karena merekalah yang memiliki banyak waktu senggang untuk melakukan kegiatan refleksi diri. Kegiatan kontemplatif bertujuan menumbuhkan kehormatan diri. Inilah mengapa waktu senggang juga berkonotasi sebagai skole atau pendidikan dan pendidikan semestinya juga dipahami sebagai upaya menumbuhkan kehormatan diri yang ukurannya tidak semata upah material. Namun, di dunia kita saat ini, pengertian pendidikan sebagai bagian dari 'waktu senggang', telah diarahkan agar manusia mampu mencapai level upah material tertentu semata.
Jika mau lebih dalam merenungkan makna waktu senggang, kita bisa menengok Alkitab dimana waktu senggang dipahami sebagai human action on holiday (holy day alias hari kudus). Hal ini mengingatkan kembali kepada tradisi hari Sabat; manusia harus beristirahat di hari ketujuh. Namun, beristirahat di waktu senggang bukanlah diam pasif bermalas-malasan, tetapi mengkuduskan hari Tuhan yang juga merupakan hari manusia.
Inilah makna terdalam dari waktu senggang, yaitu saat kembali ke diri dan menumbuhkan diri adalah juga saat untuk menemukan Tuhan dalam diri kita. Tuhan yang berkarya dalam keseharian (lewat) kita. Pepatah Sufi mengatakan Aku mencari Tuhan dan hanya menemukan diriku. Aku mencari diriku dan hanya menemukan Tuhan. Pepatah tersebut tampaknya simetri dengan cerita mengenai penciptaan dimana waktu senggang adalah hari ketujuh, saat manusia mengkuduskan Tuhan.
Tradisi mistisisme (Sufisme dan Kristen) telah menunjukkan cara membuat hidup lebih bahagia dan bermakna. Sayang, orang sering lebih tertarik pada hal-hal di luar diri, sehingga sentuhan bersifat meditatif dan cinta kasih yang tumbuh dari dalam sering terlewatkan dan terabaikan. Manusia kontemporer banyak yang telah kehilangan waktu senggang. Akibatnya mereka semakin jarang bersentuhan dengan 'totalitas diri'-nya. Dalam waktu senggang, manusia punya banyak kesempatan berkontlememplasi tentang sublim, yaitu, pengalaman eksistensial penting yang menjadi akar makna hidup.
Melalui tulisan ini, saya mengajak kita semua untuk merenungkan waktu senggang. Sudahkah kita melakukannya untuk kembali pada diri kita sendiri? Sudahkah sejenak berkontemplasi merenungkan diri, menjawab pertanyaan 'mengapa' dalam tiap pernik peristiwa hidup sebelum kita melanjutkan beraktivitas?
Sebuah kalimat menarik saya ambilkan dari Nietsche bisa kita jadikan penutup tulisan ini.
Barangsiapa memiliki jawaban dari 'mengapa', maka ia akan tahu hampir seluruh jawaban 'bagaimana' ...