Antara Thomas A. Edison dan Rudy Hartono

Posted: Minggu, 26 April 2009 by R. Anang Tinosaputra in Label:
0

Kita tidak akan pernah bisa terbang seperti rajawali, jika kita masih saja menggunakan sayap kupu-kupu. Jika yang kita inginkan itu besar, maka besarkanlah kemauan dan kemampuan kita untuknya...

Diceritakan bahwa Thomas A. Edison menetapkan bagi dirinya sendiri satu tujuan yang ambisius; setiap enam bulan mendapatkan satu penemuan besar, dan satu penemuan kecil setiap hari. Saat ia wafat, ia memiliki 1.093 hak paten Amerika Serikat dan lebih dari dua ribu hak paten untuk negara-negara lain. Ia mewujudkan impian-impiannya dengan tetap setia melakukan apa yang terbaik dari dirinya.

Jika seseorang mempunyai talenta dan tidak dapat menggunakannya, ia gagal.
Jika ia mempunyai talenta dan hanya memakai setengahnya, ia selalu mempersiapkan separuh kegagalan dalam setiap usahanya.
Jika ia mempunyai talenta dan belajar menggunakan seluruhnya, ia berhasil dengan luar biasa, dan mendapatkan kepuasan serta kemenangan yang hanya akan dinikmati segelintir orang
.




Jangan membatasi apa yang mungkin bagi kita, karena itu akan membatasi apa yang akan kita lakukan, dan bahkan membatasi apa yang mungkin kita dapat capai.

Berapa banyak dari kita yang menginginkan naik kelas, tapi banyak dari kita yang berlaku seperti mempertahankan kelasnya sekarang, dengan memanjakan kemalasan dan penundaan. Impian adalah langkah awal kita meraih kesuksesan. Tapi itu saja tidak cukup, kita butuh banyak memberikan kesempatan pada diri kita untuk memberikan ruang akan keberhasilan itu datang dengan ruang yang tepat.

Ada hukum kepantasan bagi segala sesuatu, maka kita yang rajin dan tekun memperbaiki, akan menjadi pantas bagi kehidupan yang kita perbaiki.

Impian yang besar kadang justru membelenggu kita, ketika semua itu tidak diikuti dengan kekuatan yang memampukan kita untuk meraih impian itu. Ada cerita menarik tentang sosok Rudy Hartono, legenda bulutangkis Indonesia dan bahkan dunia. Saya yakin banyak orang ingin seperti Rudy Hartono. Ingin menjadi juara. Ingin disanjung dan dipuja karena prestasi yang luar biasa. Ingin menjadi pahlawan. Ingin mendapatkan penghargaan, termasuk penghargaan materi tentunya.

Tetapi setelah mengetahui cerita tentang Rudy Hartono, saya baru menyadari, tidak semua orang bisa seperti Rudy Hartono. Banyak di antara kita yang hanya melihat sang maestro sebagai juara All England delapan kali. Sebagai pahlawan bulutangkis Indonesia. Tetapi berapa banyak dari kita yang peduli bagaimana usaha keras yang dilakukan Rudy sebelum menjadi juara?

'Setiap hari, selama lima tahun, saya harus bangun pukul lima pagi, berlari puluhan kilometer, berlatih bulutangkis, baru kemudian berangkat sekolah', ujarnya. Di bawah bimbingan ayahnya yang 'bertangan besi', Rudy kecil digembleng spartan tanpa kenal lelah. Tidak ada waktu untuk mengeluh. Tidak ada waktu untuk bercengeng-cengen ria. 'Waktu itu rasanya ingin berontak. Sebagai remaja, saya juga ingin bermain seperti teman-teman yang lain. Tetapi saya tidak bisa. Ayah saya menggembleng saya sangat keras', ungkap Rudy pada suatu acara talkshow di salah satu televisi swasta nasional.

Pada usia 15 tahun, disiplin dan kerja keras itu mulai berbuah. Satu per satu prestasi dalam bulutangkis mulai diraih. Sampai kemudian pada usia 18 tahun, usia yang terbilang sangat muda, Rudy berhasil mempersembahkan Piala All England bagi bangsa dan negara Indonesia. 'Saat itulah saya baru mensyukuri kerja keras dan disiplin yang diajarkan ayah saya.'

Sejak itu Rudy tidak terbendung. Tujuh kali berturut-turut dia mempertahankan Piala All England. Sekali kalah dari Svend Pri pada 1975, tetapi kemudian pada 1976 berhasil merebut gelar juara All England untuk kedelapan kalinya setelah mengalahkan Liem Swi King di final. Suatu prestasi yang sampai saat ini belum tertandingi oleh pemain bulutangkis manapun.

Banyak dari kita yang ingin seperti Rudy Hartono. Tetapi berapa banyak di antara kita yang mau menjalani proses latihan yang berat dan panjang? Kita ingin menjadi Rudy Hartono, tetapi tidak siap ketika dihadapkan pada proses tadi. Kalau bisa prosesnya dingkat dan mudah. Bimsalabim, bangun pagi kita sudah menjadi juara. Tanpa harus 'menderita' setiap bangun pukul lima pagi dan berlatih selama lima tahun tanpa henti.

Dalam pekerjaan juga begitu. Kita sering ingin segera menduduki jabatan tinggi, tetapi enggan melalui proses jatuh bangun untuk mencapainya. Semua kalau bisa serba instan. Serba cepat. Kalau bisa potong kompas. Kita sering iri melihat seseorang yang mencapai sukses. Tetapi, ketika dia bercerita betapa sulitnya perjuangan untuk mencapai posisi itu, kita menutup mata, telinga dan bahkan hati kita.

Di dalam pekerjaan, kita sering terperangkap dalam lingkaran setan. Antara kepentingan perusahaan dan kepentingan karyawan. Dalam bekerja, banyak di antara kita yang menuntut agar perusahaan memberi imbalan atau gaji yang 'pantas' terlebih dulu, baru kita mau mengerjakan tugas-tugas secara maksimal. Kalau tidak, kerja pas bandrol saja. 'Ngapain capek-capek!!'

Di lain pihak, manajemen berpikir sebaliknya. Karyawan dituntut memberikan yang terbaik dulu baru perusahaan akan memberikan imbalan yang 'pantas'. Maka jadilah lingkaran setan ini. Tidak tahu siapa yang harus memutus lingkaran ini. Masing-masing merasa benar. Cuma, kalau dibiarkan berlarut-larut, yang merugi biasanya karyawan. Perusahan bisa kapan saja 'mendepak' karyawan yang dinilai tidak berprestasi dan menggantikannya dengan karyawan baru.

'Prinsip saya, berprestasi dulu baru penghargaan', ujar Rudy Hartono. Dia mengaku ketika berlatih dan bertanding, tidak ada sebersit pun dalam pikirannya bahwa apa yang dilakukannya itu untuk mendapatkan imbalan. 'Saya fokus untuk mencapai kemenangan demi kemenangan tanpa memperhitungkan apa yang akan saya dapatkan sebagai imbalan jika juara.'

Maka, ketika dia menjadi juara All England, penghargaan akhirnya datang dengan sendirinya. Dari mulai hadiah uang, mobil, sampai rumah. Pada 1972, Rudy bertemu kembali denigan Svend Pri di final. Ini final yang paling menegangkan sepanjang penyelenggaraan All England. Pasalnya, saat itu Rudy Hartono sudah ketinggalan 1 lawan 14. Satu angka lagi Svend Pri akan juara.

Tetapi, sungguh sulit dipercaya ketika akhirnya justru Rudy yang tampil sebagai juara. Jarak skor 1 lawan 14 tidak membuatnya menyerah. Satu demi satu angka dia raih. Ketinggalan 13 poin bukan perkara gampang. Banyak pemain pada posisi ini sudah menyerah. Rasanya tidak mungkin bisa mengejar jarak yang begitu jauh.

Apa yang membuat Rudy bisa memenangi pertandingan saat itu? Ternyata dia mengikuti nasihat almarhum Ferry Sonneville. Waktu itu, menurut Rudy, Ferry Sonneville menasihati agar dia jangan terpengaruh pada apa yang dilakukan lawan. Jangan peduli pada angka dan taktik yang dikembangkan lawan. Dia diminta berkonsentrasi pada apa yang saya lakukan. Rudy harus melakukan yang terbaik yang bisa dia lakukan dalam posisi tersebut.

Sebuah nasihat yang tentunya menohok perilaku banyak di antara kita. Dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam karya kita diberbagai bidang, kita sering lebih sibuk 'mengurusi' pekerjaan orang lain ketimbang pekerjaan kita sendiri. Kita lebih mau tahu urusan orang ketimbang mengurusi tugas-tugas kita. Akibatnya, kita lebih sering mengatur dan menyalahkan orang lain ketimbang introspeksi atas kekurangan kita. Dengan kata lain, kita jauh lebih mengenal orang lain dibanding diri kita sendiri. Aneh, kan?

Beruntung kita mengenal Rudy Hartono. Sang juara yang mampu mengingatkan kita kembali pada hal-hal yang sering luput dari perhatian kita. Sesuatu yang tampak sederhana, tetapi lebih sering kita abaikan. Termasuk satu prinsip dalam hidupnya: Jangan menyakiti orang lain. Mengapa? Karena mereka akan mendoakan kita yang jelek-jelek.

Jadi, mulailah di tempat kita berada sekarang, maka impian itu akan datang di waktu yang kita harapkan ...

0 komentar: