0
Beberapa hari yang lalu saya kembali bertemu dengan teman sekolah saya waktu di SD dulu. Ternyata dia tinggal di Denpasar, sebuah surprise yang luar biasa. Dulu kami tidak cukup akrab, tapi waktu bertemu kemarin ada kerinduan yang luar biasa. Saya mesti berterima kasih dengannya. Kenapa? Ketika saya bertemu dengannya, saya dimintanya menunggu beberapa saat, karena dia harus menyelesaikan beberapa pekerjaannya. Maklum saya datang di waktu kerja. Sembari menunggu, di meja dekat kursi saya duduk, saya melihat suatu buku biografi. Secara acak saya membacanya, tapi meskipun begitu saya menemukan sesuatu yang istimewa. Saya jadi teringat sebuah cerita, yang saya yakini penuh makna.
Sekarang keistimewaan biografi yang saya temui tanpa sengaja ini akan saya bagikan kepada sahabat sekalian, sembari saya mengajak sahabat sekalian 'bertamasya' ke Bandung ...
Satu di antara segelintir ilmuwan yang mampu merajut hidupnya dalam ranah ilmu dan humanisme secara selaras, adalah Prof. Oei Ban Liang, PhD. Setidaknya, di mata anak didiknya, baik dalam civitas akademika ITB Bandung, maupun para koleganya di luar negeri. Dalam biografinya Pelopor Bioteknologi, Begawan Kimia dan Sosok Guru Yang Humanis, ilmuwan kelahiran Blitar, 79 tahun lalu ini dilukiskan menarik. Pencapaiannya di bidang bioteknologi diakui dunia internasional, tapi sebagai pendidik ia juga dikenal amat humanis. Ia layaknya 'nyala api' kasih yang mampu meluluhkan kekerasan hati siapapun dengan pendekatannya yang unik seperti yang saya ibaratkan dalam kisah berikut ini.
Suatu hari kapak, gergaji, palu, dan nyala api mengadakan perjalanan bersama-sama. Di tengah gurun, perjalanan mereka terhenti lantaran terhalang sebatang besi baja yang melintang di jalan. Berbekal kekuatan masing-masing, mereka berusaha menyingkirkan baja tersebut.
'Beres! Akan ak singkirkan,' kata Kapak. Baja tersebut lantas dihantamnya bertubi-tubi. Namun karena keras dan kuat, akhirnya mata kapak malah menjadi tumpul. Kapak menyerah.
'Kalau begitu, biar aku saja yang urus,' giliran Gergaji untuk gigi. Dengan gigi-giginya yang tajam, ia langsung menggergaji. Hasilnya? Sama saja. Gigi gergaji rontok semua.
'Apa kubilang!' timpal Palu. 'Kalian tidak akan bisa melakukan hal ini. Akan kutunjukkan caranya.' Apa yang terjadi? Baru sekali ia memukul, kepalanya terpental sendiri, benjol. Sedangkan baja tetap tidak berubah.
Sementara itu, Sang Api yang sedari tadi diam saja mendengarkan semua pertengkaran teman-temannya, kini angkat bicara. 'Boleh aku mencoba membantu kalian?' Tanpa menunggu lagi ia segera melingkarkan diri dan memeluk dengan lembut si baja penghalang tersebut. Ia mendekap erat-erat baja tersebut tanpa melepaskan diri. Akhirnya baja yang keras itu pun meleleh dan cair.
Ada banyak hati yang cukup keras untuk melawan kemurkaan dan kemarahan demi harga tinggi. Tapi jarang ada hati yang tahan melawan nyala api cinta kasih yang hangat ...
Nyala api itulah yang menjadi pegangan Prof. Oei dalam kehidupan sehari-hari.
Nyala api seperti ini jugalah yang kita butuhkan untuk mengembangkan credit union. Penuh kasih, dan juga penuh kepastian akan ketegasan serta keberanian.
Tak berbeda dengan apa yang dikatakan Carl Gustav Jung, ahli psikoanalisis ternama dari Swiss. Where love rules, there is no will to power, and where power predominates, there love is lacking. The one is the shadow of the other ...
Sekarang keistimewaan biografi yang saya temui tanpa sengaja ini akan saya bagikan kepada sahabat sekalian, sembari saya mengajak sahabat sekalian 'bertamasya' ke Bandung ...
Satu di antara segelintir ilmuwan yang mampu merajut hidupnya dalam ranah ilmu dan humanisme secara selaras, adalah Prof. Oei Ban Liang, PhD. Setidaknya, di mata anak didiknya, baik dalam civitas akademika ITB Bandung, maupun para koleganya di luar negeri. Dalam biografinya Pelopor Bioteknologi, Begawan Kimia dan Sosok Guru Yang Humanis, ilmuwan kelahiran Blitar, 79 tahun lalu ini dilukiskan menarik. Pencapaiannya di bidang bioteknologi diakui dunia internasional, tapi sebagai pendidik ia juga dikenal amat humanis. Ia layaknya 'nyala api' kasih yang mampu meluluhkan kekerasan hati siapapun dengan pendekatannya yang unik seperti yang saya ibaratkan dalam kisah berikut ini.
Suatu hari kapak, gergaji, palu, dan nyala api mengadakan perjalanan bersama-sama. Di tengah gurun, perjalanan mereka terhenti lantaran terhalang sebatang besi baja yang melintang di jalan. Berbekal kekuatan masing-masing, mereka berusaha menyingkirkan baja tersebut.
'Beres! Akan ak singkirkan,' kata Kapak. Baja tersebut lantas dihantamnya bertubi-tubi. Namun karena keras dan kuat, akhirnya mata kapak malah menjadi tumpul. Kapak menyerah.
'Kalau begitu, biar aku saja yang urus,' giliran Gergaji untuk gigi. Dengan gigi-giginya yang tajam, ia langsung menggergaji. Hasilnya? Sama saja. Gigi gergaji rontok semua.
'Apa kubilang!' timpal Palu. 'Kalian tidak akan bisa melakukan hal ini. Akan kutunjukkan caranya.' Apa yang terjadi? Baru sekali ia memukul, kepalanya terpental sendiri, benjol. Sedangkan baja tetap tidak berubah.
Sementara itu, Sang Api yang sedari tadi diam saja mendengarkan semua pertengkaran teman-temannya, kini angkat bicara. 'Boleh aku mencoba membantu kalian?' Tanpa menunggu lagi ia segera melingkarkan diri dan memeluk dengan lembut si baja penghalang tersebut. Ia mendekap erat-erat baja tersebut tanpa melepaskan diri. Akhirnya baja yang keras itu pun meleleh dan cair.
Ada banyak hati yang cukup keras untuk melawan kemurkaan dan kemarahan demi harga tinggi. Tapi jarang ada hati yang tahan melawan nyala api cinta kasih yang hangat ...
Nyala api itulah yang menjadi pegangan Prof. Oei dalam kehidupan sehari-hari.
Nyala api seperti ini jugalah yang kita butuhkan untuk mengembangkan credit union. Penuh kasih, dan juga penuh kepastian akan ketegasan serta keberanian.
Tak berbeda dengan apa yang dikatakan Carl Gustav Jung, ahli psikoanalisis ternama dari Swiss. Where love rules, there is no will to power, and where power predominates, there love is lacking. The one is the shadow of the other ...