Re.Marketing Historiografi

Posted: Jumat, 24 April 2009 by R. Anang Tinosaputra in Label:
0

Beberapa hari lalu, saya membaca buku tentang perjalanan misi Katholik di Bali. Sebuah karya ilmiah (skripsi) yang dihasilkan oleh teman kuliah saya. Saya mendapatkannya tidak dengan gratis, alias ada 'kewajiban' membayar. Tapi bukan soal bayarnya yang saya persoalkan. Setelah membaca sampai dengan selesai, saya menemukan satu hal mendasar yang sangat unik, namun khas dari buku yang masuk kategori historiografi itu. Apa itu? Buku itu merupakan dokumentasi yang tepat ...

Mungkin itulah value yang diberikan dari buku yang diangkat dari sebuah skripsi itu. Bukan menyorot pada satu buku itu saja, sejak saya kuliah saya tertarik membaca historiografi. Ada sesuatu yang menarik, memberikan kita pengalaman luar biasa, menjadikan jembatan bagi saya untuk bisa masuk ke dalam alunan kisah di waktu lampau, seolah-olah saya berada dan merasakan kisah itu.

Tapi bagi saya itu saja tidak cukup. Bukankah historiografi memang sarana untuk mengajak kita masuk ke dunia lampau? Bukankah historiografi memang 'harus' mampu merekonstruksi kejadian secara detail dan jelas, sehingga kita sebagai 'customer' dari kejadian itu sendiri mampu menikmati dan merasakan kejadian yang sebenarnya?

Buku tadi merupakan salah satu dari sekian banyak karya sejarah yang mampu menjalankan fungsinya sebagai sebuah dokumen sejarah yang tidak lekang oleh zaman. Tapi pertanyaan selanjutnya, sampai kapan, untuk apa, dan untuk siapa?




Value dari sebuah kejadian sejarah yang kemudian kita rekonstruksi bukan ada pada kejadian itu, tapi bagaimana seorang penulis (sejarawan) mampu memberikan nilai lebih bagi customer-nya. Di sinilah letak permasalahannya. Banyak teman-teman penulis sejarah 'hanya' membawa karya tulis mereka sampai batas dokumen. Ada satu segmen pasar yang besar di mata mereka untuk menjadikan tulisan mereka sebagai dokumen. Ini yang disayangkan.

Perkembangan teknologi, informasi hingga budaya telah mengalir begitu deras. Ketika customer yang menjadi target konservatif penulis sejarah, menemukan begitu banyak jalur untuk mendapatkan data yang valid akan sebuah peristiwa, maka dokumen seperti di atas menjadi tanda tanya besar akan 'fungsional'-nya.

Bagi saya simple. Tulisan sejarah harus di-re.marketing. Teman-teman penulis yang menamakan dirinya sejarawan, harus melihat bahwa kita butuh mempublikasikan dan mengkomunikasikan setiap tulisan sejarah sebagai sebuah value bagi pengembangan budaya komunitas dan bangsa kita. So, sudah tidak zaman lagi kita menjadikan karya sejarah sebatas dokumen, tanpa ada 'nilai seni', 'nilai tarik' pelanggan dan 'nilai pelanggan' itu sendiri.

Teman-teman penikmat tulisan sejarah membutuhkan sebuah karya yang menarik, yang mampu membawa imajinasi mereka ke dalam sebuah peristiwa yang direkonstruksi, bukan semata pada tampilan naratifnya saja. Sebagai contoh, buku Toyota Way misalnya. Bagi saya ini juga merupakan sebuah karya sejarah, karena mampu menceritakan bagaimana perjalanan panjang Toyota sebagai sebuah perusahaan unggul. Ada alur naratif yang menarik, tapi buku ini menjadi lebih menarik karena ada passion for knowledge-nya. Ada nilai-nilai edukasi yang 'dijual' oleh penulis tentang leadership, manajemen, kemampuan menghadapi krisis, dan sebagainya.

Intinya, karya sejarah mestinya mampu terilhami oleh tulisan Alfin Toffler dari ketiga seri bukunya, Future Shock. Ada gambaran tentang masa lalu (story), namun titik berat ada pada how to give something in the future (give the meaning). Jadi, kompetensi yang dibutuhkan bukan lagi menyusun sekumpulan data yang ditemukan menjadi sebuah kalimat, kemudian menjadi sebuah paragraf, dan akhirnya menjadi sebuah buku. Namun, kita mesti memberikan meaning dari rekonstruksi yang terjadi. Bukan hanya kemampuan bercerita, tapi kemampuan memberikan makna dan mengkomunikasikan makna tersebut ke dalam isi karya sejarah yang ditulis.

Kenapa? Kembali lagi, untuk siapa dan untuk apa kita menulis karya sejarah ini, atau lebih tepatnya untun siapa dan untuk apa kita merekonstruksi sebuah kejadian. Bukan hanya untuk buku memori, kan? Tapi bagaimana kita bisa memberikan perubahan atas nilai dan makna dari sebuah kejadian.

So, lakukan segmentasi pasar karya sejarah kita. Dan pastikan bahwa positioning historiografi bukan (saja) sebagai dokumen, tapi mengubah mindset dan budaya sebuah bangsa.

Keep your dream, keep your touch and keep your ideas, friend ...

0 komentar: