Bahasamu adalah Kualitas Hidupmu!

Posted: Rabu, 29 April 2009 by R. Anang Tinosaputra in Label:
0

Setiap pagi di daratan Afrika, seekor kijang bangun dari tidurnya dan bertekad bahwa pada hari itu, ia harus mampu berlari melebihi kecepatan singa yang paling cepat di hutan belantara itu, karena jika tidak ia akan menjadi mangsa empuk...

Pada pagi hari yang sama di daratan Afrika juga, seekor singa bangun dari tidurnya. Dan ia membuat resolusi bahwa hari itu, ia harus mampu berlari lebih cepat dari kijang yang paling cepat di hutan rimba itu. Karena jika tidak ia akan mati kelaparan...


Beberapa jam yang lalu, sebelum saya menulis blog ini, saya hadir dalam sebuah pementasan musikalitas puisi di Kampus Sastra Universitas Udayana. Pementasan memperingati karya-karya Chairil Anwar, sastrawan ternama di zamannya yang pernah dimiliki bangsa kita tercinta ini. Haru, bangga, sedih dan berbagai macam rasa hadir ketika saya menginjakkan kaki di kampus yang pernah saya 'nikmati' sebagai kawah candradimuka saya untuk menghadapi kerasnya hidup di Bali. Tapi bukan itu yang menjadi persoalan. Saya lebih menikmati pementasannya dibanding bernostalgia dengan masa lalu saya yang tentunya juga tidak mudah saya lupakan begitu saja.

Saya datang terlambat, pementasan sudah berjalan. Kemudian berlanjut dengan dialog antara kritikus puisi yang tentunya ahli di bidang sastra dengan teman-teman mahasiswa. Wow... sangat menarik.



Ada benang merah yang ingin saya sampaikan pada kita semua. Ternyata sebegitu dahsyatnya kekuatan bahasa bagi hidup kita dan perubahannya. Kesempatan itu salah satu narasumber ada yang mengatakan bahwa mahasiswa dan kampus harus hadir sebagai change agent bagi kehidupan berbangsa yang berbudaya. Saya sedikit termenung dengan statement itu. Seperti biasa, hati saya tidak nyaman dan tidak serta merta merasa cocok dengan pernyataan itu.

Saya punya pendapat lain. Bahasalah yang harus dan telah menjadi change agent bagi kehidupan kita. Sementara kita, manusia sebagai obyek dan subyeknya hanyalah berfungsi sebagai fasilitator atau jembatan dalam perubahan itu sendiri.

Lihat bagaimana fenomena Web 2.0 dengan facebook, YouTube, blog dan sejenisnya yang telah mampu membius kita dalam sebuah peradaban baru, peradaban narsis, namun sangat komunikatif. Bagaimana bisa kita yang penuh perbedaan dan keinginan bisa bergabung dalam sebuah komunitas yang mampu mengerti dan dimengerti akan diri kita sendiri.

Atau lihatlah bagaimana carut marutnya dunia politik kita yang selalu memberikan janji lahirnya 'satria piningit' yang bukan saja sebagai change agent namun juga mampu menjadi change leader dari bangsa ini. Dan kenyataannya tidak pernah ada yang dimampukan untuk itu.

Pemimpin-pemimpin besar kita, Nabi Muhammad SAW, Yesus Kristus, dan sebagainya telah memberi contoh bagaimana sebuah kekuatan bahasa mampu membawa perubahan. Bukan karena diri mereka secara fisik yang memberikan perubahan itu. Bahasa memampukan diri kita menjadi manusia yang mampu memberikan ruang akan terjadinya sebuah perubahan, hingga perubahan itu bisa kita komunikasikan dalam bahasa kita untuk mampu menginspirasi orang-orang di sekitar kita.

Bahasa adalah perhiasan kita. Dia yang menjadi penentu dan pembeda kelas kita dengan manusia dan bangsa yang lain ...

Sahabat-sahabat mahasiswa yang telah mencoba menjiwai puisi dari Chairil Anwar telah berupaya menunjukkan betapa kekuatan bahasa yang ada dalam puisi itu mampu mengilhami penonton yang menikmati pertunjukan itu. Tapi menjiwai bukan pekerjaan yang mudah. Kita tidak cukup dengan membaca dan menghafalkan puisi itu. Kita perlu hidup di dalamnya. Tidak bisa dijiwai dengan latihan. Tapi dijawai dengan hidup.

Apakah sahabat-sahabat mahasiswa sekalian telah mencoba untuk membaca semua puisi Chairil Anwar, bukan hanya yang akan dipentaskan? Ini akan membawa kita masuk ke dalam diri dan jiwa yang sebenarnya dari sosok Chairil Anwar dan imajinasi yang ingin disampaikan dalam puisinya.

Kedangkalan bahasa, membuat kita memperkecil peluang menikmati dan memiliki peran akan lahirnya sebuah perubahan. Bukankah bahasa adalah hal pertama yang diajarkan setiap orang tua kepada anaknya yang baru lahir hingga dia menjadi tua dan mati nantinya.

Kita menangis untuk mengungkapkan kebahagiaan atau kesedihan kita. Kenapa? Karena menangis adalah salah satu bahasa yang kita bisa ungkapkan untuk berbicara dengan orang lain tentang diri dan hati kita.
Kita tersenyum untuk memberikan inspirasi dan kebahagiaan kepada orang lain. Senyum adalah bahasa yang paling mudah dan paling banyak kita miliki.

Tidak menjadi persoalan apakah kita akan menjadi seekor singa atau kijang, ketika sinar matahari telah terbit. Karena yang terpenting adalah kita mesti bersiap untuk terus berlari secepat-cepatnya ...

Begitu sering kita menginginkan untuk naik kelas, tapi semakin sering juga kita berusaha mempertahankan kelas kita sekarang. Kita berusaha keras mempertahankan kelas kita dengan memanjakan kemalasan dan penundaan. So, naikkan kelas kita dengan memperkaya bahasa kita, dan bisa dipastikan bahwa kita akan menguasai dunia dengan bahasa kita ...


Sebagai perhiasan yang memperindah hidup dan kualitas diri kita, bahasa datang dengan keindahan dan keunikannya. Maka mampukan dan pantaskan diri kita untuk bisa menerima, menggunakan dan memperkaya perhiasan itu dengan terus belajar dan perbaiki diri ...

Ada hukum kepantasan yang akan bekerja bagi kita yang terus memperbaiki diri. Kepantasan itu akan datang pada apa yang kita perbaiki. Dan kepantasan diri dengan mudah tercermin dari bahasa yang kita gunakan ...

Terima kasih, sahabat-sahabat Sastra Indonesia Universitas Udayana. Keep in-touch ...

0 komentar: