Manajemen Pemadam Kebakaran vs Manajemen Petani

Posted: Jumat, 17 April 2009 by R. Anang Tinosaputra in Label:
0

Konsumen adalah Raja ..., tetap berlaku. Dalam art sempit, raja di sini bisa dimaknai sebagai orang yang harus dilayani dengan maksimal.

Pernahkah kita mencoba memerhatikan isi surat pembaca di berbagai media? Kalau iya, pastilah kita akan menemui banyak sekali keluhan dan kritikan yang muncul setiap hari. Tak hanya satu dua. Jika dikumpulkan, untuk satu industri saja, misalnya telekomunikasi, dalam seminggu jumlahnya bisa puluhan bahkan ratusan. Itupun hanya sebagian kecil yang mau mengungkap masalahnya ke publik dengan bersusah payah mengirimkan surat pembaca.

Lantas, apa yang terjadi dengan semua keluhan dan kritikan tersebut? Beberapa muncul dengan jawaban singkat, masalah sudah diselesaikan dengan yang bersangkutan. Sayang, kita tidak pernah tahu, apa kompensasi terhadap masalah yang timbul tersebut.

Keluhan, kritikan, hingga aduan memang kadang masih sering dinomorduakan dalam berbagai jenis usaha, baik yang sifatnya berupa produk barang maupun jasa. Bahkan tak jarang, adanya masalah hanya akan ditangani jika dianggap 'membahayakan' nama baik perusahaan. Misalnya, jika aduan sudah sampai di tangan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Tapi, jika hanya 'kecil', maka cukup ditangani oleh customer service via telepon. Inilah kadang yang tidak disadari oleh para pelaku usaha. Baik usaha dalam skala kecil maupun skala besar, termasuk kita di credit union, sebenaynya istilah konsumen adalah raja tetap berlaku. Dalam arti sempit, raja di sini bisa dimaknai sebagai orang yang harus dilayani dengan maksimal. Atau, di sisi lain, raja pun punya kekuasaan (wewenang) untuk memerintah. Tentunya, posisi antara produsen dan konsumen tak perlu seekstrim itu. Jadi, unsur pelayanan memegang peran penting dalam menjalin hubungan dengan konsumen.



Sayangnya, sampai saat ini, pelayanan kadang hanya dimaknai sebagai terpenuhinya kewajiban. Titik. Kalau sudah selesai tugas, barang sudah diantar, selesai. Padahal, sebenarnya, ada hal yang jauh melebihi hal tersebut. Salah satunya yaitu soal layanan purna jual.

Ada satu kisah menarik tentang seorang pedagang mebel di sebuah kota di Jawa Tengah. Alkisah, tokonya didatangi oleoh seorang ibu tua yang mengeluhkan soal mebel yang dibelinya. Ia minta ganti rugi pada toko tersebut untuk memperbaiki mebelnya. Dengan kesabaran penuh, sang pemilik mebel melayani si ibu. Tak lama, mebel itu telah siap dan si ibupun sangat puas terhadap layanan sang pemilik toko mebel.

Saat si ibu pulang, sang anak pemilik toko mebel bertanya pada ayahnya, 'Ayah, mengapa kauperbaiki mebel ibu itu? Tadi saya lihat mebel itu sebenarnya bukan dari toko kita?' Sang ayah dengan bijaknya menjawab, 'Memang betul mebel itu bukan dari toko kita. Tapi, dengan pelayanan tadi, ayah sudah punya pelanggan baru di toko kita. Dan, ayah pun yakin, Ibu tadi punya teman atau saudara yang mungkin kelak juga akan jadi pelanggan kita karena mendengar cerita betapa memuaskannya pelayanan kita pada pelanggan.' Apa yang kita lakukan jika kita menjadi si ibu? Dalam istilah saya, yang dilakukan sang pemilik mebel tadi saya sebut sebagai Manajemen Petani.

Pernahkah kita memerhatikan para petani bekerja? Ia sangat tekun mengamati, merawat, menyayangi, memupuk, hingga memanen hasil setiap olahan sawahnya. Bahkan, di saat bencara - kebanjiran misalnya - ia akan selalu berusaha mencari tanaman yang tetap bisa diselamatkan. Intinya, pelayanan yang diberikan petani adalah pelayanan yang utuh dan dipenuhi ketulusan.

Seharusnya, pelayanan seperti inilah yang perlu kita kembangkan untuk usaha yang kita jalankan. Merawat, memelihara, dan membesarkan dengan sepenuh hati - bahkan tanpa diminta - akan menjadi kunci dalam memenangkan hati setiap pelanggan. Bukankah kita juga akan merasa nyaman dengan penjual yang memberikan layanan penuh perhatian, senyum, dan ketulusan? Bahkan, perhatian kecil seperti informasi buku terbaru sesuai dengan kategori buku yang pernah kita beli - seperti yang dilakukan Amazon.com, toko online terbesar - terbukti mampu membuat pelanggannya betas untuk terus bertransaksi di sana.

Sayangnya, masih banyak yang kadang kurang memerhatikan unsur layanan ini. Salah satunya, yakni masih ada yang melakukan pelayanan seperti pemadam kebakaran. Istilah Manajemen Pemadam Kebakaran ini menggambarkan pelayanan yang diberikan dengan kualitas terbaik hanya pada saat ada masalah. Seperti sang pemadam kebakaran yang hanya akan datang saat ada api. Maka, ada pula yang memberikan pelayanan maksimal hanya saat terjadi keluhan, aduan, atau masalah yang mengancam perusahaan.

Tentunya, mematikan atau memadamkan masalah atau keluhan bukan hal yang sama sekali salah. Namun, akan lebih bijak jika sedari awal kita tidak membiarkan bibit-bibit bara api yang potensial membesar. Sebab, meski kadang 'api' sudah mati, pola manajemen pemadam kebakaran ini akan menyisakan 'hangus' yang kadang tidak akan bisa hilang. Ibarat pepatah, karena nila setitik, rusak susu sebelanga. Jika ini yang terjadi, bukankah perbaikan pelayanan sebagus apapun, kadang hanya akan sia-sia?

Nah, piliohan itu kini ada di tangan kita, apalagi kini kita masuk ke pasar yang semakin turbulen, dimana diferensiasi dalam hal produk saja tidak cukup, bahkan servis (fisik) pun sudah mudah ditiru. Mau jadi sang petani atau sang pemadam kebakaran?

0 komentar: