Antara Empati dengan 3M-nya Aa Gym
Posted: Senin, 27 April 2009 by R. Anang Tinosaputra in Label: The Meaning of Life
Suatu malam, sepulang kerja, saya mampir di sebuah restoran cepat saji di bilangan Gatzu Tengah. Suasana sepi. Di luar hujan. Semua pelayan sudah berkemas. Restoran hendak tutup. Tetapi mungkin melihat wajah saya yang memelas karena lapar, salah seorang dari mereka memberi aba-aba untuk tetap melayani. Padahal, jika mau, bisa saja mereka menolak.
Sembari makan, saya mulai mengamati kegiatan para pelayan restoran. Ada yang menghitung uang, mengemas peralatan masak, mengepel lantai, dan ada pula yang membersihkan dan merapikan meja-meja yang berantakan. Saya membayangkanl rutinitas kehidupan mereka seperti itu dari hari ke hari. Selama ini hal tersebut luput dari perhatian saya. Jujur saja, jika menemani klien atau keluarga makan di restoran cepat saji seperti ioni, saya tidak terlalu hirau akan keberadaan mereka. Seakan mereka antara ada dan tiada. Mereka ada jika saya membutuhkan bantuan dan mereka serasa tiada jika saya terlalu asyik menyantap makanan.
Namun, malam itu saya bisa melihat sesuatu yang selama ini seakan tidak terlihat. Saya melihat bagaimana pelayan restoran itu membersihkan sisa-sisa makanan di atas meja. Pemandangan yang sebenarnya biasa-biasa saja. Tetapi, mungkin karena malam itu mata hati saya yang melihat, pemandangan tersebut menjadi sangat istimewa.
Melihat tumpukan sisa makan di atas salah satu meja yang sedang dibersihkan, saya bertanya-tanya dalam hati: siapa sebenarnya yang baru saja bersantap di meja itu? Kalau dilihat dari sisa-sisa makanan yang berserakan, tampaknya rombongan yang cukup besar. Tetapi yang menarik perhatian saya adalah bagaimana rombongan itu meninggalkan sampah bekas makanan.
Sungguh pemandangan yang menjijikkan. Tulang-tulang ayakm berserakan di atas meja. Padahal, ada kotak-kotak karton yang bisa dijadikan tempat sampah. Nasi di sana-sini. Belum lagi di bawah kolong meja juga kotor oleh tumpahan remah-remah. Mungkin rombongan itu membawa anak-anak.
Meja tersebut bagaikan ladang pembantaian. Tulang belulang berserakan. Saya tidak habis pikir bagaimana mereka begitu tega meninggalkan sampah berserakan seperti itu. Tak terpikir oleh mereka betapa sisa-sisa makanan yang menjijikkan itu harus dibersihkan oleh seseorang, walau dia seorang pelayan yang memang sudah menjadi tugas dan tanggung jawabnya sekalipun.
Sejak malam itu saya mengambil keputusan untuk membuang sendiri sisa makanan jika bersantap di restoran semacam itu. Saya juga meminta anak saya melakukan hal yang sama. Awalnya tidak mudah. Sebelum ini saya juga pernah melakukannya. Tetapi perbuatan saya justru menjadi bahan tertawaan teman-teman. Saya dibilang sok kebarat-baratan. Sok menunjukkan pernah ke luar negeri. Sebab di banyak negara, sudah jamak pelanggan membuang sendiri sisa makanan ke tong sampah. Pelayan terbatas karena tenaga kerja mahal.
Sebenarnya tidak terlalu sulit untuk membersihkan sisa-sisa makanan kita. Tinggal meringkas, lalu membuangnya di tempat sampah. Dan sangat mudah, karena ketika saya masih kecil dulu, ibu saya selalu mengajarkan dan 'mewajibkan' seluruh anggota keluarga untuk membersihkan piring sehabis menggunakannya untuk makan. Cuma butuh beberapa menit. Sebuah perbuatan kecil. Tetapi jika semua orang melakukannya, artinya akan besar sekali bagi para pelayan restoran.
Saya pernah membaca sebuah buku tentang perbuatan kecil yang punya arti besar. termasuk kisah seorang bapak yang mengajak anaknya untuk membersihkan sampah di sebuah tanah kosong di kompleks rumah mereka. Karena setiap hari warga kompleks melihat sang bapak dan anaknya membersihkan sampah di situ, lama-lama mereka malu hati untuk membuang sampah di situ.
Belakangan seluruh warga bahkan tergerak untuk mengikuti jejak sang bapak itu dan ujung-ujungnya lingkungan perumahan menjadi bersih dan sehat. Padahal, tidak ada satu katapun dari bapak tersebut. Tidak ada slogan, umbul-umbul, atau baliho. Dia hanya memberikan keteladanan. Keteladanan kecil yang berdampak besar.
Saya juga pernah membaca cerita tentang kekuatan senyum. Jika saja setiap orang memberi senyum kepada paling sedikit satu orang yang dijumpainya hari itu, maka dampaknya akan luar biasa. Orang yang mendapat senyum akan merasa bahagia. Dia lalu akan tersenyum pada orang lain yang dijumpainya. Begitu seterusnya sehingga senyum tadi meluas ke banyak orang. Padahal, asal mulanya hanya dari satu orang yang tersenyum.
Bayangkan jika kita memberi pujian yang tulus bagi minimal satu orang setiap hari. Pujian itu akan memberi efek berantai ketika orang yang kita puji merasa bahagia dan menularkan virus kebahagiaan tersebut kepada orang-orang di sekitarnya.
Anak saya yang masih SD selalu mengingatkan jika saya lupa mengucapkan kata 'terima kasih' saat diberi atau mendapatkan sesuatu. Menurut dia, kata 'terima kasih' merupakan magic word yang akan membuat orang lain senang. Begitu juga kata 'tolong' ketika meminta bantuan orang lain, misalnya pembantu rumah tangga kita.
Dulu saya sering marah jika ada angkutan umum, misalnya angkot seenaknya menyerobot mobil saya. Sampai suatu hari teman saya mengingatkan bahwa saya harus berempati pada mereka. Para sopir kendaraan umum itu harus berjuang untuk mengejar setoran. 'Sementara kamu, kan, tidak mengejar setoran?' Nasihat itu diperoleh teman saya dari sebuah tulisan Romo Mangunwijaya. Sejak saat itu, jika ada kendaraan umum yang menyerobot seenak udelnya, saya segera teringat nasihat teman saya tadi.
Saya membayangkan, alangkah indahnya hidup kita jika kita dapat membuat orang lain bahagia. Alangkah menyenangkannya jika kita bisa berempati pada perasaan orang lain. Betapa bahagianya jika kita menyadari dengan membuang sisa makanan kita di restoran cepat saji, kita sudah meringankan pekerjaan pelayan restoran.
Jika kita mau, banyak hal kecil yang bisa kita lakukan. Hal yang tidak memberatkan kita, tetapi besar artinya bagi orang lain. Kadang kita berharap orang lain atau dunia di sekitar kita bisa berubah, tapi kita sendiri tidak memulainya. Saya bersepakat dengan Aa Gym, ada 3M yang perlu kita kembangkan untuk mengubah dunia. Mulailah dari hal-hal kecil. Mulailah dari diri kita lebih dulu. Mulailah dari sekarang.
Rasa enggan adalah kekuatan yang amat besar, baik untuk mencapai keberhasilan atau menyebabkan kegagalan. Maka engganlah untuk terlibat dalam hal yang tidak menghasilkan bagi diri kita.
Setelah melakukan yang terbaik, tidak penting lagi menang atau tidak. Karena kemenangan adalah melakukan semua yang bisa dilakoukan untuk mencapai semua yang mungkin kita bisa capai.
So, kita tidak perlu menunggu apapun untuk membahagiakan orang-orang di sekitar kita!
Sembari makan, saya mulai mengamati kegiatan para pelayan restoran. Ada yang menghitung uang, mengemas peralatan masak, mengepel lantai, dan ada pula yang membersihkan dan merapikan meja-meja yang berantakan. Saya membayangkanl rutinitas kehidupan mereka seperti itu dari hari ke hari. Selama ini hal tersebut luput dari perhatian saya. Jujur saja, jika menemani klien atau keluarga makan di restoran cepat saji seperti ioni, saya tidak terlalu hirau akan keberadaan mereka. Seakan mereka antara ada dan tiada. Mereka ada jika saya membutuhkan bantuan dan mereka serasa tiada jika saya terlalu asyik menyantap makanan.
Namun, malam itu saya bisa melihat sesuatu yang selama ini seakan tidak terlihat. Saya melihat bagaimana pelayan restoran itu membersihkan sisa-sisa makanan di atas meja. Pemandangan yang sebenarnya biasa-biasa saja. Tetapi, mungkin karena malam itu mata hati saya yang melihat, pemandangan tersebut menjadi sangat istimewa.
Melihat tumpukan sisa makan di atas salah satu meja yang sedang dibersihkan, saya bertanya-tanya dalam hati: siapa sebenarnya yang baru saja bersantap di meja itu? Kalau dilihat dari sisa-sisa makanan yang berserakan, tampaknya rombongan yang cukup besar. Tetapi yang menarik perhatian saya adalah bagaimana rombongan itu meninggalkan sampah bekas makanan.
Sungguh pemandangan yang menjijikkan. Tulang-tulang ayakm berserakan di atas meja. Padahal, ada kotak-kotak karton yang bisa dijadikan tempat sampah. Nasi di sana-sini. Belum lagi di bawah kolong meja juga kotor oleh tumpahan remah-remah. Mungkin rombongan itu membawa anak-anak.
Meja tersebut bagaikan ladang pembantaian. Tulang belulang berserakan. Saya tidak habis pikir bagaimana mereka begitu tega meninggalkan sampah berserakan seperti itu. Tak terpikir oleh mereka betapa sisa-sisa makanan yang menjijikkan itu harus dibersihkan oleh seseorang, walau dia seorang pelayan yang memang sudah menjadi tugas dan tanggung jawabnya sekalipun.
Sejak malam itu saya mengambil keputusan untuk membuang sendiri sisa makanan jika bersantap di restoran semacam itu. Saya juga meminta anak saya melakukan hal yang sama. Awalnya tidak mudah. Sebelum ini saya juga pernah melakukannya. Tetapi perbuatan saya justru menjadi bahan tertawaan teman-teman. Saya dibilang sok kebarat-baratan. Sok menunjukkan pernah ke luar negeri. Sebab di banyak negara, sudah jamak pelanggan membuang sendiri sisa makanan ke tong sampah. Pelayan terbatas karena tenaga kerja mahal.
Sebenarnya tidak terlalu sulit untuk membersihkan sisa-sisa makanan kita. Tinggal meringkas, lalu membuangnya di tempat sampah. Dan sangat mudah, karena ketika saya masih kecil dulu, ibu saya selalu mengajarkan dan 'mewajibkan' seluruh anggota keluarga untuk membersihkan piring sehabis menggunakannya untuk makan. Cuma butuh beberapa menit. Sebuah perbuatan kecil. Tetapi jika semua orang melakukannya, artinya akan besar sekali bagi para pelayan restoran.
Saya pernah membaca sebuah buku tentang perbuatan kecil yang punya arti besar. termasuk kisah seorang bapak yang mengajak anaknya untuk membersihkan sampah di sebuah tanah kosong di kompleks rumah mereka. Karena setiap hari warga kompleks melihat sang bapak dan anaknya membersihkan sampah di situ, lama-lama mereka malu hati untuk membuang sampah di situ.
Belakangan seluruh warga bahkan tergerak untuk mengikuti jejak sang bapak itu dan ujung-ujungnya lingkungan perumahan menjadi bersih dan sehat. Padahal, tidak ada satu katapun dari bapak tersebut. Tidak ada slogan, umbul-umbul, atau baliho. Dia hanya memberikan keteladanan. Keteladanan kecil yang berdampak besar.
Saya juga pernah membaca cerita tentang kekuatan senyum. Jika saja setiap orang memberi senyum kepada paling sedikit satu orang yang dijumpainya hari itu, maka dampaknya akan luar biasa. Orang yang mendapat senyum akan merasa bahagia. Dia lalu akan tersenyum pada orang lain yang dijumpainya. Begitu seterusnya sehingga senyum tadi meluas ke banyak orang. Padahal, asal mulanya hanya dari satu orang yang tersenyum.
Bayangkan jika kita memberi pujian yang tulus bagi minimal satu orang setiap hari. Pujian itu akan memberi efek berantai ketika orang yang kita puji merasa bahagia dan menularkan virus kebahagiaan tersebut kepada orang-orang di sekitarnya.
Anak saya yang masih SD selalu mengingatkan jika saya lupa mengucapkan kata 'terima kasih' saat diberi atau mendapatkan sesuatu. Menurut dia, kata 'terima kasih' merupakan magic word yang akan membuat orang lain senang. Begitu juga kata 'tolong' ketika meminta bantuan orang lain, misalnya pembantu rumah tangga kita.
Dulu saya sering marah jika ada angkutan umum, misalnya angkot seenaknya menyerobot mobil saya. Sampai suatu hari teman saya mengingatkan bahwa saya harus berempati pada mereka. Para sopir kendaraan umum itu harus berjuang untuk mengejar setoran. 'Sementara kamu, kan, tidak mengejar setoran?' Nasihat itu diperoleh teman saya dari sebuah tulisan Romo Mangunwijaya. Sejak saat itu, jika ada kendaraan umum yang menyerobot seenak udelnya, saya segera teringat nasihat teman saya tadi.
Saya membayangkan, alangkah indahnya hidup kita jika kita dapat membuat orang lain bahagia. Alangkah menyenangkannya jika kita bisa berempati pada perasaan orang lain. Betapa bahagianya jika kita menyadari dengan membuang sisa makanan kita di restoran cepat saji, kita sudah meringankan pekerjaan pelayan restoran.
Jika kita mau, banyak hal kecil yang bisa kita lakukan. Hal yang tidak memberatkan kita, tetapi besar artinya bagi orang lain. Kadang kita berharap orang lain atau dunia di sekitar kita bisa berubah, tapi kita sendiri tidak memulainya. Saya bersepakat dengan Aa Gym, ada 3M yang perlu kita kembangkan untuk mengubah dunia. Mulailah dari hal-hal kecil. Mulailah dari diri kita lebih dulu. Mulailah dari sekarang.
Rasa enggan adalah kekuatan yang amat besar, baik untuk mencapai keberhasilan atau menyebabkan kegagalan. Maka engganlah untuk terlibat dalam hal yang tidak menghasilkan bagi diri kita.
Setelah melakukan yang terbaik, tidak penting lagi menang atau tidak. Karena kemenangan adalah melakukan semua yang bisa dilakoukan untuk mencapai semua yang mungkin kita bisa capai.
So, kita tidak perlu menunggu apapun untuk membahagiakan orang-orang di sekitar kita!
Ini ada tulisan bagus soal tersenyum, "Ajak Dunia Tersenyum (Free Download)"
Bagus, tidak ngeres, cari untung sendiri, dll.