0
Saya kembali terjebak dalam pembicaraan mengenai pemimpin. Beberapa jam yang lalu saya memberikan workshop untuk sebuah hotel di Nusa Dua, Bali. Topiknya tidak jauh-jauh dari kepemimpinan. Sepertinya memang topik ini tidak akan pernah ada matinya. Selalu enak untuk dibicarakan dan akan terus berkembang mencari format idealnya.
Akhir-akhir ini dunia kita seperti nyaris terkooptasi oleh gambar para caleg. Maklum beberapa waktu lalu pesta demokrasi digelar dengan berbagai carut marut yang ada, baik pra maupun pasca pemilu. Satu garis besar yang tidak saya mengerti namun telah bisa ditebak oleh banyak pihak termasuk juga saya adalah, tidak adanya pemimpin yang terwakili melalui caleg-caleg tersebut yang secara riil menjadi seorang pemimpin yang benar-benar berjiwa besar dan mencerminkan diri sebagai pemimpin yang sebenarnya.
Dari sekian banyak gambaran caleg di sekitar kita, ada yang tersenyum sipatik, tak kurang cukup sangar. Kostumnya pun dari yang 'dandan habis' sampai yang ala kadarnya. Semua ingar-bingar kampanye itu mestinya jangan sampai melenakan kita bahwa yang sedang berlangsung ini proses memilih pemimpin. Lalu apakah memilih pemimpin itu dapat begitu saja dilakukan dengan main tunjuk gambar? Pemimpin itu terbentuk melalui jalan panjang suatu proses. Artinya bahwa, politik yang sedang mendominasi headline berbagai media komunikasi sekarang ini mesti dikembalikan ke wilayah martabat. Sebarapa layak para calon pemimpin itu menempatkan diri sebagai 'yang terpilih'.
Kita dapat melihat kiprah politik Abraham Lincoln dari Negara Paman Sam, yang mampu memberikan dua hal: bahwa pemimpin sejati selalu adalah alumnus 'Perguruan Kegagalan' sebelum berhasil masuk ke dalam 'Istana Keberhasilan'. Bahwa adalah mungkin, seorang (yang cuma) politisi bermetafora menjadi negarawan sejati yang berhasil mengatasi kepentingan pribadinya.
Dari sisi pengembangan karier, kegigihan Lincoln jelas inspirasi yang menjulang. Cocok benar dengan prinsip pemimpin dunia lainnya dari era PD II, Winston Churchill, Never, never, never, give up. Tetapi kenegarawanannya setelah menjadi presiden-lah yang mengabadikan namanya dan membangkitkan rasa hormat sampai ke seberang samudera.
Menengok ke diri sendiri, sejauh manakah di dalam diri kita tersembunyi potensi seorang pemimpin atau orang sukses? Ternyata narsis, seperti yang saya tulis beberapa waktu lalu, juga menjadi salah satu indikasi keberhasilan. Tapi jangan salah, tak berarti resep sukses adalah jatuh cinta setengah mati kepada diri sendiri seperti Narcissus. So, Narsisisme bukan sekadar narsis.
April selalu mengingatkan kita Kartini, dan tentu pada kiprah perempuan. Sampai kini, peran ganda yang diharapkan dari perempuan yang berkarier, nyatalah melipatgandakan ujian bagi seorang wanita pemimpin. Tapi barangkali di sini pun kaum perempuan dapat menimba semangat dari ajakan Churchill. Mudah-mudahan ini menjadi jawaban dari keraguan beberapa peserta (laki-laki) workshop akan kemampuan memimpin dari seorang perempuan.
Ingat ini sahabat sekalian ...
Segala macam ketakutan dan keraguan sirna, begitu kita bercita-cita untuk menjadi Seseorang, dan bukan sekadar Sesuatu.
Akhir-akhir ini dunia kita seperti nyaris terkooptasi oleh gambar para caleg. Maklum beberapa waktu lalu pesta demokrasi digelar dengan berbagai carut marut yang ada, baik pra maupun pasca pemilu. Satu garis besar yang tidak saya mengerti namun telah bisa ditebak oleh banyak pihak termasuk juga saya adalah, tidak adanya pemimpin yang terwakili melalui caleg-caleg tersebut yang secara riil menjadi seorang pemimpin yang benar-benar berjiwa besar dan mencerminkan diri sebagai pemimpin yang sebenarnya.
Dari sekian banyak gambaran caleg di sekitar kita, ada yang tersenyum sipatik, tak kurang cukup sangar. Kostumnya pun dari yang 'dandan habis' sampai yang ala kadarnya. Semua ingar-bingar kampanye itu mestinya jangan sampai melenakan kita bahwa yang sedang berlangsung ini proses memilih pemimpin. Lalu apakah memilih pemimpin itu dapat begitu saja dilakukan dengan main tunjuk gambar? Pemimpin itu terbentuk melalui jalan panjang suatu proses. Artinya bahwa, politik yang sedang mendominasi headline berbagai media komunikasi sekarang ini mesti dikembalikan ke wilayah martabat. Sebarapa layak para calon pemimpin itu menempatkan diri sebagai 'yang terpilih'.
Kita dapat melihat kiprah politik Abraham Lincoln dari Negara Paman Sam, yang mampu memberikan dua hal: bahwa pemimpin sejati selalu adalah alumnus 'Perguruan Kegagalan' sebelum berhasil masuk ke dalam 'Istana Keberhasilan'. Bahwa adalah mungkin, seorang (yang cuma) politisi bermetafora menjadi negarawan sejati yang berhasil mengatasi kepentingan pribadinya.
Dari sisi pengembangan karier, kegigihan Lincoln jelas inspirasi yang menjulang. Cocok benar dengan prinsip pemimpin dunia lainnya dari era PD II, Winston Churchill, Never, never, never, give up. Tetapi kenegarawanannya setelah menjadi presiden-lah yang mengabadikan namanya dan membangkitkan rasa hormat sampai ke seberang samudera.
Menengok ke diri sendiri, sejauh manakah di dalam diri kita tersembunyi potensi seorang pemimpin atau orang sukses? Ternyata narsis, seperti yang saya tulis beberapa waktu lalu, juga menjadi salah satu indikasi keberhasilan. Tapi jangan salah, tak berarti resep sukses adalah jatuh cinta setengah mati kepada diri sendiri seperti Narcissus. So, Narsisisme bukan sekadar narsis.
April selalu mengingatkan kita Kartini, dan tentu pada kiprah perempuan. Sampai kini, peran ganda yang diharapkan dari perempuan yang berkarier, nyatalah melipatgandakan ujian bagi seorang wanita pemimpin. Tapi barangkali di sini pun kaum perempuan dapat menimba semangat dari ajakan Churchill. Mudah-mudahan ini menjadi jawaban dari keraguan beberapa peserta (laki-laki) workshop akan kemampuan memimpin dari seorang perempuan.
Ingat ini sahabat sekalian ...
Segala macam ketakutan dan keraguan sirna, begitu kita bercita-cita untuk menjadi Seseorang, dan bukan sekadar Sesuatu.