0
Saling memberi maaf sudah menjadi tradisi. Tetapi maaf yang bagaimana?
Awal September 2007, muncul berita mengejutkan. Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe, menyatakan mundur dari jabatannya karena merasa pemerintahannya selalu dipenuhi skandal keuangan.
Setiap kali ada berita semacam ini di luar negeri, selalu saja kita kemudian berpikir, hebat sekali ya pemimpin-pemimpin itu. Berani mengakui kesalahannya, terbuka meminta maaf dan rela melepaskan jabatannya.
Lalu ada juga berita tentang Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang menerima telepon dari PM Malaysia, Abdullah Ahmad Badawi. Intinya beliau menyatakan penyesalan dan meminta maaf sedalam-dalamnya atas kasus pemukulan terhadap ketua delegasi wasit karateka Indonesia, Donald Luther Colopita oleh empat orang polisi Malaysia tanpa alasan yang jelas. Ini juga hebat. 'Hanya' karena masalah polisi keroco, seorang petinggi negara - mewakili negara - berani memintakan maaf pada pemimpin negara lain.
Permintaan maaf terjadi biasanya karena ada kesalahan. Namun wajar bila manusia berbuat salah karena manusia gudangnya kelemahan. Jika karena kelemahan atau ketidaktahuannya manusia melakukan kesalahan. sudah seharusnyalah meminta maaf. Itu sebabnya setiap seseorang meminta maaf, dia akan menyebutkan kata-kata: baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja. Tuluskah kalimat itu? Bisa jadi. Tapi bagi pakar kesalahan dan mastro minta maaf, mungkin juga kalimat itu diucapkan karena dia tidak mau berterus terang mengakui dan meminta maaf atas kesalahan tertentu yang sudah dilakukannya.
Meminta maaf ternyata juga bisa menjadi 'tren'. Seseorang bisa dengan gampang mengucapkan kata maaf, bahkan tanpa dia tahu betul kesalahannya. Misalnya, seorang karyawan bisa dengan buru-buru bilang maaf saat dinasihati atasannya karena takut dianggap tidak mengerti. Seorang istri dengan cepat mengucap maaf pada suami supaya masalah tak jadi panjang. Maaf pun akhirnya menjadi sekadar komoditi, bukan lagi cerminan hati.
Lalu, apakah semua permintaan maaf harus dimaafkan? Untuk kasus Shinzo Abe, kerelaannya untuk meminta maaf kabarnya justru banyak dikecam. Ia dianggap tidak bertanggung jawab dan melalaikan kewajiban. Soal permintaan Badawi, Presiden SBY menghargainya dan kedua pemimpin sepakat menyelesaikannya sesuai jalur hukum.
Memberi maaf memang tidak semua bisa cuma-cuma. Kadang perlu juga dibarengi dengan peringatan agar tidak terjadi kesalahan yang sama, bahkan kalau perlu harus diberi sanksi. Apalagi jika berkaitan dengan hukum. Apa jadinya bila pejabat korup yang sudah menyedot uang rakyat bermilayr-milyar, boleh meminta maaf, dibebaaskan, dan dipersilakan menikmati hasil korupsinya?
Karena itu, sebelum kita meminta maaf aatu memberi maaf, perlu juga kiranya kita pikirkan dulu, kita timbang dengan perasaan, lalu sampaikan secara tulus dengan hati. Anda tentu tidak mau bukan memberi maaf begitu saja pada orang yang tiba-tiba berucap, 'Maaf, saya telah menghamili istri Anda?'
Awal September 2007, muncul berita mengejutkan. Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe, menyatakan mundur dari jabatannya karena merasa pemerintahannya selalu dipenuhi skandal keuangan.
Setiap kali ada berita semacam ini di luar negeri, selalu saja kita kemudian berpikir, hebat sekali ya pemimpin-pemimpin itu. Berani mengakui kesalahannya, terbuka meminta maaf dan rela melepaskan jabatannya.
Lalu ada juga berita tentang Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang menerima telepon dari PM Malaysia, Abdullah Ahmad Badawi. Intinya beliau menyatakan penyesalan dan meminta maaf sedalam-dalamnya atas kasus pemukulan terhadap ketua delegasi wasit karateka Indonesia, Donald Luther Colopita oleh empat orang polisi Malaysia tanpa alasan yang jelas. Ini juga hebat. 'Hanya' karena masalah polisi keroco, seorang petinggi negara - mewakili negara - berani memintakan maaf pada pemimpin negara lain.
Permintaan maaf terjadi biasanya karena ada kesalahan. Namun wajar bila manusia berbuat salah karena manusia gudangnya kelemahan. Jika karena kelemahan atau ketidaktahuannya manusia melakukan kesalahan. sudah seharusnyalah meminta maaf. Itu sebabnya setiap seseorang meminta maaf, dia akan menyebutkan kata-kata: baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja. Tuluskah kalimat itu? Bisa jadi. Tapi bagi pakar kesalahan dan mastro minta maaf, mungkin juga kalimat itu diucapkan karena dia tidak mau berterus terang mengakui dan meminta maaf atas kesalahan tertentu yang sudah dilakukannya.
Meminta maaf ternyata juga bisa menjadi 'tren'. Seseorang bisa dengan gampang mengucapkan kata maaf, bahkan tanpa dia tahu betul kesalahannya. Misalnya, seorang karyawan bisa dengan buru-buru bilang maaf saat dinasihati atasannya karena takut dianggap tidak mengerti. Seorang istri dengan cepat mengucap maaf pada suami supaya masalah tak jadi panjang. Maaf pun akhirnya menjadi sekadar komoditi, bukan lagi cerminan hati.
Lalu, apakah semua permintaan maaf harus dimaafkan? Untuk kasus Shinzo Abe, kerelaannya untuk meminta maaf kabarnya justru banyak dikecam. Ia dianggap tidak bertanggung jawab dan melalaikan kewajiban. Soal permintaan Badawi, Presiden SBY menghargainya dan kedua pemimpin sepakat menyelesaikannya sesuai jalur hukum.
Memberi maaf memang tidak semua bisa cuma-cuma. Kadang perlu juga dibarengi dengan peringatan agar tidak terjadi kesalahan yang sama, bahkan kalau perlu harus diberi sanksi. Apalagi jika berkaitan dengan hukum. Apa jadinya bila pejabat korup yang sudah menyedot uang rakyat bermilayr-milyar, boleh meminta maaf, dibebaaskan, dan dipersilakan menikmati hasil korupsinya?
Karena itu, sebelum kita meminta maaf aatu memberi maaf, perlu juga kiranya kita pikirkan dulu, kita timbang dengan perasaan, lalu sampaikan secara tulus dengan hati. Anda tentu tidak mau bukan memberi maaf begitu saja pada orang yang tiba-tiba berucap, 'Maaf, saya telah menghamili istri Anda?'